Sejarah Yang Terlupakan Part 7

Shalom ‘aleychem
Assalamu ‘alaykum

 

Genealogy Discussion:
Yeshu Ben Stada dan Yeshu Ben Panthera

Jimmy Jeffry telah berupaya membangun sebuah ‘wacana baru’ tentang status Yesus kepada para pembacanya. Hal ini dilakukan untuk menepis pencitraan negatif terhadap sang tokoh (Yesus) sebagaimana narasi yang telah termaktub dalam kitab Talmud. Jimmy Jeffrey berupaya menggiring opini publik untuk menyatakan bahwa Yesus dalam kitab Talmud itu tidak valid atau pun ahistoris. Padahal redaksional teks yang termaktub dalam kitab Talmud dan kitab PB menegaskan adanya ingatan kolektif yang sama atas peristiwa historis yang menyangkut sang tokoh itu sendiri. Dalam kitab Talmud redaksional teksnya menggunakan sebutan Yeshu Ben Stada yang menyematkan pencitraan negatif, sedangkan dalam kitab PB redaksional teksnya menggunakan sebutan Yeshu Ben Miryam yang menyematkan pencitraan positif. Kedua pola redaksional ini sebenarnya menyuguhkan data historis yang sama, yang menandai adanya kedekatan kesamaan wacana, yakni sang tokoh Miryam yang disapa dng gelar Stada; akronim dari Satit da mi ba’alah (sang perempuan yang tidak setia kepada suaminya).

Jimmy Jeffrey telah menuliskan bantahan panjang lebar tentang pandangan orang-orang Yahudi terhadap Yesus berdasarkan literatur rabbinik berkaitan dng Yesus sebagai anak hasil dari perzinahan. Jimmy Jeffrey juga mengakui bahwa kajian historis tentang pandangan literatur rabbinik ini memang cukup komprehensif sebagaimana yang telah saya sajikan pada ” Sejarah Yang Terlupakan Part ke-6: Yeshu Ben Panthera.” Namun, pada tulisan bantahannya yang berjudul ” Genealogy Discussion: Series 3 ” Jimmy Jeffrey sengaja menggiring opini kepada para pembacanya untuk berpandangan bahwa narasi Yeshu ha-Notzri yang disapa dng sebutan Yeshu Ben Stada atau Yeshu Ben Panthera sebagaimana yang termaktub dalam kitab Talmud merupakan narasi fakta historis yang merujuk pad Yesus yang lain (the other Jesus), dan bukan merujuk kepada Yeshu ha-Notzri yang disapa dng sebutan Yeshu Ben Miryam sebagaimana versi PB. Selain itu, Jimmy Jeffrey juga tidak kritis mencermati informasi yang disajikan dari data tekstual yang terekspresi dalam kitab Talmud, dan sekaligus tidak kritis bahkan terkesan ipse dixit terhadap data historis sebagai bantahan yang dipaparkannya, tanpa memperhatikan detail dari informasi tersebut.

Perbedaan pandangan antara Yahudi dng Kristen terkait tokoh Yeshu Ben Stada dan Yeshu Ben Miryam itu adalah fakta historis yang sama-sama berakar pada ingatan kolektif masyarakat pendukungnya. Teks Talmud dan teks PB yang disakralkan oleh masing-masing agama tidaklah pernah lahir dalam ruang hampa. Masing-masing teks tersebut memiliki keunikan dari hasil ingatan kolektif yang kemudian menjadi keyakinan kolektif masing-masing pemilik teks. Pandangan Yahudi yg terekam dalam kitab Talmud dan ulasan para scholars yang saya sajikan dalam tulisan saya tersebut memang pada prinsipnya menolak konsep the virgin birth. Hal ini tidak ada sangkut pautnya dng ketidaan daya kritis saya terhadap pandangan itu, terutama terkait pandagan Quran tentang sang tokoh Yeshu ha-Nitzri (Yesus orang Nazareth). Teks Quran terkait konsep the virgin birth tidak memiliki daya otoritas atas peristiwa yang terjadi menyangkut Yeshu ha-Notzi, karena Quran bukanlah teks yang berperan sebagai saksi fakta, tetapi Quran hanya bisa diajukan sebagai teks yang berperan sebagai saksi ahli. Itu pun tidak penting, karena kesaksian Quran sebagai teks saksi ahli hanya bersifat sekunder, tetapi tidak dijadikan sebagai alat bukti. Bukankah Quran baru terbit 600-an tahun kemudian pasca peristiwa itu terjadi? Jadi tidak penting menjadikan Quran sebagai alat bukti, apalagi diposisikan sebagai teks yang berperan sebagai saksi fakta, karena Quran – dalam tinjauan ilmu hukum – hanya memiliki nilai sebatas teks yang berperan sebagai saksi ahli, bukan teks yang berperan sebagai saksi fakta.

