Lokasi Al-Madinah: Mengkritisi Apologet Kristen tentang Wacana Pengaruh Islam dalam Targum Saadia
By Menachem Ali
Pengantar
Isu adanya pengaruh istilah-istilah Islami khas Quran yang dituduhkan terhadap Targum Saadia oleh kaum apologet Kristen, ternyata telah memasuki babakan yang lebih masif dan intensif. Mereka menyadari betapa dahsyatnya peran Targum Saadia bagi umat Yahudi dan umat Islam, mereka pun menyadari bahwa Targum Saadia sebagai warisan dokumen Rabbinik yang amat penting ternyata dapat mengancam kemapanan teologi Kristiani dan sekaligus sbg penghalang Kristenisasi. Itulah sebabnya para apologet Kristen berupaya secara masif dan siatematis utk mewacanakan kecacatan Rav Saadia Gaon sbg sang Rabbi yang otoritarif dalam konteks sanad keilmuan Rabbinik, dan sekaligus mewacanakan invaliditas Targum Saadia sebagai Targum yang tdk otentik dalam penyingkap pesan Torah. Berkaitan dengan hal-hal tersebut, saya akan membedah keberatan mereka atas Targum Saadia berdasarkan 2 poin penting, dan tentu saja dalam pembahasannya saya menggunakan bahasa sederhana, bukan dengan bahasa akademik, yang biasanya saya gunakan untuk menulis jurnal.
- Kredibiltas Rasag yang Diragukan
Presiden Israel yang sekarang, Reuven Rivlin telah mengakui kredibilitas Targum Saadia sebagai karya luar biasa yang membuktikan keluhuran posisi Rav Saadia Gaon dalam tradisi Rabbinik. Lihat dan bacalah surat beliau kpd Rabbi Yomtov Haim di thread ini. Namun, seorang apologet Kristen yang bernama Jimmy Jeffry (JJ) dengan menggunakan data 2nd sources dari kalangan Orientalis Kristen, ia mengklaim bahwa Rasag ditentang oleh rabbi-rabbi masa thabaqat generasi Gaonim hingga para Rabbi masa thabaqat generasi Rishonim. Bahkan, Ibn Ezra konon juga dianggap menentang Rasag. Namun sayangnya, JJ tidak menunjukkan siapa nama-nama para Rabbi yang menentang kredibilitas Rasag. Fakta justru sebaliknya, Ibn Ezra sangat memuji Rasag. Rabbi Abraham Ibn Ezra (1089-1167 CE) tatkala menjelaskan nas Sefer Bereshit 2:11 dalam kitabnya Ibn ‘Ezra ‘al ha-Torah ‘im Phirush Otzer Chayyim, dia sangat memuji adanya Targum Saadia dalam bhs Judeo-Arabic, bahasa kaum Ishmael. Dia berkata:
“Amar ha-Gaon le kavod HASHEM ka ‘Abor sa-Targum ha-Torah be leson Yishmael u be ktiv-tem shela yomeru ki yas be Torah mitzvoth lo yedo’anim.“
“The Gaon said for the glory of God by translating the Torah into the language of the Ishmaelities and into their script, so that no one can say that the Hebrew Torah contains words that nobody understand.”
(Ibn Ezra ‘al ha-Torah ‘im Phirush Otzer Chayyim. Bereshit. Yerusalem, p. 69).
Pernyataan Ibn Ezra sendiri dalam kitabnya tsb menyatakan bhw dengan adanya Targum Saadia, maka hal itu merupakan bukti bahwa Ibn Ezra tidak menentang Rasag, justru memujinya. Bahkan tatkala Ibnu Ezra menjelaskan nas Sefer Bereshit 16:14 tentang be’er Laha Roi ternyata Ibn Ezra menjelaskan dng pernyataan tegas bhw Be’er Laha Roi adalah Be’er zamum (sumur mata air zam-zam), fakta teks iini justru membuktikan bahwa Ibn Ezra juga menguatkan penjelasan Rasag terkait ayat sebelumnya, yakni nas Sefer Bereshit 16:7 yang menyebut Syur dengan nama lain, yakni Hijr Al-Hijaz. Targum Onqelos menyebut Hagra, Targum Saadia menyebut Hijr Al-Hijaz sebagai penjelasan lokasi geografis Hagra, sedangkan Ibn Ezra menegaskan eksistensi sumur mata air zam-zam yang ada di lokasi geografis Al-Hijaz tersebut. Dengan demikian, Targum Saadia menyebut Hijr/Hajr Al-Hijaz sepadan dng Targum Onqelos menyebut Hagra, ini sekaligus membuktikan bahwa sebutan Hagra atau pun Hijr yang dimaksud itu merujuk pada wilayah Hijaz. Inilah penjelasan Targum Rasag atas Targum Onqelos, dan Perush Ibn Ezra juga menjelaskan ttng sumur Lahai Roi sebagai be’er zamum (sumur mata air zam-zam) yang juga semakin menjelaskan Targum Rasag berkaitan dng sumur zam-zam yang ada di wilayah Hijaz tersebut.
