The road to Shur, the origin of the zamzam well? (Rabbi Sa’adiah ben Yosef Gaon)

In the story about the wife of patriach Abraham, Hagar, and his firstbon son, Ishmael, in  the Torah  in Genesis/Bereishit 16:7 it was mentioned about a place named Shur שֽׁוּר.

וַֽיִּמְצָאָ֞הּ מַלְאַ֧ךְ יְהוָ֛ה עַל־עֵ֥ין הַמַּ֖יִם בַּמִּדְבָּ֑ר עַל־הָעַ֖יִן בְּדֶ֥רֶךְ שֽׁוּר

An angel of the LORD found her by a spring of water in the wilderness, the spring on the road to Shur  (JPS 1985)

According to jewish and christian interpretation Shur was the desert between the south of Canaan, where Hebron was situated, and Egypt.

Interestingly, Rabbi Saadia Gaon ben Yosef (882-942)  or  Saʻīd bin Yūsuf al-Fayyūmi in Arabic also known by the acronym “Rasag” (who is considered one of the greatest Jewish sage from the geonic era. An intellectual tower in the field of biblical exegesis, Jewish philosophy, Hebrew language, prayer, and Halakha)  in his magnus opus arabic translation of the Torah Attarjamah Al’arabiyyah Attawrah الترجمة العربية للتوراة rendered Genesis 16:7 as follows:

genesis-16-7

فو جدها مالك اللّٰه على عين ماء في البرية على على التي في طريق الحجاز

My literal translation : “The Angel of Allah found her on a spring of water in the wilderness on the way in the Hijaz (Al Hijaz)”

To me this is remarkable discovery. Rasag did not mention Shur but Al Hijaz, he seemed to confirm the origin of the zamzam well, a miraculously generated source of water from God, which according to traditional Islamic report began when Hagar and her infant son Ishmael was wandering in the wilderness thirsty and desperately need for water. It was then God sending his angel, Gabriel to help Hagar. Later then Ishmael and his father Abraham rebuilt the Bayt Allah (“House of God”) called the Kaaba, a landmark building which Muslims around the world visit and face in prayer.  The place which Rasag mention as  Al-Hijaz  is the region in the west of present-day Saudi Arabia where  the holy city of Mecca in which the Kaaba is situated.

Hejaz-English.jpg

Rasag originally wrote his original Torah translation using Hebrew scripts not Arabic (Judeo-arabic scripts). This also has been bolstered by the fact that no texts of the Arabic script have been found in any of the Genizah collections. As Muslims at his time could not read Hebrew or Hebrew characters this clearly indicates that Rasag wrote his translation of the Torah with a Jewish audience in mind, an assumption supported by Rasag own description of his work. So There is little possibility that Rasag deliberately choose the wording in order to fit Islamic audience as later  jewish commentator such as 12th century  Abraham Ibn Ezra had been speculating.

Update:

more support that Rasag himself chose to refer to the Al -Hijaz region in his Torah translation can be found in his rendering of Genesis/Bereishit 10:30, in which he translates the locations Mesha  מֵשָׁ֑א  and Sephar סְפָ֖רָ as Mecca مكة and Medina المدينة.

Please refer to Rasag tarjamah text below:

genesis-10-30-saadia

TYI di Festival Naskah Nusantara

Dalam rangka memperingati Bulan Gemar Membaca dan Hari Kunjung Perpustakaan pada September ini, Perpustakaan Nasional (Perpusnas) menggandeng Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manasa) menggelar Festival Naskah Nusantara, tanggal 26 September hingga 29 September 2016 lalu.

Indonesia memiliki ribuan naskah kuno dengan beragam aksara dari berbagai daerah. Naskah kuno tersebut  merefleksikan peradaban dan kebudayaan lokal yang pernah digunakan oleh berbagai etnis dan suku bangsa di Indonesia.

Kita memiliki naskah kuno seperti Negarakertagama, Sutasoma, dan Serat Centini, serta memiliki ribuan naskah kuno dari berbagai daerah yang juga memiliki kandungan nilai luhur tentang jati diri bangsa Indonesia. Naskah kuno tersebut dapat disaksikan pada Festival Naskah Nusantara II, di Perpusnas yang beralamat di Jalan Salemba Raya Nomor 28A, Jakarta Pusat.

Kepala Perpusnas Muh Syarif Bando mengatakan, naskah-naskah kuno itu sangat penting untuk dilestarikan. Sebab, aksara-aksara dalam naskah kuno menjadi jembatan penghubung antara masa lalu, hari ini, dan era yang akan datang. Juga untuk melihat bagaimana sejarah bangsa Indonesia pada masa lampau.