Oleh karena itu, teks Quran yang baru muncul 600-an tahun setelah peristiwa itu terjadi, maka sangat tidak mungkin bila teks tsb dijadikan alat bukti yang otoritatif. Namun Quran dalam konteks ini hanya sebatas merekam data pertarungan wacana yang memang benar2 faktual terjadi dalam sejarah. Pertarungan wacana itu dipotret secara apa adanya dalam redaksional teks Quran. Pada satu sisi, Yeshu ha-Notzri disebut sebagai Ben Stada, yakni anak dari seorang perempuan yg tdk setia kepada suaminya, sebagaimana teks yang termaktub dalam dalam Talmud. Sementara itu, wacana yang menyejarah ini pun tertulis dalam Qs. Maryam 19:27 yang menyebut Maryam sebagai wanita pezinah. Pada sisi yang lain, Quran juga menyuguhkan fakta lain yang merekam wacana tandingan ttng konsep the virgin birth, yakni kelahiran Yesus dari seorang perawan (Qs. Maryam 19:20). Di sinilah posisi Quran yang berperan sebagai saksi ahli dng cara menyuguhkan wacana alternatif. Di sinilah adanya penilaian Quran sebagai wacana penyeimbang terhadap pertarungan wacana yang telah mapan sebelumnya, dan yang telah menyejarah itu, terutama berkaitan dng anggapan orang-orang Yahudi dan Kristen terhadap Yesus dan Maryam yang ternarasikan dalam kitab Talmud dan kitab PB. Jadi sangat tidak mungkin bila Quran dijadikan sebagai bukti otoritatif, karena faktanya tdk ada dokumen pembanding apapun yang menyatakan bahwa Yesus anak seorang perawan selain teks PB yang telah ada 600-an tahun sebelum kitab Quran ditulis. Jika Injil mengatakan bahwa Yesus anak seorang perawan, apakah penulis Injil mengetahui kejadian itu sebagai saksi mata? Ternyata tidak demikian. Penulis Injil yang merekam kejadian itu hanya berperan sebagai testimoni de auditum, yakni kesaksian yang cuma katanya -katanya, dan tdk ada yg tahu secara langsung atas peristiwa the Virgin Birth itu. Dengan demikian, meskipun Quran membenarkan konsep Virginity, tetapi teks Quran sama sekali tidak menolak adanya peristiwa tuduhan perzinahan yang dialamatkan kepada Maryam, sebagaimana yg diceritakan dalam teks Talmud yang disapa dng sebutan ha-Stada – Satit da mi ba’alah (sang perempuan yg tidak setia kepada suaminya).