Maka, bila Orientalis Kristen menyatakan adanya pertentangan antara Rasag (Rav Saadia Gaon) dng Rabbi Ibn Ezra, maka hal ini sebenarnya hoax, sebab Ibn Ezra sendiri memuji Rasag dalam penjelasannya pada Sefer Bereshit 2:11 dan Sefer Bereshit 16:14. Jimmy Jeffry melakukan kesalahan besar yang bisa dikatakan sebagai pseudo-academic terkait dengan Rabbi Ibn Ezra. Mengapa? JJ membuat pernyataan hoax atas pribadi Ibn Ezra yang katanya menentang Rasag. Saya memaklumi tindakan Jimmy Jeffry tersebut akibat keterbatan sumber primer yang diaksesnya. Ini pun akibat ketidakcerdasannya bernalar secara kritis dalam mengakses sumber yang menjadi rujukannya melalui 2nd sources.
Begitu juga pernyataan JJ yang menyatakan bahwa para Rabbi juga banyak yang menentang Rasag. Benarkah itu? Rabbi Yomtov Haim ben Ya’akov Daknish Hacohen (manager Project Saadia Gaon) dalam karyanya berjudul Torah: Original Commentary in Arabic by Rabbi Saadia Gaon (Jerusalem, 2015, p.v beliau menyatakan:
” ….. The Rabbi Saadia Gaon’s Torah commentary is the most faitfull commentary ever written in the Arabic language. Over the last 15 centuries, no other Torah commentator in the Arabic language, except for Rabbi Saadia Gaon, has fulfilled as minimum two conditions for a faitful work, that he is Jewish and that he was worked directly from the original Hebrew Torah text. Thus Rabbi Saadia Gaon’s commentary set a standard of fidelity for all subsequent generations. The famous commentator Rashi (1040-1105 CE) in his commentary on Exodus (chapter 24:12) referred to Rabbi Saadia Gaon as Rabbenu [our teacher] Saadia.
The Great Kabbalist Rabbi Yosef Haim, the “Ben Ish Hai” (1834-1909 EC)
praised Rabbi Saadia’s commentary warmly in his book of Halachot (part 2, parashat Ki Tetze, Hilchot Talmud Torah, 25) ” … and here in our town of Baghdad there is the commentary of Rabbi Saadia on the Torah in Arabic. It includes many points very well clarified in the Arabic language … and in order to understand the precious diamonds of this commentary.” During the eleven centuries since the writing of the Rabbi Saadia’s commentary it has been studied widely, especially by Yamanite Jews who has used the Judeo-Arabic version of the commentary in their daily learning. The Judeo-Arabic Yemenite manuscripts’ version of the commentary has been printed along with the text of the Torah, beginning with the Jerusalem edition of 1894 CE. and continuing until today.”(Rabbi Yomtov Haim ben Yaakov Daknish Hacohen. at-Tawrah: Tafsir al-Ashli min ma’ali al-Hakhom Saadia Gaon ibn Yusuf al-Fayyumi. Yerusalem, 2015, p.v).
Dengan demikian, tuduhan Rabbi-rabbi yang katanya banyak yang menentang Rav Saadia Gaon hanyalah hoax, dan ini merupakan alibi kaum apologetis Kristen untuk mendiskreditkan dan memarginalkan posisi Saadia Gaon.
- Pengaruh Istilah Quran dalam Targum Saadia.
Sebenarnya, dalam Targum Saadia memang terdapat kosakata yang sejajar dng kosakata Quran. Namun anehnya, kesejajaran itu terlalu terburu2 bila disimpulkan sebagai bentuk pengaruh Islam dalam Targum Saadia. Menurut saya, kesejajaran ini ada 2 opsi/alternatif. Pertama, apakah adanya kesamaan kosakata dalam Targum Saadia dan kosakata Quran bisa membuktikan bahwa Targum Saadia dipengaruhi Islam? Kedua, apakah kosakata Arab yang termaktub dalam Quran dan kosakata Judeo-Arabic yang termaktub dalam Targum Saadia sama-sama mewarisi common heritage bhs Arab era pra-Islam?
