Sejarah Yang Terlupakan Part 3

Shalom ‘aleychem
Assalamu ‘alaykum
 בסמלל  אלרחמן  אלרחים
Sejarah Yang Terlupakan
Part  3
By: Menachem Ali
Adanya benang merah antara narasi kitab Talmud dan Injil Matius terkait person yang sama yang merujuk kepada pribadi Yesus,  merupakan suatu kajian yang amat menarik. Apalagi benang merah itu  bukan merujuk pada  person yang berbeda, terutama berkaitan dng status Yesus. Kita harus paham betul tentang apa yang sedang dipikirkan Yusuf  dan motif apa yang melatarinya sehingga ia ingin menceraikan Maria yang dalam kondisi hamil (Matius 1:9). Yusuf berkeyakinan tentang adanya peristiwa perzinahan, ada orang lain yang telah menghamili Maria, dan kehamilan itu menjadi bukti bahwa Maria tidak setia kepada suaminya. Hal ini sejajar dng informasi Talmud yang menyebut Yeshu putera Stada, yakni Yeshu anak dari Stada (Satit da mi ba’alah – yang artinya:  Yeshu anak dari wanita yang tidak setia kepada suaminya, Talmud Bavli, juz Nezikin – traktat 67a ). Tidak ada dalam catatan di luar Talmud atau pun catatan di luar Injil mengenai tokoh historis personal Yesus yang lain (another Jesus) yang terkait dng tokoh Stada (Satit da mi ba’alah), kecuali tokoh sentral yang termaktub dalam PB. Tokoh yang disebut Stada juga tidak pernah eksis dalam catatan sejarah manapun kecuali dalam kitab-kitab Rabbinic yang ditujukan kpd manusia historis yang bernama Yeshu dan Maria istri Yusuf, sebagaimana yang tercatat dalam Injil Matius.
Dalam Talmud  Bavli juga disebut  seseorang yang bernama  Yeshu ben Panthera, dan Yeshu ben Panthera ini disalib pada perayaan Paskah karena didakwa melakukan sihir dan menyesatkan banyak orang Israel (Talmud Bavli, juz Nezikin – traktat 43a). Teksnya berbunyi:
” Pada Sabbat perayaan Paskah, Yeshu orang Nazaret digantung di kayu salib, sebab selama 40 hari sebelum eksekusi dijalankan, muncul seorang pemberita yang mengatakan: ” Inilah Yeshu ha-Notzri yang akan dirajam dng batu sebab dia telah mempraktekkan sihir dan magis yang mempengaruhi orang-orang Israel agar murtad. Barang siapa dapat mengatakan sesuatu utk membelanya hendaklah tampil dan membelanya.” Namun, karena tidak ada seorang pun yang tampil untuk membelanya, dia pun digantung di kayu salib pada saat perayaan Paskah. ” 
Berdasarkan teks Talmud ini, peristiwa penyaliban yang didakwakan kpd sang tokoh yang bernama Yeshu ha-Notzri (Yesus orang Nazaret) ternyata terkait dng praktek sihir dan magis yang mempengaruhi bangsa Israel murtad. Sebenarnya, tindakan sihir dan tindakan mukjizat hanyalah pembeda  istilah,  yang hakekatnya sama, yang keduanya  sebenarnya  mengacu pada karya keajaiban. Karya ajaib itulah yang menyebabkan Yeshu disalib pada perayaan Paskah menurut Talmud, dan dng  karya ajaib itu pula yang menyebabkan Yeshu disalib pada perayaan Paskah menurut catatan Injil (PB). Bahkan Flavius Josephus pun mencatat sang tokoh Yesus yang disalib pada perayaan Paskah ini juga  melakukan karya yang dianggap ajaib oleh para pengikutnya, tetapi akhirnya dia dihukum mati, dan para pengikutnya menyebutnya sebagai Kristus. Silakan Anda yang penasaran dng narasi sejarawan Abad 1 M tersebut agar  membaca the works of Josephus. Menariknya,  mata rantai narasi ketokohan yang sama, yakni Yeshu yang melakukan karya ajaib dan akhirnya  dijatuhi hukuman salib pada perayaan Paskah ternyata juga  tercatat secara linear dalam Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas, Injil Yohanes, Talmud Bavli dan karya Flavius Josephus. Tidak ada tokoh Yeshu lain dalam catatan sejarah manapun yang disalibkan gara2 perbuatan karya ajaib itu kecuali sang tokoh sentral dalam PB. 
Fakta sejarah juga membuktikan bahwa kitab Talmud mengalami pembakaran besar2an di Eropa. Bila kitab Talmud tidak ada hubungannya dng tokoh Yesus versi PB, maka tidak ada alasan yang bisa dibenarkan atas peristiwa pembakaran secara besar-besaran terhadap kitab Talmud tersebut. Paus Gregory IX memerintahkan pembakaran secara besar-besaran atas seluruh kitab Talmud tahun 1240 di Paris. Juga dekrit Paus Clement IV tahun 1264  memerintahkan  hal yang sama. Begitu juga para Paus yang lainnya. Jadi sangat tidak bisa dinalar bila kasus pembakaran terhadap  kitab Talmud  tersebut tidak ada  hubungannya dng Yesus dari Nazaret. Apalagi dalam Talmud Bavli secara tegas menyebut nama Yeshu ha-Notzri (Yesus orang Nazaret).  Silakan baca buku the Essential Talmud by Adin Steinsaltz. khususnya sub-topik: the persecution dan banning of the Talmud, hal. 81- 85. Karena alasan pembakaran kitab Talmud secara masif itulah, maka para Rabbi Abad Pertengahan mengeluarkan kebijakan untuk merevisi Talmud terkait ungkapan redaksional yang terlalu vulgar dan diganti dng ungkapan redaksional yg lebih soft, terutama yg ada kaitannya dng simbol-simbol kekristenan. Orang yang menekuni varian2 redaksional dalam teks Talmud akan memahami tentang perbedaan teks dan latar apa yang menyebabkan kemunculan varian teks  tsb. Misalnya teks Talmud tertua tertulis ‘Kutukan bagi kaum Notzrim (Kristen), tetapi versi terbaru lebih soft tertulis ‘Kutukan bagi kaum Minim (Bid’ah) dan tidak  menyebut nama  Notzrim (orang Kristen) secara terus terang dan vulgar. Namun, sebenarnya  para rabbi  tahu siapa yang dimaksud kaum Minim itu sebagaimana para rabbi juga tahu siapa yang dimaksud Yeshu putera Stada dan Yeshu ben Panthera sebagaimana yang tercatat dalam Talmud tersebut.
Penyebutan frase Yeshu ha-Notzri (Jesus of Nazaret) sebagaimana yang tercatat dalam Talmud ( Talmud Bavli – traktat B’rachot 17b dan traktat Sotah 47a) dan penyebutan ungkalan  Yimach shemo ve zichro (semoga namanya dilenyapkan) yang merupakan akronim  yang ditujukan kpd  nama Yeshu, maka ini sbg indikasi kuat bahwa tidak ada tokoh historis lain yang bernama Yeshu yang sangat dicaci kecuali merujuk kpd Yeshu ha-Notzri. Adakah tokoh Yesus yang lain dari Nazaret yang lahir era pra-Kristen selain Yesus yg disebut Kristus? Adakah tokoh Yesus yang lain dari Nazaret yang lahir pada era pasca-Kristen selain Yesus yang disebut Kristus?  Jawabannya pasti nihil.
” No wonder that faithful Jews tabooed the name of Jesus and spoke instead of ‘the nameless one’ or ‘that one.’  When they had to use his name – as they were occasionally compelled to do by Church authorities – they transcribed it as the acronym of the biblical curse “Yimach shemo ve zichro ” (May his name and his memory be blotted (Psalms 109:13; Deuteronomy 9:14). ” see Israelis, Jews and Jesus by Pinchas Lapide, pp. 99-100
Jadi kesimpulannya, kitab Talmud tidak pernah membicarakan ttng Yesus yang lain (another Jesus) kecuali merujuk kpd Jesus of the New Testament yang melakukan perbuatan sihir dan menyesatkan bangsa Israel, sehingga dia dihukum salib pada perayaan Paskah.
Selain didakwa mengajarkan sihir dan magis, Yeshu juga dianggap telah menyimpang ajarannya, terkait dua pilar utama (1) pengajaran  Emunah (Aqidah) yang dianggap menyimpang dan (2) pengajaran Halacha (Syariat) yang juga dianggap menyimpang. Contoh sederhana,  Yesus mengajarkan penyimpangan 2 pilar utama tersebut di antaranya:
1. Penyimpangan Emunah (Aqidah) yang mengajarkan Trinitas, yang  bertentangan dng pilar utama dalam Tauhid agama Yahudi. Yesus berkata: ” ….. dan baptislah mereka dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus. ” (Matius 28:19).
2. Penyimpangan Halacha (Syariat) yang mengajarkan tidak berlakunya kembali kiblat Bait Suci di Yerusalem  (Baytul Maqdis) dan sekaligus merevisi pemindahan kiblat itu kepada dirinya sebagai Bait Suci yang baru. Yesus berkata: ” Rombak Bait Allah ini dan dalam 3 hari Aku akan mendirikannya kembali.”  Lalu kata orang Yahudi kepadanya: ” Empat puluh enam tahun orang mendirikan Bait Allah ini dan engkau dapat membangunnya dalam tiga hari?” Tetapi yang dimaksudkannya dengan Bait Allah itu ialah tubuh-Nya sendiri (Yohanes 2:19-21; Matius 26: 41-42).