Jimmy Jeffrey dalam ulasan bantahannya telah mengakui adanya masalah perubahan redaksional teks yang terjadi dalam kitab Talmud & literatur rabbinik lainnya, terutama berkaitan dengan rujukan kepada Yesus sebagaimana yang tercatat dalam PB. Jimmy Jeffrey mengakui bahwa teks yang berkaitan dgn Yesus telah mengalami sentuhan pengeditan dari pihak Yahudi karena faktor tekanan dari kekristenan saat itu. Dalam sejarah terdapat pihak2 tertentu dlm kekristenan yang sangat keras terhadap orang-orang Yahudi sehingga menyita & membakar manuskrip2 kitab Talmud, Midrash dan literatur rabbinik lainnya. Bahkan Jimmy Jeffrey mengutip pernyataan Morris Goldstein dalam bukunya Jesus in the Jewish Tradition, New York: Macmillan Publishing Co, 1950, yang menyajikan data otentik yang cukup gamblang menjelaskan hal ini, terutama mengenai perintah dari otoritas Yahudi untuk menghilangkan rujukan2 tentang Yesus dari Nazareth dalam kitab Mishnah dan teks Gemara atau pun mengubahnya, sehingga rujukan yg berkaitan dgn Yesus telah berubah bentuknya. Menururnya, dari teks Talmud Babilonia kita bisa melihat pada catatan kakinya mengenai versi yg belum disensor tsb. Buku bacaan Jimmy Jeffrey yang menyitir ulasan Morris Goldstein terkait adanya pembakaran, pengeditan dan perubahan redaksional teks yang berkaitan dng seluk beluk ketokohan Yeshu ha-Notzri sebagaimana yang termaktub dalam teks Talmud itu juga diakui oleh Adin Steinsaltz dalam bukunya The Essential Talmud (Basic Books, 1976). Perubahan dan pengeditan redaksional teks dalam Talmud, bahkan pembakaran besar-besaran terhadap kitab Talmud terkait pencitraan negatif ketokohan Yesus versi PB ternyata tidak dibaca secara kritis oleh Jimmy Jeffrey, sehingga dia menyimpulkan bahwa nama-nama seperti Yeshu Ben Stada & Yeshu Ben Panthera dalam kitab Talmud yang ada saat ini tidak dianggap merujuk pada Yesus dari Nazareth, Yeshu ha-Notzri sebagaimana yang termaktub dalam PB. Jimmy Jeffrey sekan-akan menutup mata tentang latar historis dan alasan apa yang menjadi penyebab adanya pembakaran, pengeditan redaksional Talmud sebagaimana yang telah diulas sebelumnya. Bahkan Jimmy Jeffrey tidak mencamtumkan detail alasan pembakaran dan pengeditan teks Talmud itu secara gamblang. Padahal ulasan Morris Goldstein itu telah dijadikannya sebagai argumentum ad persona. Jimmy Jeffrey tidak cermat melihat detail redaksional teks Talmud saat ini yang dianggapnya bukan merupakan bagian dari hasil pengeditan dan perubahan/revisi teks yang menjadi penyebab atau pun pemicu adanya pembakaran kitab Talmud. Ini menurut saya merupakan nalar yang absurd. Anehnya, Jimmy Jeffrey juga langsung mengadopsi pemahaman ahistoris bahwa Yeshu Ben Stada itu bukan Yesus anak Maryam, yakni Yeshu Ben Miryam sebagaimana yang tercantum dalam PB. Jadi secara tegas disimpulkan bahwa redaksional teks Yeshu Ben Stada itu bukanlah bagian dari teks kekristenan yang mengalami pengeditan dan perubahan. Ini merupakan argumentasi yang tidak mengedepankan nalar kiritis, tapi lebih mengedepankan nalar ahistoris.

Demi melempangkan nalar ahistorisnya, Jimmy Jeffrey mengutip pernyataan R.T. France yang mengingatkan agar kita berhati-hati mengambil informasi “sejarah” dari literatur rabbinik, karena menurutnya sejarah itu sendiri bukan merupakan pokok pembahasan dari para rabbi. Informasi sejarah hanya muncul sebagai ilustrasi untuk uraian yg berkaitan dgn hukum dan teologi (France R.T. The Evidence for Jesus, Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 1986). Kitab Talmud dalam pandangan Judaism bukan sekedar kumpulan midrash Halacha yang menyangkut persoalan hukum, tetapi juga merupakan kumpulan midrash Aggada yang penyangkut persoalan teologi dan sejarah. Bukankah Rabbi-rabbi telah menginstruksikan adanya penyesuaian dan pengeditan teks Talmud akibat tragedi pembakaran dari pihak Gereja yang berkuasa saat itu? Jadi teks yang dianggap ‘ ancaman ‘ yang merupakan teks historis itu dihilangkan dan sekaligus disamarkan dng menggunakan pola kebahasaan khas Rabbinik yang hanya kaum terpelajar Yeshiva saja yang memahami pesan historis dibalik teks yang mengalami pengeditan itu, sesuai pengajaran di Yeshiva yang diwariskan dari generasi ke generasi. Substansi historis tetap sama, yakni berkaitan dng ketokohan Jesus Christ meskipun redaksional teksnya mengalami pengeditan demi menghindari ketegangan yang kontra produktif. Dalam hal ini Jimmy Jeffrey kurang “berhati-hati” dan gagal melihat teks2 tsb dlm Talmud sebagai sebuah pengeditan dan penyesuaian yang sebenarnya tetap mengandung fakta historis yang telah disamarkan subyeknya.