Opsi pertama yang diwacanakan oleh para apologet Kristen mengandung banyak kecatatan karena hanya berpijak pada 1 sisi, yakni hanya fokus pada kesamaan kosakata Arab yang dipakai pada keduanya, sebagaimana yang muncul dalam Targum Saadia dan Quran. Padahal fakta kajian perbandingan teks antara Targum Saadia dan Quran justru juga membuktikan adanya banyaknya ketidaksamaan kosakata yang dipakai di dalam keduanya. Adanya kesamaan/kesejajaran kosakata merupakan warisan pra-Islam, misalnya nama ALLH, qaryat, qura, Al-Madinah yang sudah dikenal oleh orang Arab pra-Islam dan kaum Yahudi Musta’ribah era pra-Islam, yang merupakan warisan bersama, dan bukan pengaruh Islam sama sekali. Justru banyaknya kosakata Yahudi Musta’ribah yang terekam dalam Targum Saadia yang justru berbeda dng Quran, hal ini semakin membuktikan bahwa Targum Saadia tidak mewarisinya dari Quran. Apalagi gramatika bahasa Judeo-Arabic dalam Targum Saadia berbeda sama sekali dng gramatika Quran, maupun gramatika bahasa Arab-Islam, yang membuktikan bahwa tidak adanya pengaruh Islam dalam Targum Saadia. Misalnya:
Redaksional teks Targum Saadia tertulis
- Qain
- Khanukh
- Yitru
- Abroham
- Yishmail
- Yishhaq
Redaksional teks Quran tertulis
Kajian linguistik diakronis antara kosakata dan gramatika yang berbeda antara Targum Saadia dng Quran akan saya bahas pada thread yang lain. Namun, thread ini akan fokus pada Sefer Bereshit 10:30 dan Sefer Bereshit 16:7. Dalam kedua nas tersebut, terdapat nama Al-Madinah dan Hijr Al-Hijaz dalam versi Targum Saadia yg sejajar dengan Targum Onqelos, yakni nama Medinta dan Hagra. Ini merupakan fakta tekstual yang tak bisa dibantah secara akademik. Oleh karena itu, ada upaya penetrasi wacana pseudo-academic dalam ranah publik yg dibangun tanpa dasar yang kokoh dengan asumsi-asumsi apologetik yang tak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Teori usang yang cacat akademik ini digemakan lagi, yang disebut sebagai teori “borrowing” atau teori ” influence ” yang sengaja diwacanakan ulang. Itulah sebabnya para apologet Kristen menyatakan adanya pengaruh Islam dalam Targum Saadia. Wacana ini sengaja dimunculkan dalam dialog Islam – Kristen yang ternyata saat ini memang banyak mendapat sorotan di kalangan para apologet Kristen, terutama Jimmy Jeffey (JJ) dan Teguh Hindarto (TH). Oleh karena itu, saya akan memaparkan kelemahan argumentasi pseudo-academic yang digagas oleh kedua apologet itu secara sederhana saja.
