Kesejajaran dan kemiripan cerita dalam teks Veda Mahabharata dan teks Torah memang sangat menakjubkan. Dengan melalui proses pembacaan teks, justru kita dapat membuktikan adanya benang merah di antara kedua kitab suci itu, ada semacam common heritage; di antaranya berkaitan tentang kisah Aswattama dan Kain yang memiliki pesan ideologis yang sama meskipun berbeda setting.
Aswattama memang dikutuk oleh Sri Krishna, sebagaimana Kain juga dikutuk oleh TUHAN; Kain diusir menuju wilayah Timur yakni ke wilayah Nod, sedangkan Aswattama diusir menuju ke wilayah Barat yakni ke wilayah Arva-sthan. Wilayah Arvasthan ini memang jauh dari wilayah הנדיא (Hindeya), dan nama הנדיא (Hindeya) itu sendiri ternyata merupakan kosakata Sanskrit yang ter-Aram-kan (Aramized-Sanskrit term) sebagaimana yang tercatat dalam Aramaic Targum, khususnya Targum Esther berbahasa Aram tatkala menjelaskan istilah הדו (Hoddu) dalam teks Ibrani Masoret, Sefer Esther 1:1.
Dalam teks Veda, wilayah Arva-sthan merujuk kawasan peradaban Semitik (Semitic civilization), penutur bahasa-bahasa pewaris Sem ben Noach. Itulah sebabnya wilayah peradaban Semitik dalam Veda disebut Arvasthan, yang bermakna “wilayah orang-orang yang “menyeberang”, “pindah”, atau “migrasi.” Dalam bahasa Sanskrit, istilah Arva-sthan berasal dari gabungan 2 kata kunci yakni Arv yang berarti “bergerak”, “berpindah”, “nomad”, “menyeberang”, yang ternyata kosakata Sanskrit ini sepadan dengan istilah עבר (Evr) dalam bhs Ibrani yang juga bermakna “menyeberang”, “pindah”, migrasi”, dan dari kata עבר (Evr) inilah kemudian muncul istilah ‘Ivrit עברית (bahasa Ivrit) yakni bahasa Ibrani (Hebrew). Sebutan istilah Arva(n) dalam kamus-kamus bahasa Sanskrit merujuk kepada orang-orang yang tinggal di kawasan Arvasthan, yakni di wilayah Barat yang jauh dari kawasan Hindhu-sthan. Orang-orang Arvasthan dalam Veda ternyata mereka juga disebut sebagai orang-orang Mleccha. Istilah Mleccha berasal dari akar kata Mlech, yang berarti “berbicara dgn tidak jelas”, “tidak utuh.” Jadi orang-orang Arvasthan adalah penutur bahasa yang “tidak utuh”, “tidak jelas” atau “kacau.” Kamus Sanskrit karya Arthur Anthony Macdonell (Oxford University Press, 1929), Vaman Sivram Apte (New Delhi: Motilal Banarsidas, 1987) membenarkan hal ini sebagaimana penjelasan pakar embriologi bahasa Sanskrit, Made Harimbawa dari Universitas Indonesia.
Dengan demikian, ini menjadi bukti bahwa ternyata ada semacam common episteme dengan narasi suci yang termaktub di dalam kitab Torah. Rashi ketika menjelaskan Sefer Bereshit/Genesis 11:1 terkait tentang bahasa yang satu – safah echad (שפה אחד) – sebelum dikacaukan oleh TUHAN disebut dengan istilah לשון הקדש leson haq-qodesh (bahasa suci) yakni merujuk pada eksistensi bahasa עברית (Ibrani), yang secara literal berasal dari akar kata עבר (Evr). Dalam Torah Sefer Bereshit 11:9, TUHAN telah mengacaubalaukan/confused בלל (balal) bahasa. Itulah sebabnya bahasa Ibrani disebut sebagai bahasa suci (leson haq-qodesh) sedangkan the other (bahasa lain) disebut “balal”, yakni bahasa yang sudah mengalami “kacau balau”, “tidak utuh”, “tidak jelas”.
Menurut teks Veda, bahasa Sanskrit adalah bahasa orang suci (sadhu-bhasa) dan istilah Sanskrit ternyata berasal dari akar kata samskrt, yakni sesuatu yang sudah “steril”, “perfecto”, “bersih”, “tidak kacau.” Itulah sebabnya tata bahasa dalam bahasa Sanskrit disebut “vyakarana”, artinya: “sudah teratur/teranalisa.” Sementara itu, Veda menyatakan bahwa bahasa orang-orang yang “menyeberang” disebut sebagai bahasa Mleccha (bahasa yang kacau, tidak jelas dan tidak utuh). Dengan demikian, menurut Torah bahasa orang-orang non-Ibrani disebut sebagai bahasa orang-orang Babel yang telah dikacaubalaukan – בלל (balal) oleh TUHAN, sedangkan menurut Veda justru sebaliknya, bahasa non-Sanskrit adalah bahasa yang kacau, tidak steril, tidak utuh, tidak perfecto, dan tidak jelas. Menurut Rashi, bahasa Ibrani disebut sebagai leson haq-qodesh (bahasa suci), yang merujuk bahasa para Nabi; sedangkan menurut Panini, Patanjali dan Valmiki justru bahasa Sanskrit yang disebut sebagai sadhu-bhasa, yakni bahasa suci para Sadhu dan bahasa suci para dewa sebagaimana yang termaktub dalam teks Veda Ramayana. Itulah sebabnya aksara yang digunakan untuk menulis teks berbahasa Sanskrit disebut aksara deva-nagari, yang arti harfiahnya adalah “aksara dewa.” Inilah yang disebut sebagai perebutan wacana antara tradisi Arya dan tradisi Semit sebagaimana yang tercermin dalam teks Veda dan Torah. Similar but not exactly the same.
