Sejarah Yang Terlupakan

Shalom ‘aleychem
Assalamu ‘alaykum

Teks kitab suci bukan sekedar dokumen pewahyuan dalam paradigma teologis yang bersifat sakral, tetapi teks tersebut dapat pula dibaca sebagai rekaman kolektif dalam ranah historis yang bersifat profan. Dalam konteks inilah kita harus berani melakukan ‘pembacaan ulang’ terhadap teks sakral itu berdasarkan pembuktian linguistik dan sejarah.

Bila kita membaca teks sakral ini ada kata kunci secara linguistik yakni istilah abna‘ ( ابناء ) yang terkait dengan klaim kenabian. Tatkala membahas Qs. Al-Baqarah 2:146 seorang Muslim berdarah Yahudi Aschenazim yang bernama Muhammad Asad, penulis the Message of the Qur’an menyatakan:

“this refers more explicit predictions of the future advent of the Prophet Muhammad.”

Istilah ابناء (abna’) dalam bahasa Arab ini sejajar dengn istilah בני (b’ney) dalam bahasa Ibrani/ Hebrew. Jadi teks kenabian pada ayat yang terkait dengan term tersebut bukan sekedar bermakna alegoris tapi justru berlatar biologis. Coba perhatikan ayat ini.

الذين اءتينهم الكتاب يعرفونه كما يعرفون ابناءهم

(Q البقرة 2:14)

אלה אשר נתנו להם את הספר מכירים אותו כפי שמכירים את בניכם

( סורת אלבקרה 2:146)

Elleh asher natannu lachem et has-Sefer machchirim oto kefiy shemmachchirim et b’neychem

Orang-orang yang telah Kami anugerahkan Al-Kitab mengenalnya (Muhammad SAW) seperti mengenal anak-anak mereka sendiri

(Al-Baqarah 2:146)

Berdasarkan bukti historis dari catatan teks2 Tarikh Islam, ternyata Nabi Muhammad SAW memang bukan disebut sebagai orang Arab ‘Aribah (Arab asli) tapi dia disebut sebagai orang Arab Musta’ribah (bukan asli Arab). Sementara itu, berdasarkan teks-teks Rabbinic dalam bahasa Ibrani (Hebrew), terutama Sefer ha-Galui yang membicarakan tentang Resh Geluta kaum Exilarch di Arabia dan Babilonia (the Babylonian Exilarchs), ternyata garis ibu Nabi Muhammad SAW itu bukan asli keturunan Quraish. Anda terhenyak dengan fakta ini?

Hasyim putra Quraish menikah dengan Salma binti Amr, dan Amr berasal dari bani Najjar, kaum Yahudi Musta’ribah di Yatsrib/ Medinta. Bani Najjar ini adalah kaum Yahudi diaspora yang tinggal di kota Yatsrib. Orang-orang Arab pra-Islam menyebutnya kota Yatsrib, sedangkan orang-orang Yahudi Musta’ribah menyebutnya bukan dengan sebutan Yatsrib tapi dengan sebutan Medinta, sebagaimana yang tercatat dalam Targum Onkelos yang tertulis dalam bahasa Judeo-Aramic sejak pada abad 1 M., era pra-Islam.

Jadi nama Medinta telah populer 6 abad sebelum era Islam. Kaum Yahudi Musta’ribah yakni kaum Yahudi Sephardim dan Mizrachim tahu betul wilayah Medinta ini sebelum Islam ada. Belum ada data yang menjelaskan mengapa kaum Yahudi Musta’ribah ini mendiami wilayah Yatsrib ini secara masif dan bergenerasi berdasarkan alasan2 historis, politis, ekonomi, sosial, kultural atau pun agama. Namun yang perlu digaris bawahi adalah identitas bani Hashim (anak cucu/keturunan Hashim) itu sendiri yang sangat unik, karena hanya melalui bani Hashim saja darah Ishmael dan darah Israel bercampur dalam satu klen/qabilah, yang kemudian dalam Tarikh Islam disebut qabilah bani Hashim.

Tentu saja dalam Tarikh Islam, terutama saat era kenabian juga ada catatan sejarah tentang penderitaan bani Hashim yang diboikot dan diasingkan/dibuang (exile) oleh suku-suku Arab lain gara-gara tampilnya seorang Nabi dari kalangan bani Hashim. Mengapa bukan hanya seorang/sekelompok orang dari keturunan bani Hashim yang diboikot dan dibuang atau diasingkan (exile)? Bukankah pengasingan itu berlangsung selama bertahun2 secara ekonomi, politik dan sosial? Mengapa seluruh bani Hashim yang dibuang (exile) dan bukan hanya Sang Nabi saja yang dibuang? Mengapa seluruh bani Hashim harus menanggung derita akibat ‘ulah’ satu orang di antara mereka dan seluruh bani Hashim siap membelanya? Nampaknya peristiwa sejarah pembuangan (exile) yang menimpa bani Hashim ini terkait juga dengan hadits Shahih Muslim.

ان الله اصطفى كنانة من ولد اسماعيل و اصطفى قريسا من كنانة واصطفى قريسا بني هاشم و اصطفى ني بني هاشم – صحيح مسلم

Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya ALLH telah memilih Kinanah dari antara keturunan Ishmael, dan memilih Quraish dari antara keturunan Kinanah dan memilih bani Hashim dari antara keturunan Quraish dan memilih aku – kata Nabi SAW – dari antara bani Hashim (H.R. Imam Muslim).