Targum Onqelos berbahasa Judeo-Aramaic dan Targum Rasag berbahasa Judeo-Arabic bagaikan 1 keping coin yang memiliki 2 sisi, yang penjelasannya saling melengkapi dan keduanya otoritatif dalam mempelajari teks kitab suci Torah. Bila seseorang mempelajari TaNaKH (Torah Neviem ve Khetuvim), yang disebut sebagai teks Masoret, tetapi menolak otoritas Targum Onqelos dan Targum Rasag, maka dia sama saja dengan tidak mengerti apa2 tentang TaNaKH. Itulah sebabnya, Rashi menjadikan Targum Onqelos dan Targum Saadia sebagai teks otoritatif dalam menjelaskan Torah. Rashi (Rabbi Shlomo ben Yitzhaq) menyebut nama Rabbi Saadia Gaon (Rasag) dengan sebutan Rabbanu Saadiyah (our teacher Saadia) dalam karyanya Perushi ‘al ha-Torah tatkala menjelaskan ayat yang termaktub dalam Sefer Shemot 24:12. Ini membuktikan bahwa Rashi memposisikan Saadia Gaon sebagai Rabbi otoritatif dalam pembelajaran Torah. Begitu juga Rashi memposisikan Onqelos sebagai figur otoritatif dalam pembelajaran Torah. Dalam karyanya yang berjudul Perushi ‘al ha-Torah, Rashi juga menyatakan Targumo dayyana (Targum renders it judge) tatkala menjelaskan ayat yang termaktub dalam Sefer Shemot 20:1
Begitu juga para rabbi lainnya yang berkarya pada era generasi Rishonim, seperti Ibn Ezra, Radak dan Ramban, termasuk munculnya TaNaKH dalam terjemahan bhs Yiddish yang umum dipakai di kalangan Yahudi Aschenazim pun justru mengutip dan saling menjelaskan terhadap otoritas Targum Onkelos dan Targum Rasag. Bahkan, Targum Rasag yang disebut Targum Chamisha Chumshe Torah be Leson ha-‘Aravit: Tafsir at-Taurah bi al- ‘Arabiyyah, karya Rabbanu Sa’adiyah ben Yosef Gaon diakui sangat otoritatif dan dianggap sebagai sumber klasik oleh kaum Yahudi Musta’ribah sejak dulu hingga kini. Oleh karena itu, relasi teks Masoret (TaNaKH), Targum Onqelos dan Targum Rasag amat signifikan dalam pembelajaran teks Rabbinik, khususnya Torah. Misalnya, nas Sefer Bereshit 16:14 dalam teks TaNaKH tertulis 2 nama lokasi geografis, yakni Kadesh dan Bered, sedangkan nas Sefer Bereshit 16:14 dalam teks Targum Onqelos tertulis Reqem dan Hagra. Apakah Onqelos salah dalam memahami Torah sehingga mengganti nama Kadesh menjadi Reqem dan sekaligus mengganti nama Bered menjadi Hagra? Apakah Onqelos sedang menggunakan nalar cocokologi dalam kitab Targum-nya? Apakah nama Kadesh dan Reqem memang merujuk pada nama lokasi geografis yang berbeda? Juga, apakah nama Bered dan Hagra mengacu pada nama lokasi geografis yang berbeda? Para rabbi tidak ada seorang pun di antara mereka yang menolak nama lokasi geografis Reqem dan Hagra sebagaimana yang termaktub dalam Targum Onqelos sebagai nama lain versi Judeo-Aramaic dari nama Kadesh dan Bared dalam bahasa Ibrani, dan tidak ada seorang pun di antara para Rabbi era generasi Rishonim yang menganggap bahwa nama Reqem dan Hagra sebagaimana yang termaktub dalam Targum Onqelos sebagai sebuah kesalahan penjelasan yang fatal, yang harus ditolak dan dianggap tidak otoritatif. Apakah ada seorang rabbi yang menyatakan bahwa nama Reqem dan Hagra dalam Targum Onqelos adalah sebuah nalar cocokologi, atau pun manipulasi kreatif dan bahkan kekeliruan akut akibat pengaruh Kristen, karena faktanya Targum Onqelos memang disusun pada era pasca-Kristen dan rampung disusun secara lengkap pada era pra-Islam? Sefer Bereshit 16:7 dalam TaNaKH tertulis nama Shur, sedangkan dalam Targum Onqelos tertulis nama Hagra. Mengapa nama Bered dalam Targum Onqelos (Sefer Bereshit 16:14) dan nama Shur dalam Targum Onqelos (Sefer Bereshit 16:7) sama-sama diganti dng nama Hagra dalam bahasa Aramaic? Mengapa Onqelos pemahamannya seakan-akan inkonsisten dalam kasus ini? Apakah benar Onqelos tidak konsisten sebagaimana tuduhan kaum apologet Kristen yang tak terpelajar? Bukankah nama Bered dan Shur secara tulisan tidak sama, tetapi mengapa keduanya disebut dengan nama yang sama yakni disebut dng nama Hagra? Apakah Bered, Shur dan Hagra merujuk pada lokasi geografis yang sama atau justru sebaliknya? Apakah Onqelos dalam hal ini menggunakan nalar cocokologi sebagaimana yang dituduhkan oleh kaum apologet Kristen? Begitu juga dalam Targum Saadia (Sefer Bereshit 16:7) tertulis nama Hijr al-Hijaz. Apakah itu berarti Rabbenu Saadia Gaon telah menggunakan nalar cocokologi? Dengan demikian, apakah Onqelos dalam Targum Judeo-Aramaic dan Saadia dalam Targum Judeo-Arabic keduanya telah menggunakan nalar cocokologi karena menyebut nama Bered dan Shur sebagai Hagra dan Hijr (al-Hijaz)? Apakah justru sebaliknya, bahwa nama Bered, Shur, Hagra dan Hijr (al-Hijaz) itu merujuk pada lokasi geografis yang sama dalam ekspresi bahasa yang berbeda, dan bukan dimaksudkan untuk merujuk pada lokasi geografis yang berbeda?