Project Saadia Gaon

Shalom ‘aleychem
Assalamu ‘alaykum
בשם  הי  הרחמן  והרחום
Project Saadia Gaon already  presented an academic text of the Torah in official Jewish Arabic which so-called the Targum Saadia.
For Sephardi and the Mizrachi Jews, the Targum Saadia is important to understand the Torah in Arabic as well as Targum Onkelos in Aramaic.
After reading the Targum, the one will find a new understanding on Islam based on the light of Judaism. However, Judaism has a common roots with Islam, similar but not the same. And the readers will get a new light to represent a dialogue in the paradigm of Abrahamic faiths.
Accrding to the Targum Saadia, Mecca and Medina belong to Shem. The Targum mentions the names of Macca and Medina as followed here (Genesis, chapter 10, verse 30):
לשון הקודש: בראשית, י, ל: וַיְהִי מוֹשָׁבָם מִמֵּשָׁא בֹּאֲכָה סְפָרָה הַר הַקֶּדֶם
תפסיר: ל) וכאן מסכנהם מן מכה. אלי’ אן תגי אלי’ אלמדינה אלי’ אלגבל אלשרקי
ערבית: :1030
وَكَانَ مَسْكَنُهُ مِنْ مَكَّةَ، إِلَى أَنْ تَجِيءَ إِلَى الْمَدِينَةِ إِلَى الجَبَلِ الشَّرْقِي
Noah has three sons, they are  Shem, Ham and Yafet. Both towns, Macca and Medina, belong to the descendants of Shem only, as below: Noah – Shem – Arpachshad – Shelach – Eber – Yoktan – 13 childrens. These Yoktan’s 13 children have settled in many places including the place Mesha [= Mecca] and Sefara [= Medina].
In other words, Macca and Medina belong to Shem’s descendants.
Ham is the father of Cush, Mizraim (the grandfather of the Palestinians), Phut and Canaan. The territory of the Palestinians is in North Sinai. The territory of Canaan is in the land of Israel.
Mecca and Medina exist 4 generations before the birth of Ishmael the son of Avraham which is a descendant of Shem on his father’s side  אברהם (Avraham), and is a descendant of Ham on his mother’s side  הגר (Hagar) a princess of Egypt, Paroh’s daughter. Does Ishmael belong to Shem’s descendants or to Ham’s descendants?
Ishmael will inherit the land of Shem, so that why Mecca and Medina belong to Ishmael’s descendants, ‘wich so-called the Arab Musta’ribah.

