Elia dan Musa memiliki mukjizat yang sama dengan Krishna. Bila Elia membelah sungai Yordan dengan jubahnya yang dipukulkan ke permukaan air sungai tersebut (II Raja-raja 2:7-8), dan Musa membelah laut Merah dengan mengulurkan tangannya ke arah permukaan air laut tersebut (Keluaran 14:21-22), maka dalam kitab suci Mahabharata dikisahkan bahwa Krishna membelah sungai Yamuna dengan mengulurkan telapak kakinya di permukaan air tersebut demi menyelamatkan Arjuna dan Subadra.
Dalam kitab suci Mahabharata, khususnya bagian Svargarohanika Parva juga dikisahkan tentang Yudhisthira yang naik ke sorga dengan kereta. Svargarohanika Parva merupakan parva terakhir dari 18 parva kitab suci Mahabharata, yang terdiri dari enam bab dan 209 bait sloka, yang sangat kecil jika dibandingkan keseluruhan bait sloka kitab Mahabharata yang berjumlah lebih dari 100.000 sloka. Adapun masalah yang diceritakan dalam parva ini berkaitan dengan pengalaman Raja Yudhisthira dengan badan kasarnya naik ke sorga dengan menggunakan kereta yang terbuat dari api, milik dewa Indra.
“Indra menyuruh Yudhisthira naik ke atas kereta kendaraannya. Tetapi apa jawab Yidhisthira: “Semua saudara-saudara hamba telah gugur di sini. Tanpa mereka hamba tidak mau pergi ke sorga…. Sakra menjawab: “Nanda dapat menjumpai saudara-saudara Anda di alam sorga. Mereka sebenarnya telah sampai di sana terlebih dahulu. Mereka semua telah tiba di sana bersama-sama dengan Krishna. Jangan bersedih wahai raja wangsa Bharata. Setelah meninggalkan jasadnya masing-masing, mereka telah sampai di sorga. Tetapi Anda akan menuju ke sana dengan jasad yang lengkap seperti keadaan sekarang ini… Dengan menumpang kereta dewata, dalam sekejab Yudisthira sampai ke alam sorga”,
See I Wayan Maswinara. Svarga Rohanika Parva: Mahabharata (Surabaya: Paramita, 1999), pp. 10-19.
Dalam kitab suci TaNaKH – kitab suci agama Yahudi maupun Alkitab Kristen, khususnya ayat yang termaktub dalam II Raja-raja 2:9-11 juga dikisahkan narasi yang sejajar dengan kisah Yudhisthira.
“Dan sesudah mereka sampai di seberang, berkatalah Elia kepada Elisa: “Mintalah apa yang hendak kulakukan kepadamu, sebelum aku terangkat dari padamu.” Jawab Elisa: “Biarlah kiranya aku mendapat 2 bagian dari rohmu.” Berkatalah Elia: “Yang kauminta itu adalah sukar. Tetapi jika engkau dapat melihat aku terangkat dari padamu, akan terjadilah kepadamu seperti yang demikian, dan jika tidak, tidak akan terjadi.” Sedang mereka berjalan terus sambil berkata-kata, tiba-tiba datanglah kereta berapi dengan kuda berapi memisahkan keduanya, lalu naiklah Elia ke sorga dalam angin badai”, Alkitab (Jakarta: LAI, 2001), p. 401.
Fakta teks “kisah” tersebut di atas dapat dijadikan pijakan untuk membuktikan adanya kesejajaran ayat suci ketiga agama besar, sebagaimana yang termaktub dalam dokumen kitab suci agama Hindu, agama Yahudi dan agama Kristen. Salah satunya berkaitan dengan kisah Yudhistira dan Elijah, yang sama-sama tidak mengalami kematian, sama-sama terangkat ke sorga, sama-sama naik ke sorga dengan menggunakaan kereta, dan kereta keduanya sama-sama terbuat dari api. Jadi Yudisthira dan Elijah sama-sama naik ke sorga dengan kereta yang terbuat dari api; bukan naik kereta api.
Apakah kisah Yudhisthira dan Elia tersebut keduanya merupakan sejarah/ history yang kebenarannya dapat dikonfirmasi dengan bukti faktual arkeologis melalui kajian historis-kritis, atau keduanya hanya merupakan legenda yang kebenarannya hanya dapat dikorfirmasi melalui teks dokumen kitab suci, atau keduanya hanya merupakan mitos, sesuai dengan “his story” komunitas keagamaan yang telah meyakininya?