Bila kaum Kristiani menolak nama Hijr al-Hijaz sebagai padanan nama Shur sebagaimana yang termaktub dalam Targum Saadia, lalu mengapa mereka tidak menolak nama Hagra sebagai padanan nama Bered dan Shur sebagaimana yang termaktub dalam Targum Onqelos? Bukankah istilah Shur dan Bered itu bahasa Ibrani era Masoret? Bukankah istilah Hagra itu bahasa Judeo-Aramaic era Kristen? Bukankah istilah Hijr al-Hijaz itu bhs Judeo-Arabic era Islam? Apakah sebutan Hagra itu akibat pengaruh dan dominasi pandangan dunia Kristen atau pengaruh dari pandangan dunia Islam? Apakah sebutan Hijr Al-Hijaz itu juga akibat pengaruh dan dominasi dunia Islam atau pra-Islam? Istilah Al-Hijaz tidak tiba2 muncul di era Islam, justru telah eksis era pra-Islam. Apakah nama Hagra dan nama Hijr al-Hijaz yang termaktub dalam kedua Targum itu dianggap sebagai istilah yang keliru yang dilakukan oleh Onqelos dan Rasag? Kalau nama Shur yang diganti menjadi nama Hijr al-Hijaz dianggap keliru dan menyimpang, maka nama Bered dan Shur yang diganti menjadi nama Hagra juga harus dianggap lebih keliru dan sangat menyimpang. Bukankah kekeliruan Rasag hanya mengganti nama Shur menjadi nama Hijr al-Hijaz? Namun kekeliruan Onqelos lebih parah lagi karena Onqelos mengganti nama Bered sekaligus nama Shur menjadi satu nama, yakni Hagra. Bukankah nama Bered dan Shur jelas sekali merujuk pada nama yang berbeda? Namun sebaliknya, bila dalam hal ini Onqelos dianggap benar, maka Rasag seharusnya juga dianggap benar, begitu juga sebaliknya.
Adanya nama Hagra dalam Targum Onqelos, yang sejajar dengan nama Hijr (Al-Hijaz) dalam Targum Saadia, justru hal ini membuktikan adanya common heritage antara tradisi Yahudi dan Islam . Bahkan, adanya 3 kata kunci dalam Targum Onqelos yang menujuk lokasi Hagra (H-g-r), Medinta (M-d-n-t) dan Thur (Th-r) yang sepadan dengan 3 kata kunci dalam Targum Saadia yang menunjuk lokasi Hijr (H-j-r), Al-Madinat (M-d-n-t) dan Thur (Th-r) merupakan bukti eksisnya term2 tersebut sejak era pra-Islam dan bukan pengaruh islam. Apakah penggunaan leksikon Hagra, Medinta dan Thur dalam Targum Onqelos ini dipengaruhi tradisi Islam atau dipengaruhi Targum Saadia atau sebaliknya? Jika ketiga term Judeo-Aramic dalam Targum Onqelos itu dipengaruhi tradisi Islam, maka ini sangat mustahil karena Targum Onqelos sudah eksis sejak abad 1 M. Apakah istilah Medinta dan istilah Thur dalam Targum Onqelos ini dipengaruhi Quran dan tradisi Islam? Bukankah istilah Thur (gunung/pegunungan) dan Al-Madinat dalam Quran sejajar dng Medinta dan Thur dalam Targum Onqelos? Jadi, teori “pengaruh Islam”yang menyelinap dalam Targum Rasag yang dituduhkan oleh kaum apologet Kristen sangat tidak tepat, cacat, ber-standard ganda dan inkonsisten.