Sejarah Yang Terlupakan Part 2

Shalom ‘aleychem
Assalamu ‘alaykum
Berdasarkan teks kitab Perjanjian Baru (PB), kita bisa menemukan data awal terkait silsilah Yesus. Namun, data silsilah Yesus yang termaktub dalam PB tersebut tidak dapat diverifikasi dng data sejarah pembanding di luar teks suci. Data silsilah Yesus dalam teks PB itu ternyata oleh komunitas beriman telah dianggap sebagai textus receptus yang narasi teksnya bersifat ipse dixit.  Dengan demikian, sakralisasi silsilah Yesus dalam Injil Matius dan Injil Lukas itu dipandang secara umum sebagai kebenaran mutlak silsilah Yesus an sich.  Dalam konteks ini,  masyarakat awam Kristiani lebih mengedepankan argumen nalar teologis dibanding mengedepankan argumen nalar kritis.
Bila kita belajar sejarah bangsa Israel secara sekuler, kita akan menemukan ide pengharapan mesianik yang telah mengkristal menjadi idiom keagamaan, idiom kebudayaan dan sekaligus menjelma sebagai idiom politik,  yang hal itu kemudian secara masif menjadi semacam ingatan kolektif yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Ide pengharapan mesianik itu dapat kita baca dalam dokumen sejarah  sebagai narasi politik masa kuno, dan dapat pula kita baca dalam konteks politik per se,  yang merupakan narasi sejarah masa kini.  Sebutan ‘anak Daud’ dan sebutan ‘anak Abraham’ yang mengusung ide pengharapan mesianik dan merupakan idiom kegamaan, idiom kebudayaaan sekaligus idiom politik itu, ternyata tidaklah muncul secara tiba-tiba dalam dokumen Injil Matius, tetapi  St. Matius ‘amat cerdas’ memanfaatkan isu idiom tersebut dalam menjustifikasi sang tokoh Yesus sebagai penggenapan atas ide pengharapan mesianik yang mewacana sebagai rekaman kolektif. Namun, dalam konteks ini,  St. Matius menawarkan argumen teologis, bukan berdasar pada argumentasi historis.  Itulah sebabnya, argumen teologis dalam rangka menggenapi ide pengharapan mesianik yang diklaim merujuk pada sang tokoh Yesus, ternyata diawali dng kalimat ‘inilah silsilah Yesus Kristus, anak Daud, anak Abraham’ (Matius 1:1).
Dalam ingatan kolektif masyarakat Yahudi terkait ide pengharapan mesianik,  seorang Messiah harus (1) seorang laki-laki dan bukan seorang perempuan, (2) nasabnya harus bersambung dari jalur garis ayah (lineage of the father) karena sistem silsilah merujuk pada sistem patriakhal,  dan bukan bersambung pada jalur garis ibu, (3) dia nasabnya bersambung  kpd Raja Daud.  Seseorang tidak dapat diakui ke-Meshiah-annya bila sang tokoh tidak memiliki nasab dari jalur silsilah sang ayah. Namun seseorang dapat diakui ke-Yahudi-annya bila seseorang memiliki nasab dari jalur silsilah sang ibu. Jadi idiom pengharapan mesianik yang merujuk pada nasab jalur sang ayah sebagai penanda identitas (identity marker) lebih bernuansa khas politik keagamaan dibanding kebudayaan. Itulah sebabnya St. Matius ‘amat jenius’ menyiasati zamannya dalam menyusun silsilah Yesus agar bisa berterima bagi para pembacanya yang berlatar Yahudi.
Pada teks Injil Matius 1:1 St. Matius berbicara silsilah Yesus dalam konteks teologis, sebaliknya pada Injil Matius 1:16 ternyata St. Matius berbicara justru dalam konteks historis yang sebenarnya, karena secara de facto Yesus memang tidak memiliki nasab dari jalur Yusuf secara biologis. Itulah sebabnya, ada 2 pola politik redaksional yang digagas dalam tulisan silsilahnya. Pertama, susunan redaksi teks Injil Matius 1:2-15 yang berpola genetis, teks tersebut berbunyi: ‘Abraham memperanakkan Ishak, Ishak memperanakkan Yakub …. Matan memperanakkan Yakub, Yakub memperanakkan Yusuf’, sedangkan susunan redaksi teks  Matius 1:16 justru berubah 360% yakni berpola dogmatis, bukan berpola genetis: Ayatnya berbunyi: ‘ Yakub memperankkan Yusuf suami Maria, yang melahirkan Yesus yang disebut Kristus.’ St. Matius tidak menulis: ‘ Yakub memperanakkan Yusuf, Yusuf memperanakkan Yesus, anak Maria yang disebut Kristus.’ Redaksional teks yang berpola dogmatis ini semakin menegaskan bahwa Yesus yang diklaim sbg Sang Messiah itu memang tidak memenuhi ide pengharapan mesianik khas Judaism. Namun, St. Matius berusaha keras utk meyakinkan pembacanya dng cara mengikuti pola gematria (number patterns). St. Matius benar-benar paham bahwa dalam ingatan kolektif agama Judaism yang terkait dng ide pengharapan mesianik selalu merujuk pada tokoh Daud, dan nasab Sang Messiah yang akan datang harus terbukti secara genetis bersambung kpd Daud dari jalur garis ayah, sebab hanya melalui benih Daud saja,  sang Messiah memiliki legitimasi historis, politis dan teologis.  Itulah sebabnya (1) nama personal Daud dan (2) gematria nama Daud, keduanya dijadikan sbg penegasan daftar silsilah Yesus (lihat Injil Matius 1: 17). Dalam hal ini, St. Matius memanfaatkan pola gematria. Ini membuktikan bahwa pola gematria (number patterns) itu bukanlah gagasan awal dari St. Matius, tetapi St. Matius sendiri hanya sekedar mengadopsi dan memanfaatkan pola gematria yang sebenarnya merupakan warisan kuno Judaism era pra-Kristen demi melegitimasi keyakinan St. Matius terhadap Sang Messiah yang direkayasanya. Jadi pola gematria sebagaimana yang termaktub dalam kitab Baal Haturim Chumash merupakan warisan penafsiran dalam memahami Torah yang telah eksis dalam Judaism sejak  era pra-Kristen yang selalu dikaitkan dng nama-nama tokoh sentral PL. Apalagi ide pengharapan mesianik dikaitkan dng tokoh keturunan biologis Daud sebagaimana yang selalu dipanjatkan oleh seluruh kaum Yahudi dalam setiap tefilah (shalat).
רחםנא  יהוה  אלהינו על  ישראל  עמך  ועל  ירושלים  עירך ועל  ציון  םשכן  כבודך  ועל  מלכות  בית  דוד םשיחך
 Rachemna HASHEM Eloheynu ‘al Yisrael ‘immecha ve ‘al Yerushalayim ‘irecha ve ‘al Zion mishkan kevodecha ve ‘al malchut beyt David Meshiche-cha.
” Have marcy we beg You HASHEM our God, on Your people Yisrael, on your city Yerusalem on Zion the resting place of Your glory, on the house of David Your Messiah. “
Istilah  בית דוד (beyt David) di atas sebenarnya merujuk pada ide pengharapan messianik atas kedatangan Sang Messiah yang akan datang, yang silsilah nasabnya berasal dari keluarga Daud dari garis jalur ayah secara biologis,  karena Daud sendiri juga seorang Messiah, dan secara gematria, yakni menghitung pola angka dalam nama  דוד   (David) memunculkan angka 14. Itulah sebabnya dalam teks Injil Matius 1:17 St. Matius melegitimasi angka 14 yang terkait dng nama Daud yang dihubungkan dng Yesus secara  dogmatis, dan bukan berpola genetis. Bahkan St. Matius  menghilangkan beberapa nama dalam bangunan rekayasa silsilah yang dibuatnya demi mencocokkan dng pola gematria itu, sehingga menghilangkan beberapa generasi yang seharusnya dimunculkan dalam silsilah. Namun bila nama-nama dalam beberapa generasi itu tidak dihilangkan sesuai yang tercatat dalam TaNaKH,  maka pola gematria nama David tidak bisa terpenuhi. Akibatnya, St. Matius menghilangkan sebagian data historis nama-nama generasi nenek moyang Yusuf demi mendapatkan pola dogmatis yang bisa dirangkai dalam menciptakan silsilah yang bisa dihubungkan dng Yesus secara teologis. Kebuntuan St. Matius dalam menyusun silsilah Yesus tersebut memang cacat secara historis dan genetis, demi terciptanya sebuah legitimasi yang bercorak teologis.
Seorang Bapa Gereja Kuno, St. Yulius Africanus (4 M.) menjelaskan bahwa Matthan berasal dari suku Yehuda melalui garis keturunan Daud dan Salomo. Matthan mengawini Estha yang melahirkan Yakub. Setelah kematian Matthan, maka Matthat (bukan Matthan) yang juga berasal dari suku Yehuda tetapi melalui garis keturunan Daud dan Nathan menikahi Estha (janda Matthan), yang kemudian melahirkan Eli. Maka Yakub dan Eli adalah saudara kandung dari satu ibu, yakni Estha. Eli meninggal tanpa meninggalkan seorang anak, dan Yakub harus mengawini istri Eli yang melahir
kan Yusuf. Maka Yusuf adalah anak kandung Yakub sekaligus juga adalah anak sulung Eli. Jadi Yusuf bukan anak angkat Eli, karena konsep anak angkat tidak dikenal dalam silsilah, yang dikenal hanyalah silsilah dalam perkawinan Levirat (Ulangan 25:5-6)

 

Dengan demikian,silsilah Injil Lukas dan silsilah Injil Matius hanya merujuk pada silsilah nasab Yusuf, dan silsilah Injil Lukas bukan merujuk pada silsilah Maria. Apalagi kaum awam Kristiani menyatakan bahwa Injil Matius dan Injil Lukas keduanya merujuk pada silsilah Yesus. Ini sangat bertentangan dng dokumen Bapa Gereja sebagaimana pernyataan St. Julius Africanus. Bapa Gereja yang lain, misalnya Theodoret juga menyatakan bahwa Yesus dan Yakobus memiliki ibu dng nama yang sama, yakni Maria. Namun yang satu, istri Yusuf dan yang satunya lagi, istri Klopas. Theodoret menjelaskan bahwa Maria ibunya Yakobus (Matius 27:56)  adalah saudara kandung Maria ibunya Yesus (Yohanes 19:25),  mereka berdua kakak beradik. Dan Maria ibunya Yakobus adalah istri Klopas yang mempunyai anak bernama Yoses selain Yakobus (Matius 15:40). Jadi, suami Maria ibunya Yakobus, yang bernama Klopas, dan suami Maria yang bernama Yusuf adalah juga kakak beradik. Jadi, silsilah Injil Lukas tidak ada kaitan sama sekali dng silsilah Maria. Lihat Ancient Christian Commentary on Scripture. New Testament VIII, hal. 15. Dengan demikian, silsilah Yesus dari jalur Maria memang benar-benar tidak tercatat dalam dokumen PB, dan Maria disebut sebagai keturunan Daud melalui Injil Apokrif Protoevangelion of James (PJ), bapak ibunya bernama Yoyakhim dan Anna. Gereja Ortodoks dan Gereja Katolik berpegang pada tradisi ini. Jadi, Yesus dapat disebut sebagai keturunan Yahudi hanya melalui jalur nasab Maria saja. Dan Yesus dapat pula diklaim oleh Gereja sebagai Messiah Yahudi hanya melalui garis darah dari pihak ibu saja, yakni Maria.

 