“Pelestarian ini penting untuk melihat bagaimana menciptakan sejarah hari ini untuk kita bisa pelajari pada hari esok. Dan, tidak ada yang bisa menceritakan tentang perjalanan panjang sejarah kecuali melalui naskah yang tercipta pada zamannya. Jadi, filosofinya bahwa kalau Anda mau berdiri tegak hari ini, maka Anda tidak bisa tidak ditopang dengan sejarah masa lalu. Begitu juga kalau Anda mau sukses pada masa datang, Anda tidak akan melupakan hari ini,” kata Syarif, usai membuka acara Festival Naskah Nusantara 2016 bertema Aksara Identitas Bangsa: Meneguhkan Jatidiri Kebhinnekaan Indonesia, di Gedung Perpusnas, Jalan Salemba Raya 28 A Jakarta Pusat, Senin, 26 September 2016.

Begitu berharganya naskah kuno, Syarif mengibaratkannya seperti harta karun yang harus dilestarikan dan diperkenalkan kepada masayarakat. Sebab, di dalam naskah kuno terkandung pesan moral, ajaran, dan nilai-nilai luhur ketimuran bangsa Indonesia yang diakui di seluruh dunia.

“Ketika hari ini kita diserbu media sosial yang kemudian generasi kita menjadi sangat dangkal daya analisisnya, maka potensi terjadinya benturan, perpecahan, bahkan perbedaan pendapat untuk saling hujat, saling fitnah di media sosial itu sangat mungkin. Oleh karena itu, kita berharap, dengan pameran ini kita  kembali instropeksi, bagaimana leluhur kita membangun suatu kekuatan dengan ajaran-ajaran yang mengandung nilai sangat tinggi,” ujar Syarif.


Proses digitalisasi naskah kuno dapat disaksikan pada Festival Naskah Nusantara II, di Perpusnas (Foto:Metrotvnews.com/Pelangi Karismakristi)

Menilik pentingnya naskah kuno, Perpusnas hingga saat ini masih terus menelusuri dan mengumpulkan naskah kuno yang tersebar di seluruh nusantara. Bahkan berada di luar negeri, seperti Belanda, Inggris dan Prancis. Ada juga yang disimpan menjadi koleksi pribadi. Keberadaan manuskrip tersebut terancam punah karena tidak dirawat dengan baik oleh pemiliknya, maupun faktor lingkungan seperti bencana alam.

“Maka dari itu di kami (Perpusnas) akan memaksimalkan upaya untuk menelusuri naskah-naskah yang masih ada di masyarakat dan berusaha untuk memperolehnya. Baik melalui pertukaran, pembelian, atau reproduksi. Usaha pelestarian naskah kuno dilakukan juga melalui alih Bahasa dan alih aksara. Tujuan kami agar  naskah itu  tidak punah oleh berjalannya waktu,” kata Syarif menjelaskan.
menachem-aliPentingnya melestarikan naskah kuno juga diamini oleh Menachem Ali, seorang filolog (ahli bahasa, kebudayaan, pranata, dan sejarah  bangsa yang terdapat dalam bahan tertulis) yang juga pendiri komunitas The Yeshiva Institute. Ali menyadari kondisi manuskrip itu kuno dan tidak banyak orang yang berminat mempelajarinya. Hal ini berkaitan erat dengan keterbatasan aksara dan bahasa yang tidak semua orang bisa memahaminya.
“Ini merupakan masalah besar. Sementara, pengetahuan nenek moyang kita dalam berbagai hal sudah tersimpan rapi dalam sebuah dokumen yang disebut manuskrip. Kalau tidak dimanfaatkan, maka  akan kehilangan jati diri kita sebagai bangsa,” tutur Ali, yang gemar berburu manuskrip dan buku langka sejak 2009.


Naskah kuno dipamerkan pada Festival Naskah Nusantara II di Perpusnas (Foto:Metrotvnews.com/Pelangi Karismakristi)

Dalam naskah kuno banyak nilai-nilai penting yang bila dipelajari, dapat diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa. Misalnya, tentang konsep kepemimpinan pada zaman kerajaan, panduan kepemimpinan, bagaimana kaitan agama dengan politik, bahkan bidang farmasi pun dapat ditemukan dalam naskah kuno.