Targum Onqelos tertulis:
1. Hagra
2. Thur
3. Medinta (מדינתא)
4. Qirwin (קרוין) / Qirwayya (קרויא)
5. Qarta (קרתא)
Targum Saadia dan teks Quran tertulis:
1. Hijr
2. Thur
3. Al-Madinah (אלמדינה)
4. Qura (קרי)
5. Qaryat (קריה)
Tatkala menjelaskan Sefer Bereshit 16:7, ternyata dalam catatan kaki Targum Chamisha Chumshe Torah be Leson ‘Aravit le Rabbanu Saadiyah Gaon ben Yosef al-Fayyumi: Version Arabe du Pentateuque de R. Saadia Ben Josef Al-Fayyoumi. Notes Hebraiques (Paris: Ernest Leroux, Editeur, 1893), halaman 24 tertulis sbb:
Be derech Hijr Hijaz wa kana Targum Onqelos Hagra ve zehu eretz ha-‘Erev hamitz’it asher bo ‘Ir Mekah ha-Qadoshah le Yishmaelim u-Baka.
(ke jalan Hijr Hijaz dan pada Targum Onqelos Hagra dan hal itu merujuk tanah Arab yang orang2 penganut iman Ishmael bertujuan datang ke kota suci Makkah atau Bakka).
Jadi catatan kaki tersebut menegaskan bahwa Hagra dalam Targum Onqelos merujuk pada Hijr yang dikaitkan dng keberadaan Makkah di Hijaz, tanah Arab. Apalagi kata2 kunci dalam Targum Onqelos tersebut (Hagra – Madinta – Qirwayya -Qarta) semakin membuktikan bahwa leksikon Judeo-Arabic (Thur – Hjir – Al-Madinah – Qura – Qaryat) yang termaktub dalam Targum Saadia dan Quran hanya berfungsi mengkonfirmasi maksud yang sama sebagaimana Targum Onqelos; dan bukan membuktikan adanya pengaruh Islam dalam Targum Saadia.
Fakta sejarah juga telah membuktikan bahwa wilayah geografis Al-Hijaz itu meliputi kawasan Mecca dan Medina. Hal ini juga dibenarkan oleh Rasag dalam Targum-nya. Menurut Targum Rasag, Sefer Bereshit 16:7 yang menyebut nama Hijr Al-Hijaz terkait pula dengan Sefer Bereshit 10:30 yang menyebut nama Makkah dan nama Al-Madinat (baca: Al-Madinah), dan sepadan pula dengan Targum Onqelos yang menyebut nama Madinta. Bila seorang apologet Kristen menolak Targum Rasag hanya karena alasan redaksional penggunaan term Al-Madinat dalam Sefer Bereshit 10:30, dan hal ini mereka anggap ahistoris dan dianggap pengaruh Islam, bukankah redaksional penggunaan term Madinta dalam Targum Onqelos terkait Sefer Bereshit 10:30 juga ahistoris? Bukankah term Madinta ( M-d-n-t) dalam Targum Onqelos bhs Judeo-Aramaic dan term Al-Madinat (M-d-n-t) dalam Targum Saadia bahasa Judeo-Arabic ternyata keduanya itu maknanya sama yang merujuk pada makna proper name of place, dan bukan merujuk pada makna generic noun? Fakta membuktikan bahwa istilah Al-Madinat dalam Targum Rasag itu memang eksis pada era pasca-Islam, dan ketika menyebut ‘kota-kota’ lain ternyata Rasag tidak menggunakan istilah Al-Madinah, selain itu, istilah Madinta dalam Targum Onqelos bahkan lebih dulu eksis pada era pra-Islam.
Bila kita mempersoalkan atau pun meragukan validitas/keshahihan nama Al-Madinat (M-d-n-t) dalam Sefer Bereshit 10:30 versi Targum Saadia, maka sebenarnya kita juga perlu memperbicangkan ulang tentang keshahihan nama Madinta (M-d-n-t) dalam Sefer Bereshit 10:30 versi Targum Onqelos sebagai dokumen yang lebih kuno, yang telah eksis pada era pra-Islam sejak abad 1M., meskipun eksistensi nama Medinta (M-d-n-t) juga termaktub dalam Sefer Bereshit versi Targum Yonathan. Bahkan berdasarkan kajian analisis kritis, maka para apologet Kristen seharusnya mempertanyakan ulang eksistensi term Medinta (M-d-n-t), meskipun nama Medinta tersebut ternyata sudah ada dalam Targum Onqelos, yang ditulis sejak abad ke-1 M. tersebut yakni era pra-Islam.