Kalau ada yang membantah bahwa Nabi Muhammad SAW itu ilegal disebut sbg keturunan Yahudi, dan juga ilegal disebut sbg Nabi Yahudi keturunan Daud AS, karena menurut kaum Kristiani –  Muhammad SAW scr eksplisit  bukan berasal dari benih Salomo AS, maka jawabannya sangat sederhana:
1. Dalam pandangan Judaism, Yesus dan Muhammad SAW keduanya hanya mempunyai jalur nasab dari garis ibu, dan  bukan dari garis ayah. Maka keduanya berhak disebut sebagai keturunan Yahudi, meskipun keduanya tidak dianggap sebagai Nabi Yahudi  atau pun Messiah Yahudi yang dinubuatkan dalam TaNaKH.  Berdasarkan  Talmud Bavli  yang terkodifikasi pada tahun 500 M., seseorang diakui secara legal/sah sebagai keturunan Yahudi meskipun hanya berasal dari garis ibu. Yesus pun diakui secara legal sebagai keturunan Yahudi,  meskipun nasabnya hanya melalui jalur garis ibu, yakni melalui nasab bunda Maryam dan bukan melalui nasab Yusuf. Bahkan hingga saat ini seseorang diakui secara legal sebagai keturunan  Yahudi hanya melalui jalur garis ibu saja.
2. Nabi Muhammad SAW tetap diakui sebagai keturunan Nabi Daud AS sebagaimana Yesus juga diakui sebagai keturunan Nabi Daud AS meskipun hanya melalui jalur Natan ben Daud AS, dan  bukan melalui jalur  Salomo ben Daud AS. Itu pun bila Injil Lukas diklaim sebagai silsilah Maria sebagaimana pemahaman kaum Protestan.  Lihat Injil Lukas pasal 3: 23-38, Yusuf bukan keturunan biologis Salomo, tapi keturunan biologis Nathan, dan Yesus  – menurut anggapan orang adalah anak Yusuf, suami bunda Maryam. Sekali lagi,  ini adalah pemahaman general para ahli Alkitab dari kalangan Kristen Protestan. Nasab Yesus faktanya hanya dari jalur ibu, yakni Maryam,  sedangkan nasab dari garis bapak tidak ada. Yusuf hanya ayah tiri Yesus, bukan ayah biologis Yesus. Sebaliknya,
Muhammad SAW nasab ayahnya jelas, yang termasuk klen Hasyim,  keturunan Ismail dan nasab ibundanya juga jelas. Nasab kakeknya  yakni Abdul Muthalib juga sangat jelas tentang siapa ayahnya dan siapa ibunya. Ayahnya bernama Hashim dan ibunya bernama Salma binti Amr.
3. Jika patokan kaum Kristiani terkait dng Yesus hanya mengacu pada  Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas dan Injil Yohanes saja, maka orang2 Yahudi dari kalangan rakyat jelata – mereka hanya mengenal Yesus sebagai anak tukang kayu yang bernama Yusuf, dan ibunya bernama Maria (Yohanes 6:42). Dan mereka pun juga tidak tahu kalau Yesus sebagai anak hasil perzinahan dng orang lain, karena sesuai dng ketuva (kontrak pernikahan sesuai Mishnah) antara Yusuf dan Maria, keduanya secara sah diakui sebagai suami istri.  Itu artinya rakyat jelata menganggap jelas ayah dan ibunya Yesus,  yang telah memiliki hubungan pernikahan yang sesuai Torah she be’al phe  (Matius 1:18-19). Dan penyebutan  rakyat jelata terhadap status Yesus sbg anak Yusuf itu pun hanya berdasarkan menurut anggapan orang (Lukas 3:23). Namun, pernyataan rakyat jelata yang menyebut Yesus sbg anak Daud atau pun menyebut Yesus sbg anak Yusuf tidak pernah dinyatakan oleh malaikat  Tuhan. Bahkan tidak pernah dinyatakan oleh para rabbi, imam-imam Lewi, kaum Saduki atau pun kaum Farisi. Jadi sebenarnya yang disebut sebagai anak Daud adalah Yusuf sendiri,  bukan Yesus, sebagaimana malaikat sendiri telah menyatakannya (Matius 1:20). Jadi rakyat jelata yang menyebut Yesus sebagai anak Daud – tentu saja tidak dapat dijadikan dalih/ bukti bahwa Yesus adalah anak biologis Yusuf. Apalagi mereka beranggapan bahwa Yesus adalah anak angkat Yusuf. Mereka sebagai rakyat jelata tidak pernah mengetahui atau pun berkata bahwa Yesus bukan anak Daud. Mereka juga tidak mengetahui bahwa Yesus bukan sebagai anak kandung Yusuf. Mereka juga tidak beranggapan bahwa Yesus sbg anak angkat Yusuf  sehingga Yesus disebut sebagai anak Daud, sebab konsep anak angkat dalam tradisi Yahudi tidak mereka kenal. Apalagi mengimani bahwa Yesus lahir oleh Roh Kudus. Dan tidak ada dalam pikiran mereka bahwa Firman Allah telah menjelma menjadi manusia yang bernama Yesus. Jadi satu-satunya alasan rakyat jelata menyebut Yesus sbg anak Daud karena Yesus adalah anak hasil perkawinan Maria dng Yusuf, dan Yusuf adalah anak Daud. Jadi mereka mengenal Yesus sebagai anak biologis Yusuf dari hasil perkawinannya dng Maria. Mengapa? Alasannya sederhana, karena secara sosial mereka sudah mengetahui ayahnya yang bernama Yusuf,  keturunan Daud.
Dalam hal ini kita tidak berbicara mengenai status seseorang itu diakui sebagai Nabi atau bukan, atau pun sebagai Moshiah atau bukan. Kita juga tidak berbicara mengenai seseorang itu diklaim sebagai Nabi yang dinubuatkan dalam TaNaKH atau tidak. Kita juga tidak memperdebatkan seseorang itu diklaim sebagai Moshiah yang dinubuatkan di dalam TaNaKH ataukah tidak. Dokumen Tariikh Islam mencatat bahwa manusia sejarah yang bernama Muhammad SAW darahnya bersambung dng seseorang yang bernama Salma binti Amr dari bani Najjar. Dia adalah wanita Yahudi Musta’ribah, karena bani Najjar adalah kaum Yahudi diaspora yang tinggal di Madinah. Jadi nasab Muhammad SAW ada tetesan darah dari Salma binti Amr. Artinya, darah ke-Yahudi-an Muhammad SAW hanya melalui Salma binti Amr, istri Hashim. Sementara itu, Yesus berdasarkan Injil Matius tidak ada tetesan darah dari Yusuf. Menurut tafsiran Gereja Ortodoks, silsilah Yesus pada Injil Lukas juga silsilah Yusuf, bukan silsilah Maria. Namun ada  sebagian penafsiran Kristen, terutama Kristen Protestan menyatakan bahwa Injil Lukas adalah silsilah Maria. Bila kita terima tafsiran Protestan ini maka darah ke-Yahudi-an Yesus hanya melalui Maria, istri Yusuf. Jadi tidak ada tetesan darah Yusuf pada Yesus karena Yesus lahir dari Roh Kudus menurut PB. Dan Yusuf bukan bapak biologis Yesus.
Sementara itu, menurut rabbi-rabbi, imam-imam Lewi dan kaum Farisi yang merepresentasikan pernyataan kaum elit  yang ada di lembaga Sanhedrin – yang pernyataan itu terdokumen dalam  Talmud Bavli,  dinyatakan bahwa bapak biologis Yesus adalah seorang goyim (orang Yunani), seorang serdadu Romawi yang bernama Panthera. Kita bisa baca Talmud Bavli sbg pembanding dalam masalah garis darah Yesus ini dari jalur ayah menurut pandangan lembaga Sanhedrin.  Jadi, tidak salah bila tak ada satu pun pernyataan dari kalangan Sanhedrin ini yang menyebut Yesus sbg anak Yusuf, ataupun menyebut Yesus sbg anak Daud karena mereka mengenal secara agama bahwa Yesus bukan anak biologis Yusuf meskipun Maria istri Yusuf.
Singkatnya, manusia sejarah yang bernama Yesus itu memang ‘tidak sempurna’  untuk menjadi Yahudi,  sebagaimana manusia sejarah yang bernama Muhammad SAW juga ‘tidak sempurna’ menjadi Yahudi. Namun, Judaism mengakui keduanya sbg keturunan Yahudi. Keduanya tidak ada tetesan darah ke-Yahudi-an dari pihak ayah.
Era pasca runtuhnya Bait Suci ke-1 dan ke-2,  status ke-Yahudi-an seseorang diakui sebagai keturunan Yahudi hanya merujuk pada garis darah ibu saja. Hingga kini, status  seseorang disebut sbg keturunan Yahudi ditandai dari mengalirnya garis darah dari pihak ibu.
Dalam TaNaKH memang status ke-Yahudi-an seseorang ditandai dng 2 cara: (1) anak melalui garis keturunan perkawinan ipar Ulangan 25:5-6. yg bukan anak biologis, (2) anak secara biologis melalui jalur garis darah sang ayah meskipun jalur garis darah sang ibu berasal dari goyim (non-Israel).
Jadi Ishmael disebut anak Avraham sesuai hukum TaNaKH, dan tidak ada seorang pun bisa menolak status Ishmael sebagai anak Avraham secara biologis, dan ini tidak masalah meskipun jalur ibunya seorang goyim dari Mesir. Itulah sebabnya Ishmael disebut dalam tradisi Islam sbg ‘Arab Musta’ribah (bukan Arab asli). Status Ishmael ini sama dng status Efraim dan Manasye, anak-anak Yusuf,  yang ibu kandungnya seorang goyim dari Mesir juga.  Bahkan King Salomo garis darah ibunya juga seorang goyim. Intinya: jika seseorang itu memiliki jalur garis ayah Israel dan jalur  garis ibu goyim, maka orang itu tetap dianggap keturunan Yahudi dalam pandangan Judaism. Bahkan, Yesus tidak ada istimewanya bila dibanding dng Muhammad SAW bila ditilik dari hukum TaNaKH, karena bila ditilik dari jalur garis darah ibunya memang wanita Yahudi, sedangkan berdasarkan jalur garis ayah ternyata keduanya goyim (non-Israel). Kakek kandung  Sang Nabi SAW berdarah Arab Musta’ribah,  sedangkan ayah kandung  Jesus berdarah Yunani, serdadu Romawi. Sebagaimana yang telah saya sebutkan sebelumnya, menurut kitab Talmud Bavli, juz Nezikin – traktat Sanhedrin 67a dinyatakan bahwa Yesus yang disebut Yeshu adalah anak kandung Stada, dng seseorang goyim yang bernama Panthera. Stada bukanlah sebuah nama, tapi sebutan yang ditujukan kepada Maria istri sah Yusuf. Stada adalah akronim dari frase Satit da mi ba’alah (perempuan yang tidak setia kepada suaminya). Fakta teks Bavli khususnya bagian traktat Sanhedrin 67a semakin memperjelas gambaran dalam PB. Itulah sebabnya imam-imam Lewi, para ahli Torat, orang-orang Farisi dan orang-orang Saduki yang merupakan para tua-tua di lembaga Sanhedrin, ternyata tak pernah satu pun di antara mereka yang menyebut Yesus sebagai anak Yusuf, apalagi menyebutnya sbg anak Daud. Bahkan mereka mengabadikan ingatan kolektif mereka ttng Yesus sebagai pseudo-Mesiah dng akronim Yimach shemo ve zichro “