Berkaitan dengan iman yang bernalar, maka tidak mungkin seseorang menjustifikasi kisah Yudhisthira sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci Mahabharata tersebut dianggap sebagai mitos (myth), sedangkan kisah Elia sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci TaNaKH dan Bible (Alkitab) dianggap sebagai sejarah. Bukankah kitab Mahabharata, kitab TaNaKH dan kitab Bible ketiganya merupakan kitab suci 3 agama besar yang berpijak pada teks dokumen suci keagamaan? Cobalah jujur pada diri sendiri untuk menjawabnya.
Yg jelas dalam salah satu kamus bahasa Inggris tertulis demikian: “If you describe a belief or explantion as a myth, you mean that many people believe it but it is actually untrue.”
Begitu juga Louis Ginzberg juga menyatakan: “the word ‘legend’ is derived from the Latin ‘legenda’ meaning
‘to be read’, the term originally applied to narratives of the Middle Ages such as lives of of the saints, which had ‘to be read’ as a religious duty”, see Louis Ginzberg. Legends of the Bible (New York: the Jewish Publications Society of America, 1956), p. xi
Bila Anda mengatakan bahwa kisah Yudhisthira yang naik ke sorga sebagai mitos, maka orang lain juga akan berkata kepada Anda bahwa kisah Elia yang naik ke sorga juga sebagai mitos.
Kisah Yudhisthira yang naik ke sorga dengan kereta berapi merupakan kisah keagamaan yang lebih tua dibanding kisah Elia yang juga naik ke sorga dengan kereta yang terbuat dari api. Kisah Yudhisthira yang naik ke sorga merupakan teks keagamaan bertradisi Arya. Teks keagamaan bertradisi Arya secara historis telah migrasi ke wilayah Persia dan Babilonia. Itulah sebabnya ditemukan inskripsi Boghazkoi berbahasa Akkadia yang justru memuat nama dewa-dewa Hindu bertradisi Arya, termasuk nama dewa Indra. Selain itu, ketokohan Yudhisthira yang naik ke sorga tanpa melalui proses kematian ternyata terkait juga dengan kereta yang terbuat dari api, milik dewa Indra, dan dewa Indra sendiri yang berperan sebagai kusirnya, sebagaimana kisahnya yang termaktub dalam kitab suci Mahabharata, khususnya parva terakhir yakni Svargarohanika Parva. Menariknya, peran penting figur dewa Indra ternyata namanya juga sudah tercantum dalam inskripsi Boghazkoi, yakni dengan sebutan “In-da-ra” yang ditulis dalam bahasa Akkadia, salah satu cabang bahasa Semit, see E.F. Weidner, et.al (ed.). Keilschrifttexte aus Boghazkoi (Leipzig: J.C. Hinrichs’sche Buchhandlung, 1916).
Jadi, fakta adanya migrasi teks Arya ke wilayah Semit tersebut membuktikan adanya kontak budaya dan kontak bahasa antara tradisi Arya dengan tradisi Semit yang justru meniscayakan adanya perjumpaan teologis, yang juga meniscayakan pula terjadinya pengaruh teks Arya pada domain keagamaan di wilayah Babilonia. Dan dalam konteks ini, tatkala Yeremiyah mengalami pengasingan di wilayah Babilonia, maka muncullah kisah Elia dalam kitab Raja-raja. Siapakah sebenarnya penulis kitab Raja-raja? Havernick menyatakan bahwa Yeremiyah sendiri yang menulis kitab Raja-raja.
Havernick dengan mengutip teks Talmud, Baba Bathra fol. 15.1 beliau berkata: “Jeremias scripsit librum suum et librum Regum et Threnos (Jeremiyah sendiri yang menulis kitabnya, juga kitab Raja-raja, dan juga kitab Ratapan), see Keil and Delitzsch. Commentary on the Old Testaments, vol III. 1 and 2 Kings, 1 and 2 Chronicles (Massachusetts: Hendeickson Publishers, 2006), p. 9. Begitu juga sebagaimana teks sumber Judaism dalam teks Talmud Bavli, fourth order Neziqin, Baba Bathra 15a.2. disebutkan hal yang sama terkait siapa sebenarnya penulis teks kitab Raja-raja. Teks Talmud menyebutkan demikian: וירמיה כתב ספרו וספר מלכים וקינות (ve Yermiyahu katav sefero ve sefer Melachim ve Qinot), see Davidson and Rabbi Addin Steinsaltz. Noe Koren Talmud Bavli (Jerusalem: Koren Publishers).
Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa kitab Raja-raja yang memuat kisah Elia yang naik ke sorga dengan kereta yang terbuat dari api merupakan kisah yang baru muncul belakangan yang ditulis oleh Yeremiyah di Babilonia, yang bisa jadi bersumber dari tradisi keagamaan Arya yang migrasi di wilayah Babilonia.