Para apologet Kristen memang ingin memarginalkan Targum Saadia dng alasan teori “pengaruh Islam” dalam bingkai wacana akademik dengan alasan adanya nama Al-Madinat (baca: Al-Madinah) sbg akibat pengaruh Islam. Namun bagaimana dengan Targum Onqelos? Apakah Targum Onqelos juga dipengaruhi Islam karena dalam Targum tersebut ternyata juga tercantum nama Medinta? Di sini ada dua opsi. Pertama, nama Medinta diasumsikan telah disisipkan oleh orang Islam dalam Targum Onqelos, sehingga nama Medinta dianggap sbg bentuk Aram-isasi dari istilah Arab-Islam, yakni Al-Madinah. Asumsi ini tentu harus dapat dibuktikan secara kajian filologis tentang teks Targum Onqelos dengan meriset dan membandingkan manuskrip-manuskrip kuno kodeks Targum Onqelos yang memuat term Medinta (M-d-n-t) tersebut. Kedua, Targum Onqelos memang Targum palsu (pseudo-Targum) yang tidak bisa dijadikan rujukan oleh orang Kristen dng alasan apapun, meskipun ditulis pada abad ke-1 M. Bila Targum Onqelos dianggap palsu, maka tentu saja hal ini akan mengguncang dunia kekristenan. Para apologet Kristen memang kesulitan menjustifikasi Targum Onqelos sbg pseudo-Targum, karena mereka sendiri sangat bergantung pada teks Targum Onqelos utk menjustifikasi Yesus sbg Memra yang ilahi dan yang tak tercipta, sekaligus sebagai Meshiah yang Ilahi dan yang telah dinubuatkan dalam teks Targumim. Dengan demikian, kedua opsi ini dalam dunia kekristenan sangat dilematis.
Dalam Targum Onqelos bhs Judeo-Aramaic telah disebutkan nama מדינתא (Medinta), lihat Sefer Bereshit 10:30 versi Targum Onqelos. Ternyata istilah מדינתא (Medinta) dalam bhs Judeo-Aramaic itu sejajar dengan nama Al-Madinah dalam Targum Saadia bahasa Judeo-Arabic; kesejajaran ini bukan hanya sama secara fonologis, tapi juga sama dalam hal semantik-nya. Ini membuktikan adanya kesamaan nalar antara Targum Saadia dng Targum Onqelos yang memahami term Medinta dalam Targum Onqelos dan term Al-Madinah dalam Targum Rasag sebagai proper name of place (nama tempat) dan bukan merujuk hanya sekedar pada makna generic noun (istilah umum).
Berdasarkan hasil pembacaan teks Targum Onqelos dan Targum Saadia, ternyata istilah “kota-kota” disebut קרוין (qirwin) atau קרויא (qirwayya), kedua istilah ini menunjuk pada makna kota secara umum (generic noun) dalam bentuk jamak (plural), tetapi bila mengacu pada sebuah ” kota ” dalam makna umum (generic noun) yang bentuk tunggal (singular), maka disebut קרתא (qarta). Lihat Targum Onqelos dalam Sefer Bereshit 4:17; 11:4; 11:9; 22:17, Sefer Shemot 1:11, Sefer Bamidbar 13:28; 35:11 dan Sefer Devarim 19:2. Ternyata dalam Targum Saadia juga ada nalar konsistensi yang sama sebagaimana yang termaktub dalam Targum Onqelos, yakni berkaitan dengan istilah “kota” dan “kota-kota.” Dalam Targum Saadia tertulis Qara (q-r-y) sepadan dengan Qirwin (q-r-w-y-n) atau Qirwayya (q-r-w-y-a) dalam Targum Onqelos. Sementara itu, dalam Targum Saadia tertulis Qaryat (q-r-y-t) sepadan istilah Qarta (q-r-t-a) dalam Targum Onqelos. Dengan demikian, istilah2 Judeo-Aramaic yang termaktub dalam Targum Onqelos dan istilah2 Judeo-Arabic yang termaktub dalam Targum Saadia ini tidak ada hubungannya dng pengaruh Islam, meskipun dalam Quran juga digunakan istilah Qura dan Qaryat (baca: Qaryah).