 May his name and his memory be blotted out ” (Tehilim 109:13). Namanya disebutkan Yeshu ha-Notzri (Talmud Bavli – juz B’rachot 17b, Sotah 47a. Dan Yeshu dinyatakan sbg pseudo-Mesiah yang disalib pada saat perayaan Paskah (Talmud Bavli, juz Nezikin – traktat Sanhedrin 43a. Lembaga Sanhedrin menolak Yesus sebagai Meshiah karena dalam tradisi rabbinik, Mesiah harus memenuhi 3 kriteria (1) seorang laki-laki, (2) nasabnya mengikuti garis darah sang ayah/patriakhal, (3) dia keturunan Daud. Bila tidak memenuhi 3 kriteria/syarat minimal ini, maka seseorang tidak dapat dinyatakan sbg Meshiah.
Selain itu, rakyat jelata yang respek terhadap dakwah Yesus, umumnya berprasangka baik terhadap status Yesus. Mereka umumnya mengangap bahwa Yesus adalah anak hasil perkawinan sah antara Yusuf dan Maria. Itulah sebabnya mereka menyebutnya dng sebutan Yesus anak Daud, atau pun dng sebutan Yesus anak Yusuf. Sebaliknya, rakyat jelata yang tidak respek terhadap dakwah Yesus dan menentangnya,  umumnya mereka berkeyakinan negatif terhadap status Yesus. Mereka tidak menyapanya dng sebutan Yesus anak Yusuf, atau pun menyapanya dng sebutan Yesus anak Daud. Namun, dengan ungkapan sindiran akut yang mereka ucapkan di hadapan Yesus, ternyata hal itu mengisyaratkan problem status Yesus. Mereka semua berkata dng nada sindiran di hadapan Yesus: ” Kami tidak dilahirkan dari zinah …. ” (Yohanes 8:41). Mengapa mereka secara serempak menggunakan ungkapan negatif tersebut di hadapan Yesus? Bukankah mereka semua mengenal Yusuf dan Maria? Mengapa mereka tidak menggunakan ungkapan lainnya di hadapan Yesus meskipun mereka menolak dakwah Yesus? Mengapa mereka menggunakan ungkapan yang terkait dng status Yesus sehingga mereka berkata seperti itu? Pertama,  fakta verbal negatif tersebut tidak mungkin mereka ucapkan bila tidak ada indikasi kebocoran informasi dari kalangan pihak Sanhedrin yang secara kelembagaan terdiri atas imam-imam Lewi, ahli Torat, kaum Farisi dan kaum Saduki. Kedua,  kalangan Sanhedrin pun juga tahu mengenai status Yesus ini dari sumber pertama, yakni Yusuf. Perkawinan Yusuf dan Maria merupakan status yang tercatat dalam kelembagaan Sanhedrin. Ini sesuai dng halacha.  Namun, faktanya Yusuf  berencana menceraikan Maria (Matius 1:18-19). Jadi sebenarnya Yusuf pun pada awalnya mencurigai Maria berselingkuh atau berzina dng orang lain sehingga terjadi kehamilan. Itulah sebabnya Yusuf hendak menceraikannya (Matius 1:19). Alasan dibalik rencana perceraian itulah yang kemudian dibaca oleh pihak Sanhedrin. Tidak salah bila Sanhedrin menyebut  Maria dng  sebutan  Stada – Satit da mi ba’alah  (perempuan  yg tdk setia pada  suaminya).
Dan akhirnya kebocoran informasi dari pihak Sanhedrin ini juga keluar kepada masyarakat umum. Dengan demikian, tidak salah bila mereka yang menentang dakwah Yesus, mereka melontarkan  ungkapan ejekan di hadapan Yesus, dan mereka berkata: ” Kami tidak dilahirkan dari zina.” Artinya, ungkapan itu sebenarnya ditujukan kpd Yesus, dan bukan ditujukan kepada masing-masing status pribadi mereka.
Bila seseorang menyatakan bahwa Yesus disebut sbg anak Daud karena dia memiliki jalur garis keturunan melalui Yusuf sesuai silsilah Injil Matius, maka di sinilah problem persoalannya. Karena Yusuf yang adalah suami Maria ternyata tidak memiliki saudara kandung siapapun dan Maria juga bukan mantan dari istri  siapapun. Bahkan Maria juga bukan mantan dari suami – saudara kandung Yusuf. Bila pernyataan dalam Talmud Bavli menyatakan bahwa Panthera adalah ayah biologis Yesus, maka itu bisa jadi  merupakan realitas sosial saat itu. Pertama, Panthera itu goyim bukan Israelite (Yahudi). Kedua, Panthera bukan saudara kandung Yusuf. Ketiga hubungan Panthera dng Maria bukan melalui cara perkawinan yang sah sesuai yang dihalalkan oleh TaNaKH.
Jadi kalau secara hukum TaNaKH,  status Yesus yang disebut anak Daud  yang dikaitkan dng Yusuf ternyata tidak memiliki makna apapun. Dalam hal ini saya tidak mempersoalkan status hukum Yusuf sebagai keturunan Daud melalui King Salomo,  dan laporan Injil Matius itu sesuai dng status hukum dalam TaNaKH, baik ditinjau dari status perkawinan ipar nenek moyang Yusuf maupun bila ditinjau dari status garis ayah biologis beliau. Namun yang kita kaji  ini adalah status hukum Yesus, bukan status hukum Yusuf. Yesus tidak memiliki status hukum apa2 bila dikatikan dng Yusuf. Kecuali status hukum Yesus sebagai seorang Yahudi  hanya melalui garis darah Maria saja. Sama seperti status hukum murid Paulus, yang bernama Timotius yang ibunya seorang Yahudi, dan ayahnya seorang Romawi yang lahir dari pernikahan yang sah. Bila Yusuf dalam pandangan Talmud Bavli diakui sebagai suami sah Maria, maka status Yesus tidak bisa dianggap sebagai anak kandung Yusuf, apalagi diklaim sebagai anak angkat Yusuf, karena konsep anak angkat tidak dikenal dalam TaNaKH. Apalagi ayah biologis Yesus bukan saudara kandung Yusuf, tapi menurut Talmud Bavli adalah Panthera, sang serdadu Romawi. Jadi status ke-Yahudi-an Yesus tidak terlalu istimewa dibanding dng status ke-Yahudi-an Muhammad SAW. Bahkan status ke-Yahudi-an Yesus juga tidak terlalu istimewa dibanding dng status ke-Yahudi-an Timotius, murid Paulus (Kisah 16:3)
Para penulis silsilah Yesus dalam Injil Matius dan Injil Lukas paham betul bahwa Meshiah harus berasal dari nasab Raja Daud secara patriakhal, bukan secara matriakhal. Inilah mengapa mereka memaparkan silsilah Yesus melalui Yusuf, yang diklaim sebagai ayah angkat secara yuridis,  dan tidak melalui Maria, jalur biologis Yesus.  Padahal mereka paham bahwa kelahiran Yesus scr ajaib,  dan tidak ada hubunganya dgn Yusuf sang tukang kayu. Jadi status jalur  ‘biologis’ tidak ada hubungan sama sekali antara Yesus & Yusuf. PB secara jelas mencatat bahwa  Maria mengandung dari Roh Kudus, bukan dari Yusuf. Hal ini sangat mungkin bahwa St. Matius dan St. Lukas hanya memiliki motif utk menyambungkan silsilah Yesus dgn Raja David demi menggenapi ciri2 Mesiah Yahudi, sesuai 3 syarat minimal sebagai Meshiah,  meskipun St. Matius dan St. Lukas mengetahui secara sadar bahwa nasab Yesus tidak ada relasinya dgn nasab Yusuf. Jadi, penulis Injil Matius dan Injil Lukas mengedepankan “perspektif teologis” dari pada “perspektif sejarah/historis.”
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa (1) para penulis Injil ingin menghubungkan Yesus dgn Daud utk mengenapi ciri2 Mesiah Yahudi, (2) para penulis Injil ingin memprioritaskan ‘aspek teologis’ untuk men-support ke-Mesiah-an Yesus, tetapi mengorbankan ‘aspek/sisi fakta sejarah/historis’ yang secara teologis Yesus dilahirkan Maria dari Roh Kudus, bukan dari benih Yusuf. Itulah sebabnya penulisan Injil Matius dan Injil Lukas lebih didominasi muatan teologis dari pada muatan historis, sehingga tidak jarang adanya ‘tabrakan/kontradiksi antara ‘muatan teologis & fakta historis’ dalam Injil itu sendiri.
Selanjutnya,  Yesus benar2  tidak bisa disebut sebagai  anak angkat Yusuf. Konnsep anak angkat tidak dikenal dalam tradisi Yahudi. Yesus itu anak istrinya Yusuf, bagaimana mungkin jadi anak angkatnya? Fir’aun mengangkat Musa sbg anak angkat, karena Musa bukan anak istrinya. Dan itu pun tradisi Mesir, bukan tradisi Yahudi.  Musa adalah anak orang Ibrani, atau  anak orang lain yang dibuang, lalu  diangkat menjadi anak angkat oleh Firaun. Sebaliknya, Yesus adalah anak Maria, Maria suami Yusuf,  bagaimana mungkin Yesus anak angkat Yusuf? Semoga tulisan ini menjadi bahan renungan bersama tentang status Yesus sebagai keturunan Yahudi berdasar kitab  Perjanjian Baru, dan status  Muhammad SAW juga  sebagai keturunan Yahudi – sesuai kitab  Tarikh  at-Thabari yang menyebut istrinya Qushai ibn Kilab yang bernama  Hubba , anak perempuan Hulail (Hillel) ibn Hubshiyyah, ketua  pimpinan bani Khuza’a. Silakan juga baca kitab Al-Mathalib karya  Abu Ubayda Ma’mar ibn Al-Mutsanna  (w. 210 H.) dan kitab  Mathalib al-Arab karya Ibn  Kalbi (w. 204 H.). Selain itu silakan baca tentang  bani Najjar yang nasabnya bersambung kpd Ahbariyyun  (hibr  – Jewish sages), dan Imam at-Thabari dalam  Tafsirrnya  menyatakan  bahwa istilah Hibr juga merujuk pada Ka’ab al-Ahbar/ Ka’ab al-Hibr, dan  dalam Talmud term  Haber merujuk pada   الحااخام (Al-Hakhom) atau  the Gaon. Abu Ayyub al-Anshari yg  nama aslinya adalah Khalid ibn Zayd ibn Kulayb dari bani Najjar, sama dng Salma  binti Amr juga dari bani  Najjar. Lihat kitab Usd  al-Ghabah fi Ma’rifah ash-Shahabah  karya Ibn al-Athir (555-630 H.),  Samhudi juz 1 halaman  189.

