Masjid dan Synagoga: Refleksi Piagam Machpelah
Agama Yahudi dan agama Islam bukanlah agama yang harus saling diperseterukan. Kita harus belajar dari negeri Palestina. Mengapa? Sebab di wilayah Palestina inilah terdapat kota Hebron; dan di kota Hebron inilah terpahat situs abadi yang menjadi saksi adanya Piagam Gua Machpelah. Di gua Machpelah inilah Yishmael dan Yitzhaq bersama2 memakamkan jenazah Abraham yang telah melahirkan keduanya sebagai anak-anak yang saleh. Derai air mata keduanya tatkala memakamkan jasad ayahnya ke liang lahat dng tangan mereka sendiri dan melepas kepergian Abraham utk bertemu HaShem (TUHAN) di alam keabadian. Silakan Anda membaca dengan seksama kitab Torah, Sefer Bereshit 25:7-9.
Kini, kaum Yishmaelim (kaum Muslim yang meneruskan ajaran Ishmael) meneladani Ishmael dan berziarah ke pusara datuk mereka dan melaksanakan shalat di masjid Hebron – tempat makam Abraham – sambil menyebut shalawat Ibrahimiyyah dalam shalat, mereka membaca:
“….. Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ali Muhammad kama shallayta ‘ala Ibrahim wa ali Ibrahim …..”
Begitu juga, kaum Yahudi juga menjalankan tefilah di masjid Hebron sambil membaca doa:
” .. baruch atta ADONAI Eloheynu Melech ha-olam. Elohey avoteynu Elohey Avraham Elohey Yitzhaq V’lohey Ya’akov ….”
Cobalah Anda saksikan di sana, Anda akan merasakan sesuatu yang amat mengharukan kini sedang terjadi. Yang satu menyebut nama Abraham dalam bahasa Arab, yang satu menyebut nama Abraham dalam bhs Ibrani. Sungguh, Abraham tersenyum menyaksikan umat Islam dan umat Yahudi bertemu di pusara Abraham dan memanggil namanya di depan jasad Abraham sang ayahanda tercinta.
Kini, masyarakat Yahudi di New York meminjamkan synagoga sebagai tempat ibadah kaum Muslim; dan sebelumnya juga di New York umat Islam telah meminjamkan masjid mereka utk tefilah sebagai tempat ibadah umat Yahudi. Tetapi sesuai dng halacha, yakni syariat agama Yahudi, umat Yahudi diharamkan meminjamkan synagoga mereka untuk tempat ibadah umat Kristen. Mengapa? Ini berkaitan dng halacha (syariat Yahudi) yang harus dipahami oleh penganut agama lain. Maka, sudah sepatutnya kita harus belajar dari umat Muslim dan umat Yahudi di USA utk mewacanakan sikap toleransi sesuai kaidah syariat kedua belah komunitas iman. In sha ALLH. Baruch HaShem.
Namun demikian, ada saja orang2 yang tidak paham bahwa peristiwa ini dianggap hanya sebagai politik pencitraan yang diwacanakan kepada publik agar terkesan adanya toleransi antara umat Muslim dan umat Yahudi. Menurut saya, kecurigaan dan asumsi mereka sebenarnya tidak berdasar dan mereka sebenarnya juga tidak paham ajaran syariat Islam dan ajaran halacha Yahudi. Ada yang tidak paham tapi terlalu banyak berbicara dan merasa lebih paham dari pada mereka yang telah memahami kedua agama Abrahamic tersebut.
Dalam ajaran halacha (syariat) agama Yahudi, umat Yahudi boleh memakan sembelihan umat Islam karena dianggap kosher. Apa itu kosher? Istilah Ibrani ini sama dengan halal dalam Quran. Dan mengapa sembelihan itu dianggap kosher? Pertama, karena sembelihan itu disembelih dengan menyebut nama ALLH, Ism al-a’dzam (the Great Name) dalam tata penyembelihan syariat Islam, yang menurut halacha agama Yahudi diakui sejajar dengan nama YHWH, ha-Shem (the Name). Seandainya nama ALLH dalam halacha (syariat) agama Yahudi dianggap sebagai nama berhala, maka pasti para Rabbi sejak zaman dulu hingga sekarang akan mengharamkan sembelihan umat Islam itu utk dikonsumsi oleh umat Yahudi se-dunia. Kedua, penyembelihan dalam syariat Islam itu dilakukan dengan cara menghadap kiblat di Mekkah, dan ini dianggap kosher dalam halacha agama Yahudi, sebagaimana yang termaktub dalam kitab2 Responsa Rabbinik, misalnya kitab Kitzur Sulchan Aruch. Seandainya Bait Suci di Mekkah yang dijadikan kiblat oleh umat Islam dalam penyembelihan dianggap sebagai kiblat penyembahan berhala yang bernama ALLH maka bisa dipastikan halacha (syariat) agama Yahudi akan mengharamkan umat Yahudi se-dunia untuk mengkonsumsi hasil sembelihan umat Islam. Dan 2 alasan ini telah tertulis dalam kitab2 penting agama Yahudi lainnya.