Dalam teks Talmud Babilonia yg menyebutkan nama Yeshu Ben Stada & Yeshu Ben Panthera dapat dibaca pada bagian teks
Talmud, Masechet Shabbath 104b:

HE WHO SCRATCHES A MARK ON HIS FLESH, [etc.] It was taught. R. Eliezer said to the Sages: But did not Ben Stada bring forth witchcraft from Egypt by means of scratches18 [in the form of charms] upon his flesh? Versi yg tdk disensor: Was he then the son of Stada: surely he was the son of Pandira? Said R. Hisda: The husband was Stada, the paramour was Pandira. But the husband was Pappos b. Judah? — His mother was Stada. But his mother was Miriam the hairdresser? — It is as we say in Pumbeditha: This one has been unfaithful to (lit., ‘turned away from’ — satath da) her husband. — On the identity of Ben Stada v. Sanh., Sonc. ed., p. 456, n. 5.

Menurut analisis Travers Herford sebagaimana yang dikutip Jimmy Jeffrey – jika Ben Stada yg dimaksud adalah Yesus, dan nama Maria (Miriam) sebagai Stada yang bersuamikan Pappos ben Judah (Yehuda), maka muncul anakronisme di sini. Karena Pappos ben Judah hidup sezaman dgn rabbi Akiba yaitu sekitar thn 135 M.

“..Pappos ben Jehudah, whom the Gemara alleges to have been the husband of the mother of Jesus, is the name of a man who lived a century after Jesus, and who is said to have been so suspicious of his wife that he locked her into the house whenever he went out (b. Gitt. 90a ). He was contemporary with, and a friend of, R. Aqiba ; and one of the two conflicting opinions concerning the epoch of Jesus places him also in the time of Aqiba. Travers Herford, Christianity in Talmud & Midrash, William & Norgate, London, 1953 page 40.

Jadi Ben Stada disebut berasal dari Mesir & membawa sihir dari sana, penyebutan Ben Stada ini lebih merujuk pada orang Mesir sebagaimana tertulis dlm PB, Kis 21:38 “Jadi engkau bukan orang Mesir itu, yang baru-baru ini menimbulkan pemberontakan dan melarikan empat ribu orang pengacau bersenjata ke padang gurun?” Keterangan dlm PB ini sejalan dgn tulisan Joshepus, Antiquities 20:8:6

“.. Moreover, there came out of Egypt (20) about this time to Jerusalem one that said he was a prophet, and advised the multitude of the common people to go along with him to the Mount of Olives… Now when Felix was informed of these things, he ordered his soldiers to take their weapons, and came against them with a great number of horsemen and footmen from Jerusalem, and attacked the Egyptian and the people that were with him…”

Jimmy Jeffrey ternyata tidak hati-hati dan gagal paham membaca ulasan Flavius Josephus. Bahkan Jimmy Jeffrey juga gagal paham mengenai ulasan rabbinik mengenai Yeshu ha-Notzei yang merupakan perlawanan wacana (counter discourse) terhadap wacana khas kekristenan yang termaktub dalam PB, dan kedua wacana itu sebenarnya fakta historis yang terjadi pada zamannya sebagai sebuah rekaman kolektif yang saling menafikan. Dalam kitab Talmud, Ben Stada disamakan dgn Ben Pandera (Panthera) yang memang dalam Talmud pada bagian yg lain Ben Pandera lebih merujuk pada Jesus Christ seperti dlm Talmud Babilonia: Abodah Zarah 27b dan Talmud Yerusalem: Shabbath 14d & Abodah Zarah 40d. Dengan demikian, penyebutan Ben Stada yang merujuk kpd Jesus Christ jelas terkait dng Ben Panthera, dan sangat akurat relasi redaksional teksnya yang faktanya mengalami berkali-kali penyesuaian dan pengeditan, Maka, sangat gegabah bila para rabbi generasi Amoraim didakwa telah membuat ‘legenda’ padahal mereka mewarisinya dari generasi Tanaim yang telah menjadi saksi fakta atas peristiwa itu.

Apalagi para rabbi dari generasi Amoraim dianggap melakukan gejala anakronisme, yakni mencampuraduk kisah orang Mesir itu dgn Yesus. Apalagi Jimmy Jeffrey secara apriori mendakwa kitab Talmud tidak valid bila narasi teksnya berkaitan informasi mengenai sejarah, dan tidak bisa diandalkan. Sekali lagi, sejarah menurut siapa? Sejarah dibuat atas kepentingan penguasa dan motif politik yang melatarinya. Bukankah kitab PB dan kitab Talmud adalah rekaman sejarah pergolakan wacana yang saling menafikan antara Judaism dan Kristen? Sejarah adalah rekaman politik masa lalu yang berfungsi sebagai legitimasi ‘ kebenaran ‘ yang memihak, yang kemudian disakralkan menjadi sebuah teks suci, bukan kebenaran yang netral, apa adanya.

Leave a Reply