The forgotten root: "They know him as they know their son"

Scriptures  are not just text of revelation which one must understand within the border of sacred theological paradigm  but it can also be approached as a collective memory of a profane history.  In this context one should not neglect to read re-examine the scriptures as veracious historical evidences through philology, this is what we will try to attempt in this post.

In the Qur’an there is an interesting keyword which we argue linguistically refer to prophetic claim:  abna‘ ( ابناء ):

لَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ ۖ وَإِنَّ فَرِيقًا مِّنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ. الْحَقُّ مِن رَّبِّكَ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ

Those to whom We gave the Scripture know him as they know their own sons. But indeed, a party of them conceal the truth while they know [it]. The truth is from your Lord, so never be among the doubters. (Q 2:146-7)

The Quran thus told us that “Those to whom We gave the Scripture” ie the Israelites will  recognize  Prophet Muhammad like their own sons.  This consequently imply that Prophet Muhammad has legitimate right of the biblical prophecies via biological genealogies not only through his character, the signs he brought, and the truth of his message.

By employing the term  ابناء (abna’) in arabic, whih cognate with hebrew בני (b’ney), the Quran thus link the prophetic claim of Muhammad through genetic ancestry with the Israelites. Therefore this verse do not merely speaks allegory as, I am sure, many of used to think. 

Lets analyze this verse :

الذين اءتينهم الكتاب يعرفونه كما يعرفون ابناءهم

(2:46 البقرة)

Alladhīna ʾātaynāhumu l-kitāba yaʿrifūnahū ka-mā yaʿrifūna ʾabnāʾahum

אלה אשר נתנו להם את הספר מכירים אותו כפי שמכירים את בניכם

(2:146  סורת אלבקרה)     

Elleh asher natannu lachem et has-Sefer machchirim oto kefiy shemmachchirim et b’neychem [1]

Those to whom We gave the Scripture know him as they know their own sons.

(Al-Baqarah 2:146)

Traditional Historical sources in Tarikh Al Islam confirm the accuracy of the genetic link of the Prophet of Islam to Israelite because genealogically Prophet Muhammad (p) is not of a “pure” arab stock or A’rab ‘Aaribah العرب العاربة rather he is considered as “arabized” arab or A’rab Musta’ribah  العرب المستعربة .  This may surprise some but it should not. 

Hāshim ibn Abdul Manan (whom the tribe is named hence Banu Hashim or Hashemite)  the great-grandfather of Prophet Muhammad married to Salma bint Amr of Banu Najjar a priestly Israelite clan[2]  from the city of  Medina (Yathrib as known to the Arabs) the birthplace of the Prophet Muhammad. This makes Banu Hashim a unique both an Ishmaelite and Israelite clan and this comes as no surprise that this clan is prominent to this day[3].

We have textual evidence that the city of Medina is  always a city  of particular significant for the jews as in Targum Onkelos 10:30  which was written in Judeo Aramaic from 1AD there is reference of settlements of Joktanides[4] which is called מָדִינְחָא Medincha [5,6], and there is no reason to think that this is the city other than  Medina in Arabia. There must be particular reason why the Israelite clans, the large number of them, settled in the primary Arab city of Medina, I would assume this was to do with the prevailing messianic/prophetic expectation at that time of but that perhaps another topic for another post. The fact is to such a great extend Medina had been known by the Israelites 6 centuries prior to the advent prophet Muhammad, a Hashemite (qabilah banu Hashim), whom paternal bloodline are the descendants of  Patriarch Abraham through his first-born son and seed (zera), prophet Ishmael[7], but also claim maternal bloodline of priestly Israelite ancestry from the tribe of Banu Najjar.

Exceptional Clan Solidarity

To be sure, the solidarity of the Hashemite clan was exceptionally strong. In Tarikh Al Islam we learnt that although the message of Prophet Muhammad the hashemite   incited the resentment of other Arabic tribes, the Hashemites were always united to protect one of his son, whether they are believers or not to the point that other tribes enforced a economic and social boycott against the Hashemites. For years the hashemites lived in exile and endured misery and hunger. Never once Prophet Muhammad (p) stop in preaching the message of revelation still the Hashemite clan were always by his side with exceptional patience and fortitude because they believed the noteworthiness of Muhammad’s prophetic role[8].

