Shalom ‘aleychem
Assalamu ‘alaykum
Toledoth Yeshu
Pinchas Lapide menyatakan:
” the Toledoth (Yeshu) neither denies the historicity of Jesus, nor conceals his miracles and cures, nor questions his Jewishness – for rabbinical law states that every son of a Jewish mother is a Jew (hlm. 76).
Aturan seperti ni juga tercatat dalam kitab Mishnah, traktat Kiddushin 3:12 sebagaimana yang dikompilasi oleh Rabbi Yudah ha-Nasi. Sefer Ben Ish Chay karya Rabbi Yosef Chayyim yang hidup di kota Baghdad juga menyatakan hal yang sama, yakni seseorang diakui sebagai Yahudi (his Jewishness) bila ibunya seorang Yahudi. Sefer Ben Ish Chay merupakan kitab Midrash Halacha yang populer dijadikan acuan oleh kalangan masyarakat Yahudi Musta’ribah di wilayah Arab, sejajar dng kitab Midrash Halacha yang disebut Sefer Kitzur Sulchan ‘Aruch karya Rabbi Yosef Karo yang populer dijadikan acuan di kalangan masyarakat Yahudi Eropa di wilayah Barat. Sefer Kitzur Sulchan Aruch dan Sefer Ben Ish Chay merupakan rabbinical law yang mengatur segala kehidupan kaum Yahudi, termasuk status seseorang.
Dengan demikian, tradisi Yahudi membenarkan bahwa seorang anak dianggap Yahudi dan mewarisi berkat Abraham bila ibunya adalah berdarah Yahudi, dan sang anak tersebut disunat. Dalam hal ini, Yesus anak Maria dan Timotius murid Paulus (Kisah Para Rasul 16:1-3), keduanya diakui sebagai keturunan Yahudi karena kedua ibu mereka adalah seorang Yahudi. Begitu juga status Abdul Muthalib, kakek Sang Nabi SAW – secara hukum – yakni berdasar Sefer Ben Ish Chay dapat disebut sebagai keturunan Yahudi, karena ibunya yang bernama Salma binti Amr, istri Hashim adalah seorang wanita Yahudi Musta’ribah dari bani Najjar di kota Yatsrib. Jadi tidak ada keistimewaan apapun bila status Yesus dibandingkan dng status Timotius, dan juga tidak ada keistimewaan apapun bila status Yesus dibandingkan dng status Abdul Muthalib. Bahkan tidak ada keistimewaan apapun bila Yesus dibandingkan dng Sang Nabi SAW, karena kakek beliau adalah keturunan Yahudi Musta’ribah dari bani Najjar. Jadi Yesus, Timotius, Abdul Muthalib dan Muhammad SAW semuanya adalah keturunan Yahudi. Ini bukan klaim agama Kristen atau pun klaim agama Islam, sebab yang menjadi acuan keyahudian seseorang berdasar pada rabbinical law, khususnya status keturunan kaum Yahudi Musta’ribah sebagaimana yang tercantum dalam Sefer Ben Ish Chay karya Rabbi Yosef Chayyim yang berasal dari Baghdad.
Fakta tekstual membuktikan bahwa dalam teks Peshitta, khususnya Injil Markus 6: 3, Yesus disebut sebagai ברה דמרים (brah d’Maryam) yang artinya: ” anak Maryam.” Yesus dalam kitab suci Quran bahkan lebih eksklusif disebut dng gelar ابن مريم (ibnu Maryam), yang artinya anak Maryam. Kesejajaran teks Peshitta dan kitab suci Quran ini membuktikan adanya link dng Sefer Ben Ish Chay yang berlaku dan dipraktekkan di kalangan masyarakat Yahudi Musta’ribah di Arabia. Ini adalah fakta sosial yang berlaku pada zamannya tentang identitas status seseorang yang diakui secara hukum sebagai keturunan Yahudi. Fakta sosial ini nampaknya juga mengalami sakralitas yang bernuansa teologis yang dikemas dalam format teks kitab suci. Dalam Sefer Ben Ish Chay, seorang ibu dapat memberi nama anaknya. Oleh karena itulah Hazna binti Hofnai, puteri seorang Exilarch ke-32 yang menjadi istri Asad ibn Hashim, faktanya sang putri Exilarch sendiri yang memberi nama anak perempuannya bernama Fathimah (فاطمة) sebagaimana nama yang tercantum dalam Targum Yonathan dalam bhs Judeo-Aramaic dan Sefer Pirkei de Rav Eliezer dalam bhs Ibrani (Hebrew) yang pada kedua kitab tersebut ternyata tertulis nama Phetima (פתימא). Dan menariknya kedua kitab tersebut telah eksis sejak era pra-Islam.
Sementara itu, teks Peshitta juga memberikan data yang sama bahwa Maria-lah yang pertama kali menerima perintah dari malaikat Gabriel agar anak yang akan dilahirkan itu harus diberi mana Yesus (Lukas 1: 31). Jadi yang memberi nama Yesus adalah Maria, bukan Yusuf; sebagaimana yang memberi nama Fathimah bukanlah Asad ibn Hashim, tapi Hazna binti Hofnai. Perdebatan di kalangan Kristen mengenai siapa sebenarnya yang pertama kali memberi nama Yesus dipicu akibat perbedaan originalitas bahasa asli kitab PB itu sendiri. Bila teks Peshitta dianggap teks yang asli (bukan terjemahan), maka PB versi Greek New Testament (GNT) yang menyebut bahwa Yusuf lah yang memberi nama Yesus dalam Injil Matius 1: 21, sebenarnya tidak akurat. Ketidakakuratan ini akibat penerjemahan teks yang kurang tepat. Dalam teks Peshitta, Injil Matius 1:21 tertulis תקרא שמה ישוע הו (tiqre shmeh Yeshu’ hu), yang terjemahannya bisa bermakna ganda “you will call him Jesus ” atau “she will call him Jesus “, tergantung kepada konteksnya. Menurut Kristen Ortodoks Assyria, pemahaman yg lebih tepat dari teks Injil Matius 1: 23 adalah “she will call him Jesus”, bukan ” you will call him Jesus “, yang berarti Maria-lah yang punya hak dan kewajiban memberi nama Yesus, anak yang akan dilahirkannya, sehingga tidak bertentangan dengan Lukas 1: 31. Hal ini mengindikasikan bahwa memang Maria yang lebih dulu menerima tugas memberi nama Yesus, berdasarkan perintah TUHAN melalui malaikat Gabriel. Dengan demikian, Yusuf tidak memiliki peran apapun dalam pemberian nama, dan juga tidak memiliki peran apapun dalam hal status Yesus, yakni yang menandai status legalitas keyahudian Yesus. Mengapa? Jawabannya tercantum dalam teks Peshitta, yang menyebutkan bahwa hak mutlak Maria saja yang memberi nama pada anak yang akan dilahirkannya, yakni Yesus (Lukas 1: 31; Matius 1:23).
Quran secara pasti menegaskan bahwa nama Maryam sebagai nasab yang sah dari Yesus. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada lelaki manapun – menurut Quran – yg menjadi nasab Yesus dari jalur ayah, termasuk jalur dari Yusuf sendiri untuk menandai status legalitas keyahudian Yesus. Artinya, nasabnya tidak dikaitkan kepada seorang lelaki manapun sebagaimana anak-anak lainnya.
Baruch HASHEM. ברוך הי מלך העלם
Silakan baca artikel yang lain