Dalam teks Ramayana, Sundarakanda 30: 17-18 dinyatakan demikian mengenai apa itu bahasa Sanskrit.
aham hyatitanuscaiva vanarasca visesatah.
vecam codaharisyami manusim iha samskrtam: yadi vacam pradasyami dvijatir iva samskrtam. ravanam manyamana mam Sita bhita bhavisyati:
Renungan
1. Berdasarkan kajian linguistik, sebutan “Mleccha” merujuk pada tuturan bahasa bagi orang2 yang gramatika bahasanya dipandang tidak lengkap (tidak utuh). Itulah sebabnya, indikasi ketidaklengkapan itu ternyata dapat ditemukan adanya pengaruh kosakata Sanskrit dan varian atau pun cabang dari bahasa Sanskrit yang meresap dan “merangsek” ke dalam rumpun bahasa-bahasa Semitic melalui proses adopsi dan adaptasi, yang kemudian kosakata serapan itu mengalami kemapanan seiring dengan perkembangan dan kemapanan bahasa2 rumpun Semitic itu. Dalam proses itulah kosakata serapan dari unsur elemen2 Aryan juga dipandang suci karena pengaruh bahasa Sanskrit dan turunannya, yakni Hindi, Benggali, Tamil dll. Hal ini juga diakui oleh pakar embriologi linguistik Sanskrit dari Univ. Indonesia, Made Harimbawa. Jadi tidak heran kalau ada elemen2 kebahasaan dari tradisi Veda dan Avesta yg merupakan rumpun Arya ternyata bisa sampai ke kawasan rumpun bahasa Semitic, yang akhirnya berkembang dan menginspirasi agama-agama Abrahamic.
2. Abu Raihan Muhammad bin Ahmad Al-Biruni (973-1048 M) dalam bukunya Tahqiq li Al-Hindi menyebutkan bahwa bhs Sanskrit amat banyak kosakata dan infleksinya, memiliki unsur Aritmatik, memberikan nama yang banyak terhadap barang yang satu dng kata-kata yang aslinya, yang belum berubah maupun kata-kata yang sudah mendapat perubahan. Atau juga sebaliknya, menyebut dng satu kata terhadap barang-barang yang berbeda-beda, yang utk membedakannya perlu dibarengi dengan tambahan yang berlainan. Karena itu, tidak ada yang bisa membedakan di antara sekian banyak arti dari satu kata kecuali ia mengetahui hubungan kata itu dengan kata di depan maupun yang di belakangnya dalam satu kalimat. Bahasa Sanskrit juga mempunyai proses pembentukan kata yang amat rapi, sangat kompleks dan sangat matematis. Hal ini juga dibenarkan oleh Sachau dan J.F. Stael. Kerumitan dan kompleksitas proses pembentukan kata tersebut juga diakui oleh Prof. Russel Jones yang pakar bahasa Yunani dan sekaligus pakar bahasa Sanskrit. Menurut Made Harimbawa, fakta kompleksitas itu terbukti, sebab nama atau kosakata tidak terikat pada benda/fenomena, tetapi terikat pada deskripsi sang pengucap. Maksudnya, satu benda bisa punya belasan atau lebih kata. Pernyataan Made Harimbawa ini merupakan pengulangan dan konfirmasi dari ulasan Al-Biruni dalam karyanya Tahqiq Al-Hindi. Vedic Sanskrit masih mengikuti aturan ini; dan dalam bhs Sanskrit tidak ditemukan adanya loanwords (kosakata serapan) di dalamnya. Hal ini justru berbeda dengan bahasa Ibrani (Hebrew) yang banyak ditemukan adanya loanwords (kosakata serapan) di dalamnya. Fakta ini juga dibenarkan oleh Prof. James Barr dalam karyanya yang berjudul “Comparative Philology and the Text of the Old Testaments” (Oxford: The Clarendon Press, 1968), juga Prof. Mats Eskhult dalam karyanya “The importance of Loanwords for Dating Biblical Hebrew (London – New York: T & T Clark International, 2003).
3. Sebutan “Mleccha” dalam teks Veda yang merujuk pada entitas bahasa yang kacau, tidak utuh, tidak lengkap, dan tidak jelas itu bisa ditafsirkan sebagai bahasa yang sederhana, tidak terlalu rumit, tidak terlalu kompleks grammatikanya. Dalam kajian linguistik historis misalnya, bahasa rumpun Semitic – termasuk bahasa Ibrani – adalah bahasa yang sangat sederhana aturan gramatikanya, tidak terlalu kompleks makna semantiknya, satu kata bisa bermakna ganda; sedangkan bahasa Sanskrit adalah bahasa yang sangat rumit aturan gramatikanya, sangat kompleks makna semantiknya, sangat utuh dan sangat jelas unsur pembeda artinya.
4. Apakah varian narasi yang teksnya berkisah tentang Aswattama dan Kain sebagaimana yang termaktub dalam kedua kitab suci tersebut merupakan sebuah pesan adanya pertarungan wacana antara non-Arya dan non-Semit? Antara non-Hindu dan non-Yahudi? Teks tidak semata-mata dianggap sebagai pesan dari langit, sebab teks memang tidak lahir dalam ruang hampa, teks selalu terkait dengan simbol-simbol dan ideologi yang mengitarinya. Ini perlu kajian mendalam dan serius. Silakan baca buku saya “Aryo-Semitic Philology: the Semitization of Vedas and Sanskrit Elements in Hebrew and Abrahamic Texts.” (Surabaya: Airlangga University Press, 2018).