“Festival Naskah Nusantara sebetulnya sarana awal untuk memperkenalkan kepada publik, bagaimana kita memahami diri melalui manuskrip, supaya kita bisa mengembangkan peradaban kita. Ini sebetulnya peradaban yang sudah terpendam tapi diungkap kembali, supaya kita bisa berjalan ke depan menyusuri sejarah yang akan kita buat, dalam rangka meperkokoh jati diri bangsa. Terutama pengenalan sebagai bangsa yang akrab dengan tradisi literasi,” ujar Ali.

Pada Festival Naskah Nusantara tahun ini, Perpusnas memamerkan naskah dalam berbagai aksara dan bahasa, serta menggelar workshop pembuatan kertas tradisional dari daluwang dan lontar, konservasi naskah, penulisan aksara kuno nusantara, pertunjukan musik tradisional, lomba pembuatan film animasi berdasarkan naskah Negarakertagama, Babad Diponegoro, dan Cerita Panji. Ada juga symposium  internasional pernaskahan nusantara dengan menghadirkan pembicara ahli dari British Library, Leiden University, Cologne University, Hamburg University, EFEO Paris, UI, UGM dan PPIM-UIN.

Sementara, naskah yang dipamerkan selain Negarakertagama dan Sutasoma, ada Babad Diponegoro, Maulid Nabi, La Galigo, Babad Blambangan, Bomakawya, Pustaha Laklak, Panji Angraeni, Babad Tanah Jawi, Arjunawiwaha, Lontarak Pabura, Surek Baweng, Naskah Batak, Sanghyang Siksa Kandang Karesian, dan lainnya.


Pengunjung praktik menulis di atas lontar (Foto:Metrotvnews.com/Pelangi Karismakristi)

Ada yang menarik perhatian banyak pengunjung, yakni di booth workshop penulisan naskah dengan lontar. Di sana, pengunjung juga bisa langsung mempraktekkan menulis di atas lontar dan hasil tulisannya pun boleh dibawa pulang. Caranya cukup mudah, dan jangan takut salah sebab sudah ada pemandu yang akan mengarahkan pengunjung yang penasaran ingin menjajalnya.

“Cukup dengan menulis menggunakan alat yang disebut pangrupa, kemudian agar bisa terlihat, nanti akan dioles menggunakan kemiri yang dibakar kemudian dibersihkan dengan tisu. Setelah itu, baru lontar akan dijalin dengan benang yang dikaitkan dengan penjepit,” jelas pemandu Dwi Mahendra Putra yang mengaku bisa menulis di atas lontar dengan akasara Bali sejak duduk di bangku SD.

Lontar yang Dwi miliki, didapatkan dari para perajin di tempat tinggalnya, Denpasar, Bali. Menurutnya, hingga kini tradisi menulis lontar ini masih dilakukan di Pulau Dewata. “Tradisi lontar masih hidup sampai sekarang. Kita generasi muda yang bisa dilakukan ya menghidupkan kembali dan kita terus belajar,” ucap pria yang kental dengan logat Balinya ini.


Pengunjung Festival Naskah Nusantara II di Perpusnas (Foto:Metrotvnews.com/Pelangi Karismakristi)

Festival Naskah Kuno ini mendapat apresiasi dari masyarakat, seperti halnya Wening Pawestri dan Fari yang datang dari luar Jakarta. Mereka mengaku senang bisa melihat dan mengunjungi langsung acara ini, keduanya pun merasa mendapat manfaat, yakni bisa mengetahui betapa kaya kebudayaan dan warisan Indonesia yang ditunjukkan melalui naskah kuno.

“Saya baru tahu adanya naskah kuno setelah kuliah,  ternyata banyak sekali nilai-nilai di dalamnya dan bagus banget. Naskah kuno bisa untuk membangun kembali jati diri bangsa dan mengungkap pemikiran-pemikiran leluhur. Sekarang keadaan politik semakin terpuruk, kalau bisa lebih baik lagi diambil dari ilmu-ilmu yang ada di dalam naskah itu,” ucap Wening, mahasiswa pascasarjana Filologi Unpad.

“Saya ingin belajar banyak aksara yang ada di Indonesia, di sini kita bisa banyak tahu tentang aksara nusantara. Bahkan saya tadi dapat penjelasan kalau penemu kertas itu sebanarnya dari nusantara, bukan Cina. Jadi tambah bangga saja, semakin tambah ‘nguri-uri’ kebudayaan. Ini sangat berguna, kalau bisa setiap tahun ada dan jangan cuma di Jakarta,” ucap Fari, pengunjung dari Magelang, Jawa Tengah.

Sumber: MetroTVNews