Exilarch connection

Hāshim ibn Abdul Manan also married another woman Qaylah (or Hind) bint Amr ibn Malik of the Banu Khuza’a from whom he had a son Asad (who was Ali Ibn Abi Thalib‘s maternal grandfather the 4th Caliph, the cousin and son-in-law of Prophet Muhammad). Asad ibn Hāshim then married to Zahna bat Kafnai Gaon, an Exilarch[9] princess, the daughter of Kafnai Gaon of Baghdad, the 32th Babylonian Exilarch (C. 530 – C. 580/581): a very noble royal family who traced their ancestry through the Davidic patrilineal line/ Malkhut Beit David (מלכות בית דוד).  From this marriage Asad ibn Hāshim and Zahna bat Kafnai Gaon bore Fāṭimah bint Asad, who then was married to  Abu Thalib bin Abdul Muthalib ibn Hashim.

Fatimah the Blessed Memory

I will argue there must be a good reason why Asad ibn Hāshim and Zahna bat Kafnai named his daughter FāṭimahIt turns out that Fāṭimah is no ordinary for name in the Oral Torah. As a daughter of a prominent jewish leader, Hazna must realized the significance of this name and play part in choosing it as a good name for her daughter, a name from the collective memory of her tradition which is the wife of prophet Ishmael the noble patrilineal ancestor of her husband: פטימא Phetima.

Here is the text from Targum Jonathan on Genesis/Sefer Bereshit 21:21 found in most rabbinic bible Mikraot Gedolot (מקראות גדולות):

וְיָתִיב בְּמַדְבְּרָא דְפָּארָן וּנְסֵיב אִתְּתָא יַת עֲדִישָׁא וְתֵרְכָהּ וּנְסִיבַת לֵיהּ אִמֵיהּ יַת פְּטִימָא אִתְּתָא מֵאַרְעָא דְמִצְרָיִם

‘And he dwelt in the wilderness of Pharan and took for a wife Adisha, but put her away. And his mother took for him Phetima to wife from the land of Egypt.

And also it was no coincidence that Prophet Muhammad too also gave his youngest daughter (from Khadija), Fāṭimah. Even until now she is one of the most loved and revered woman figure and prominent character in the religion of Islam and after her name is most muslims give name to their daughter. It is the  most popular muslim girl’s names. Undoubtedly it is to do with divine plan to preserve this noble name Phetima פְּטִימָא  (Ar: Fāṭimah فاطمة‎‎)  for generations to come.

Their Own Son

The Ishmaelite – Israelite blood union within the Hashemite genealogy proved the mature and stable existence of religious and political axis between the Babylonian Exilarch  in Baghdad – and their counterpart in Yathrib in pre-Islamic Arabian peninsula (The Hijaz)  through the uniquely influential and mixed Ishmaelite and Israelite ancestry, the Hashemite clan.  Thus genealogically it makes perfect sense that the  Qur’an designate Prophet Muhammad as “their own son” for the Israelites (ie. those who had been given scriptures) not only  in the sense through the prophecies in the  Bible.

It may explain why when Prophet Muhammad made his Hijrah  هِجْرَة  and the city was soon renamed Madīnat مَـديـنـة, the the jews of Yathrib who had the upper hand with their large settlement and huge property never objected to the name. This is a strong indication that the jews had already familiar with the name which was medintā מְדִֽינְתָּא֙ in Judeo -Aramaic and they were there awaiting the arrival of a future prophet. This is further supported by the most prominent Gaonic Rabbi:  Saadia Gaon ben Yosef / Rasag who mentioned the location Mecca مكة and Medina المدينة for his rendering of Genesis/Bereishit10:30[10].

Notes

  1. Subhi ‘Ali ‘Adwi, הַקּוּראָן בְּלָשׁוֹן אַחֵר Ha-Qur’an BeLashon Akher, 2015.
  2. The Banu Najjar /  b’ney Naggar בני נגר  (Arabic: بنو نجّار) tribe literally translates to “Sons of the Carpenter.” It may also be hinting at a rabbinic lineage as the termנגר naggar in the Talmud signifies a learned, wise and literate in the Torah.  [Jesus the Jew: a historian’s reading of the Gospels by Geza Vermes 1983; p21-22 ] 
  3. This bloodline from Salma and their father Hashem, makes the Hashemites in specific, unique among their Ishmaelite clans in Arabia and the entire Middle East, as they  are both Ishmaelite by paternal descent, and also Israelite through maternal descent, from the Royal House of Judah, from whom the Bani an-Najjar originally descend.
  4. Joktanites: ancient Arab tribes of southern Arabian peninsula
  5. Onkelos on the Torah Bereishit Noach Ch 10:30 p57 by Drazin & Wagner
  6. Medincha or Medinta? Are we sure the Aramaic term is  מָדִינְחָא Medincha with chet? But as far as my knowledge of Aramaic goes I would expect the correct spelling should read מְדִֽינְתָּא֙ medintā  with taw. The latter simply  mean the “city” in singular exactly cognates with the arabic مدينة where the blessed city are known for until today.
  7. Lineage from Ishmael according to classical accounting are considered the “Arabized” arabs or A’rab Musta’ribah  العرب المستعربة . They were arabized because Ishmael had to learn arabic when je came to Mecca and subsequently married into arab tribe of Jurhum. From Ishmael came the “Northern Arabs” associated with Adnān and later to Prophet Muhamad (in contrast to the biblical Joktanites  which give rise to “Southern Arabs” like the Yemenis)
  8. ان الله اصطفى كنانة من ولد اسماعيل و اصطفى قريسا من كنانة واصطفى قريسا بني هاشم و اصطفى ني بني هاشم – صحيح مسلم

    Verily Allah granted eminence to Kinana from amongst the descendants of Isma’il, and he granted eminence to the Quraish amongst Kinana, and he granted eminence to Banu Hashim amonsgst the Quraish, and he granted me eminence from the tribe of Banu Hashim. (Sahih Muslim » The Book of Virtues).

  9. Exilarch (Heb: ראש גלות Rosh Galut, Aram: ריש גלותא Reysh Galuta or Resh Galvata, Ar: رأس الجالوت Raas al-Galut lit. “leader of the captives”) refers to the leaders of the Diaspora Jewish community in Babylon following the deportation of King Jeconiah and his court into Babylonian exile after the first fall of Jerusalem in 597 BCE
  10.  See my previous article entitled The Road to Shur in this blog.

The forgotten root: “They know him as they know their son”

Scriptures  are not just text of revelation which one must understand within the border of sacred theological paradigm  but it can also be approached as a collective memory of a profane history.  In this context one should not neglect to read re-examine the scriptures as veracious historical evidences through philology, this is what we will try to attempt in this post.

In the Qur’an there is an interesting keyword which we argue linguistically refer to prophetic claim:  abna‘ ( ابناء ):

لَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ ۖ وَإِنَّ فَرِيقًا مِّنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ. الْحَقُّ مِن رَّبِّكَ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ

Those to whom We gave the Scripture know him as they know their own sons. But indeed, a party of them conceal the truth while they know [it]. The truth is from your Lord, so never be among the doubters. (Q 2:146-7)

The Quran thus told us that “Those to whom We gave the Scripture” ie the Israelites will  recognize  Prophet Muhammad like their own sons.  This consequently imply that Prophet Muhammad has legitimate right of the biblical prophecies via biological genealogies not only through his character, the signs he brought, and the truth of his message.

By employing the term  ابناء (abna’) in arabic, whih cognate with hebrew בני (b’ney), the Quran thus link the prophetic claim of Muhammad through genetic ancestry with the Israelites. Therefore this verse do not merely speaks allegory as, I am sure, many of used to think. 

Lets analyze this verse :

الذين اءتينهم الكتاب يعرفونه كما يعرفون ابناءهم

(2:46 البقرة)

Alladhīna ʾātaynāhumu l-kitāba yaʿrifūnahū ka-mā yaʿrifūna ʾabnāʾahum

אלה אשר נתנו להם את הספר מכירים אותו כפי שמכירים את בניכם

(2:146  סורת אלבקרה)     

Elleh asher natannu lachem et has-Sefer machchirim oto kefiy shemmachchirim et b’neychem [1]

Those to whom We gave the Scripture know him as they know their own sons.

(Al-Baqarah 2:146)

Traditional Historical sources in Tarikh Al Islam confirm the accuracy of the genetic link of the Prophet of Islam to Israelite because genealogically Prophet Muhammad (p) is not of a “pure” arab stock or A’rab ‘Aaribah العرب العاربة rather he is considered as “arabized” arab or A’rab Musta’ribah  العرب المستعربة .  This may surprise some but it should not. 