Hashim selain menikah dengan wanita Yahudi Musta’ribah dari bani Najjar yang bernama Salma binti Amr, yang melahirkan Syaiba (Abdul Muthalib), ternyata Hashim juga beristri wanita lain yang bernama Qaylah yang melahirkan baginya seorang anak bernama Asad. Asad ibn Hashim menikah dengan Zahna, putri seorang Resh Geluta kaum Exilarch ke-32 dari Babilonia yang bernama Hofnai, dan di Babilonia tersebut kaum exilarch ini di bawah pimpinan Resh Geluta (pimpinan kaum buangan), dan Resh Galuta sendiri secara Halacha adalah keturunan Nabi Daud AS.

Adik ipar Hushiel ben Hofnai yang bernama Asad ibn Hashim, yang menikah dengan Hazna binti Hofnai putri Exilarch ke-32 ini melahirkan Fathimah binti Asad, yang kemudian dinikahi oleh Abu Thalib bin Abdul Muthalib ibn Hashim. Namun, mengapa Asad ibn Hashim menamai putrinya dengan nama Fathimah? Apa hubungannya nama ini dengan Hazna binti Hofnai putri Exilarch ke-32 dari Babilonia? Sepertinya ada campur tangan Hazna dalam penamaan putrinya ini yang merupakan ingatan kolektifnya utk mengenang kembali nama lelulur dari keluarga suaminya, yakni Asad bin Hashim, keturunan Ishmael. Penamaan ini juga sebenarnya merupakan bukti bahwa nama Fathimah bukanlah nama asli Arab, tetapi nama khas Ibrani yang muncul dalam Targum Yonathan berbahasa Judeo-Aramaic yang ditulis pada abad ke-1 M. Ishmael dalam Tagum Yonathan beristri פטימא (Phetima) sesuai teks Targum Yonatahan, Sefer Bereshit 21:21 yang menyebut sbb:

ויתיב במדברא דפראן ונסיב אתחא ית עדישא ותרבה ונסיבת ליה אמיה ית פטימא אתהא מארעא דמצרים

‘And he dwelt in the wilderness of Pharan and took for a wife Adisha, but put her away. And his mother took for him Phatima to wife from the land of Egypt.

Jadi bani Hashim secara garis ibu – seutuhnya berdarah Yahudi dan sekaligus keturunan langsung Nabi Daud AS (1).

Data sejarah membuktikan adanya jalur politik dan keagamaan antara kaum Exilarch di Baghdad – Babilonia (Irak) dan di Medinta (Saudi Arabia) era pra-Islam. Hal ini bisa dibaca melalui kemapaman teks Targum Onkelos dalam bahasa Judeo-Aramaic yang tersebar di kalangan Yahudi yang bermukim di wilayah Yaman, Hijaz dan wilayah Babilonia, dan dibaca secara meluas oleh semua kaum Yahudi di wilayah tersebut (2).

Bahkan kemapanan hubungan kedua wilayah penting dan strategis ini dapat pula terbaca melalui kemunculan Targum Saadia berbahasa Judeo-Arabic yang menyebut nama Al-Madinah, sehingga tidak salah bila kaum Yahudi yang berdiaspora ke wilayah itu justru mendahului kedatangannya sebelum terbukukannya Targum Saadia dalam bahasa Judeo-Arabic, yang dalam Targum Onkelos disebut Medinta. Jadi Rav Saadia Gaon hanya merekam ingatan kolektif bangsa Yahudi tentang keberadaan wilayah Medinta ini dengan bahasa Judeo-Arabic, yg disebutnya Al-Madinah. Itulah sebabnya tatkala Nabi SAW hijrah ke kota Yatsrib, maka seluruh kaum Yahudi Musta’ribah tidak kaget tatkala Nabi SAW mengubah dan menamai kota tersebut dengan sebutan Al-Madinah menurut lisan bahasa Arabic, sedangkan kaum Yahudi Musta’ribah sejak era pra-Islam menyebutnya Medinta menurut lisan bahasa Judeo-Aramaic. Perpindahan Nabi SAW dari Mekkah ke kota Yatsrib yang disebut Medinta oleh kaum Yahudi Musta’ribah ternyata tidak hanya dibaca terkait dengan peristiwa Hijrah an sich, tapi sekaligus pula menandai dan melanjutkan peradaban leluhurnya di kota Yatsrib yang disebut Medinta, yang kemudian oleh Nabi SAW diteguhkannya kembali dengan nama Al-Madinah.

 

Notes:

  1. Jika Anda penasaran silakan membaca Jurnal terbitan Hebrew University berjudul ‘A Note on Early Marriage Links between Qurashis and Jewish Women’, see Jerusalem Studies in Arabic and Islam vol.10 (1987), references to Jewish ladies of “Noble Birth” are descended from the Exilarch.
  2. Silakan membaca buku The Targum of Onkelos to Genesis: A Critical Enquiry into the Value of the Text Exhibited by Yemen Mss. Compared with that of the European Recensian Together with Some Specimen Chapters of the Oriental Text (Henry Barnstein, 1896).

Leave a Reply