Sementara itu, istilah מדינתא (Medinta) sebagai sebuah nama tempat (proper name) hanya tercantum dalam Sefer Bereshit 10:30 saja. Ini semakin jelas membuktikan bahwa istilah מדינתא (Medinta) dalam Targum Onqelos bukanlah merujuk pada wilayah yang tidak jelas, atau pun kota yang tidak teridentifikasi lokasinya. Itulah sebabnya dalam Targum Rasag, Rav Saadia menggunakan istilah Al-Madinah, yang merujuk pada kota Medina di wilayah Hijaz, yang sejajar dng istilah Medinta yang bermakna proper name (nama tempat) dalam Targum Onqelos. Orang-orang Yahudi Musta’ribah yang tinggal di Medina pada era Islam pasti akrab dng sebutan wilayah מדינתא (Medinta) sebagaimana yang termaktub dalam Targum Onqelos dalam bahasa Judeo-Aramaic yang merujuk pada eksistensi kota Medina, tempat kediaman mereka, dan yang telah menjadi common knowledge di antara mereka. Jadi Nabi SAW mengubah nama Yatsrib, yakni nama Arab (Arabic name) atau nama Medinta (Judeo-Aramaic) menjadi Al-Madinah sebagai nama Arab Islam (Islamic-Arabic name) sebenarnya hanya semacam konfirmasi/meneguhkan saja atas eksistensi kota tersebut dalam versi Islam, yang sebenarnya nama wilayah itu telah mereka kenal dalam dialek Judeo-Aramaic מדינתא (Medinta). Itulah juga sebabnya dalam Targum Rasag, Rav Saadia Gaon membubuhkan definite article (al-ma’rifah) pada nama Al-Madinah, yang berarti komunitas Yahudi Musta’ribah memahami kota tempat tinggal mereka yang dimaksud tersebut sudah jelas identitasnya dan kaum Yahudi Musta’ribah sendiri telah tinggal berabad2 lamanya di Medina bersama-sama suku Arab sebelum kemunculan agama Islam di pentas sejarah. Artinya, kaum Yahudi Musta’ribah yang tinggal di Medina, yang mengenal nama kota tersebut dengan istilah Judeo-Aramaic dng nama Medinta, merupakan de facto bahwa nama Medinta bukanlah pengaruh Islam atau ada hubungannya dng Islam. Nabi Muhammad SAW menyebut kota Medinta tersebut menjadi kota Al-Madinah hanya sekedar konfirmasi ulang atas eksistensi kota Medinta, nama versi Aramaic. Begitu juga, Rav Saadia Gaon menyebut Al-Madinah juga tidak ada hubungannya dng pengaruh Islam sebagaimana yang dituduhkan oleh kaum apologet Kristen. Mengapa? Sebab Saadia Gaon paham betul bahwa lokasi geografis kota Al-Madinah yang disebut Medinta dalam versi Aramaic, memang telah tertulis dalam Targum Onqelos sejak abad ke-1 M. Faktanya, kaum Yahudi Musta’ribah telah menghuni wilayah geografis kota Al-Madinah justru 5 abad sebelum Islam, dan mereka hidup dari generasi ke generasi di wilayah Medina (Aramaic: Medinta). Carole Hillenbrand dalam bukunya Islam. A New Historical Introduction menyatakan:
“In Medina the Arab already residing there were divided into two principal and mutually hostile tribal groups, the Aws and the Khazraj. Also living there were three important Jewish clans, the Banu Nadir, Banu Qaynuqa and Banu Qurayza which played an important part in the economic life of Medina.” (London: Thames and Hudson, 2015), p. 33
Teks Targum Onqelos terkait eksistensi nama Medinta, berbunyi demikian:
” …. mi Mesha mathei le Sephar Thur Medinta.”
(from Mesha as far as Sephar the mountain to Medina).
Rabbanu Saadia Gaon menegaskan pada teks Sefer Bereshit/Sifr Takwin: 10:29-30 berbahasa Judeo-Arabic sbb:
“Wa Ufir wa Hawilah wa Yubab kullu haula’u bani Qahthan. Wa kana maskanuhum min Makkah ila an taji ila Al-Madinah.…”
Jadi istilah “Al-Madinah” dalam Targum Saadia memang bukan pengaruh Islam dan juga tak ada sangkut pautnya dengan Islam. Al-Madinah hanya sekedar nama Judeo-Arabic dari nama Medinta yang termaktub dalam Targum Onqelos berbahasa Judeo-Aramaic.
Fakta teks Rabbinik ini justru menyatakan bahwa hal itu berkaitan dengan lokasi geografis Hagar dan Ishmael, dan tak ada teks Rabbinik yang menolaknya. Bahkan, Rasag, Ibn Ezra, Rashi, Radak bahkan Ramban pun tidak mengingkarinya.