Hāshim ibn Abdul Manan (whom the tribe is named hence Banu Hashim or Hashemite)  the great-grandfather of Prophet Muhammad married to Salma bint Amr of Banu Najjar a priestly Israelite clan[2]  from the city of  Medina (Yathrib as known to the Arabs) the birthplace of the Prophet Muhammad. This makes Banu Hashim a unique both an Ishmaelite and Israelite clan and this comes as no surprise that this clan is prominent to this day[3].

We have textual evidence that the city of Medina is  always a city  of particular significant for the jews as in Targum Onkelos 10:30  which was written in Judeo Aramaic from 1AD there is reference of settlements of Joktanides[4] which is called מָדִינְחָא Medincha [5,6], and there is no reason to think that this is the city other than  Medina in Arabia. There must be particular reason why the Israelite clans, the large number of them, settled in the primary Arab city of Medina, I would assume this was to do with the prevailing messianic/prophetic expectation at that time of but that perhaps another topic for another post. The fact is to such a great extend Medina had been known by the Israelites 6 centuries prior to the advent prophet Muhammad, a Hashemite (qabilah banu Hashim), whom paternal bloodline are the descendants of  Patriarch Abraham through his first-born son and seed (zera), prophet Ishmael[7], but also claim maternal bloodline of priestly Israelite ancestry from the tribe of Banu Najjar.

Exceptional Clan Solidarity

To be sure, the solidarity of the Hashemite clan was exceptionally strong. In Tarikh Al Islam we learnt that although the message of Prophet Muhammad the hashemite   incited the resentment of other Arabic tribes, the Hashemites were always united to protect one of his son, whether they are believers or not to the point that other tribes enforced a economic and social boycott against the Hashemites. For years the hashemites lived in exile and endured misery and hunger. Never once Prophet Muhammad (p) stop in preaching the message of revelation still the Hashemite clan were always by his side with exceptional patience and fortitude because they believed the noteworthiness of Muhammad’s prophetic role[8].

Exilarch connection

Hāshim ibn Abdul Manan also married another woman Qaylah (or Hind) bint Amr ibn Malik of the Banu Khuza’a from whom he had a son Asad (who was Ali Ibn Abi Thalib‘s maternal grandfather the 4th Caliph, the cousin and son-in-law of Prophet Muhammad). Asad ibn Hāshim then married to Zahna bat Kafnai Gaon, an Exilarch[9] princess, the daughter of Kafnai Gaon of Baghdad, the 32th Babylonian Exilarch (C. 530 – C. 580/581): a very noble royal family who traced their ancestry through the Davidic patrilineal line/ Malkhut Beit David (מלכות בית דוד).  From this marriage Asad ibn Hāshim and Zahna bat Kafnai Gaon bore Fāṭimah bint Asad, who then was married to  Abu Thalib bin Abdul Muthalib ibn Hashim.

Fatimah the Blessed Memory

I will argue there must be a good reason why Asad ibn Hāshim and Zahna bat Kafnai named his daughter FāṭimahIt turns out that Fāṭimah is no ordinary for name in the Oral Torah. As a daughter of a prominent jewish leader, Hazna must realized the significance of this name and play part in choosing it as a good name for her daughter, a name from the collective memory of her tradition which is the wife of prophet Ishmael the noble patrilineal ancestor of her husband: פטימא Phetima.

Here is the text from Targum Jonathan on Genesis/Sefer Bereshit 21:21 found in most rabbinic bible Mikraot Gedolot (מקראות גדולות):

וְיָתִיב בְּמַדְבְּרָא דְפָּארָן וּנְסֵיב אִתְּתָא יַת עֲדִישָׁא וְתֵרְכָהּ וּנְסִיבַת לֵיהּ אִמֵיהּ יַת פְּטִימָא אִתְּתָא מֵאַרְעָא דְמִצְרָיִם

‘And he dwelt in the wilderness of Pharan and took for a wife Adisha, but put her away. And his mother took for him Phetima to wife from the land of Egypt.

And also it was no coincidence that Prophet Muhammad too also gave his youngest daughter (from Khadija), Fāṭimah. Even until now she is one of the most loved and revered woman figure and prominent character in the religion of Islam and after her name is most muslims give name to their daughter. It is the  most popular muslim girl’s names. Undoubtedly it is to do with divine plan to preserve this noble name Phetima פְּטִימָא  (Ar: Fāṭimah فاطمة‎‎)  for generations to come.

Their Own Son

The Ishmaelite – Israelite blood union within the Hashemite genealogy proved the mature and stable existence of religious and political axis between the Babylonian Exilarch  in Baghdad – and their counterpart in Yathrib in pre-Islamic Arabian peninsula (The Hijaz)  through the uniquely influential and mixed Ishmaelite and Israelite ancestry, the Hashemite clan.  Thus genealogically it makes perfect sense that the  Qur’an designate Prophet Muhammad as “their own son” for the Israelites (ie. those who had been given scriptures) not only  in the sense through the prophecies in the  Bible.

It may explain why when Prophet Muhammad made his Hijrah  هِجْرَة  and the city was soon renamed Madīnat مَـديـنـة, the the jews of Yathrib who had the upper hand with their large settlement and huge property never objected to the name. This is a strong indication that the jews had already familiar with the name which was medintā מְדִֽינְתָּא֙ in Judeo -Aramaic and they were there awaiting the arrival of a future prophet. This is further supported by the most prominent Gaonic Rabbi:  Saadia Gaon ben Yosef / Rasag who mentioned the location Mecca مكة and Medina المدينة for his rendering of Genesis/Bereishit10:30[10].

Notes

  1. Subhi ‘Ali ‘Adwi, הַקּוּראָן בְּלָשׁוֹן אַחֵר Ha-Qur’an BeLashon Akher, 2015.
  2. The Banu Najjar /  b’ney Naggar בני נגר  (Arabic: بنو نجّار) tribe literally translates to “Sons of the Carpenter.” It may also be hinting at a rabbinic lineage as the termנגר naggar in the Talmud signifies a learned, wise and literate in the Torah.  [Jesus the Jew: a historian’s reading of the Gospels by Geza Vermes 1983; p21-22 ] 
  3. This bloodline from Salma and their father Hashem, makes the Hashemites in specific, unique among their Ishmaelite clans in Arabia and the entire Middle East, as they  are both Ishmaelite by paternal descent, and also Israelite through maternal descent, from the Royal House of Judah, from whom the Bani an-Najjar originally descend.
  4. Joktanites: ancient Arab tribes of southern Arabian peninsula
  5. Onkelos on the Torah Bereishit Noach Ch 10:30 p57 by Drazin & Wagner
  6. Medincha or Medinta? Are we sure the Aramaic term is  מָדִינְחָא Medincha with chet? But as far as my knowledge of Aramaic goes I would expect the correct spelling should read מְדִֽינְתָּא֙ medintā  with taw. The latter simply  mean the “city” in singular exactly cognates with the arabic مدينة where the blessed city are known for until today.
  7. Lineage from Ishmael according to classical accounting are considered the “Arabized” arabs or A’rab Musta’ribah  العرب المستعربة . They were arabized because Ishmael had to learn arabic when je came to Mecca and subsequently married into arab tribe of Jurhum. From Ishmael came the “Northern Arabs” associated with Adnān and later to Prophet Muhamad (in contrast to the biblical Joktanites  which give rise to “Southern Arabs” like the Yemenis)
  8. ان الله اصطفى كنانة من ولد اسماعيل و اصطفى قريسا من كنانة واصطفى قريسا بني هاشم و اصطفى ني بني هاشم – صحيح مسلم

    Verily Allah granted eminence to Kinana from amongst the descendants of Isma’il, and he granted eminence to the Quraish amongst Kinana, and he granted eminence to Banu Hashim amonsgst the Quraish, and he granted me eminence from the tribe of Banu Hashim. (Sahih Muslim » The Book of Virtues).

  9. Exilarch (Heb: ראש גלות Rosh Galut, Aram: ריש גלותא Reysh Galuta or Resh Galvata, Ar: رأس الجالوت Raas al-Galut lit. “leader of the captives”) refers to the leaders of the Diaspora Jewish community in Babylon following the deportation of King Jeconiah and his court into Babylonian exile after the first fall of Jerusalem in 597 BCE
  10.  See my previous article entitled The Road to Shur in this blog.