Rashi (Rabbi Shlomo ben Yitzhaq) adalah Rabbi Besar pada masa generasi Rishonim yang diakui otoritasnya. Rashi telah menyatakan dalam Perushi Rashi ‘al ha-Torah ketika menjelaskan Sefer Bereshit 18:7 bahwa tatkala Abraham mengambil seekor anak lembu yang empuk dan baik, lalu menyerahkan dan memerintahkan kepada seorang anak muda dan segeralah anak muda itu menyembelihnya/mengolahnya – el ha-Na’ar (to the youth/ anak muda), Rashi menyatakan ha-Na’ar zeh Yishmael (anak muda itu adalah Yishmael) le hannevo be mitzvoth (Abraham mengajarkan kepadanya utk melaksanakan mitzvoth). Penyembelihan adalah salah satu dan bukan satu-satunya dari mitzvoth yang diajarkan Abraham kepada Yishmael, dan umat Islam meneruskan mitzvoth yang diterima Yishmael dari ayahnya. Itulah sebabnya umat Yahudi menyebut para pengikut ajaran Islam dng sebutan Yishmaelim, yakni kaum penerus iman Ishmael. Bahkan Mekkah yang berkaitan dng tempat kediaman Yishmael pun juga diakui sebagai kebenaran oleh para Rabbi Besar yang memiliki otoritas dalam penjelasan Torah. Kalau penyembelihan umat Islam dianggap kosher oleh kaum Yahudi, padahal penyembelihan itu dilakukan dng cara menghadap Ka’bah Bait Suci di Mekkah, maka inilah bukti kongkrit pengakuan ajaran Rabbinik atas eksistensi kebenaran lokasi geografis Makkah sebagai tempat kediaman Ishmael. Rabbi Besar David Kimchi (Radak) yang merujuk pada otoritas Rabbi Besar Saadia ben Yosef (RavSag), pada kitab Torat Chaim, khususnya pada penjelasan nama Mesha, David Kimchi menyatakan:
Mesha, Targum Rav Saadia Gaon z”l Mekka she holachim ha-Yishmaelim le Hag shem
(nama Mesha dalam Targum Rav Saadia Gaon – semoga Eloqim menyucikan jiwanya – adalah Mekkah tempat pelaksanaan syariat bagi kaum Yishmaelim (kaum penganut iman Ishmael/Muslim) yang namanya ibadah Hajji.
Inilah bukti adanya pengakuan valid dalam kitab2 Rabbinik bahwa Mekkah memang sudah mereka kenal, bukan saja secara historis tapi juga secara teologis. Artinya, nama Mekkah dalam Targum Judeo-Arabic (Targum Saadia) adalah nama lain dari Mesha dalam teks Masoret Ibrani; sebagaimana nama Al-Hijaz dalam Targum Judeo-Arabic (Targum Saadia) adalah nama lain dari Hagra dalam Targum Judeo-Aramaic (Targum Onqelos) dan sekaligus nama lain dari Syur dalam teks Masoret Ibrani (Sefer Bereshit 10:30; 16:7).
Nama lokasi geografis bisa berbeda tetapi secara historis hal itu diakui oleh para Rabbi merujuk pada lokasi geografis yang sama. Itu semua akibat perbedaan/pergeseran lintas bahasa dari bahasa Ibrani, bahasa Aramaic hingga bahasa Arab. Inilah eksistensi lokasi geografis Mekkah yang dikenal oleh para Rabbi dalam konteks historis. Selanjutnya, Mekkah bagi para Rabbi juga merujuk pada aspek teologis. Artinya, Mekkah adalah kiblat yang di dalamnya ada Bait Suci bagi kaum Yishma’elim dalam menjalankan syariat ibadah Hajji. Di sinilah diagungkan nama HaShem (TUHAN) yang disembah oleh Abraham dan Yishmael dan bukan sebagai kiblat penyembahan berhala sebagaimana yang sering dituduhkan oleh kaum Kristen kepada umat Islam. Berdasarkan alasan-alasan historis dan teologis inilah maka halacha (syariat) agama Yahudi menghalalkannya. Itulah sebabnya sembelihan umat Islam dianggap kosher dan masjid umat Islam pun dianggap kosher.
Baruch HASHEM.