Quran Warsh, Quran Hafsh: Mengapa Alquran Tanpa Footnote?

Banyak orang yang belum tahu soal Appatus Criticus, Quran Warsh dan Quran Hafs

Kemarin hari Sabtu, kami tidak sengaja bertemu dengan seseorang dari Jakarta yang datang ke De’ Museum Cafe, Malang. Saat itu saya juga di sana. Beliau melihat-lihat berbagai cetakan kitab suci yang terpajang di sebuah etalase berkaca, di antaranya Alkitab Ibrani (Biblia Hebraica Stuutgartensia) dengan versi bacaan yang berupa footnote; teks PB (perjanjian Baru) Yunani dengan varian bacaan juga disertai footnote. Dan yang mengherankan dia, ternyata juga di sana terpajang Qur’an Warsh dan Qur’an Hafsh di etalase tersebut. Namun, teks Quran Warsh dan Quran Hafsh itu tanpa disertai footnote.

Dia melihat-lihat teks tersebut dengan serius, tetapi juga penasaran. Kami berkenalan, dan dia pun menyempatkan bertanya kepada saya. Akhirnya dia bertanya kepada saya tentang hal yang sangat penting kepada saya: “Mengapa ada Quran Warsh dan Quran Hafsh, dan apa bedanya? Padahal pada cetakan Quran tersebut tidak ada varian bacaan yang berupa footnote?”

Maka, saya pun menjelaskan bahwa memang kenyataannya Quran tidak mengenal adanya varian bacaan yang dianggap salah ataupun varian bacaan yang diduga benar. Itulah sebabnya sejak dulu hingga sekarang, cetakan-cetakan Quran tdk mengenal adanya footnote atau “appatus criticus.”

Hebraist M. Ali (kanan) menunjukan seluk beluk cara penulisan dan membaca Alquran.

Jadi, varian bacaan berupa “apparatus criticus” pada penerbitan Alkitab Ibrani maupun PB yang terletak pada footnote merupakan fakta tekstual adanya pengakuan tentang “human error” dalam penyalinan teksnya. Namun sebaliknya, meskipun ditemukan adanya varian bacaan pada teks Quran, tetapi varian bacaan itu bukanlah “human error” dalam penyalinan teksnya.

Itulah sebabnya, sejak awal ternyata varian bacaan teks Quran itu tidak dianggap sebagai “apparatus criticus”, yang dicatat pada Mushaf sebagai “footnote.” Artinya, varian bacaan teks Quran itu bukanlah “human error” dalam penyalinan teksnya. Dan inilah sebabnya semua umat Islam hafal semua varian bacaan teks Quran itu serta membenarkannya sebagai teks pewahyuan yang dibenarkan oleh Nabi SAW.

Yang unik, saat beliau kesulitan membedakan ortografi antara huruf waw dan fa’ – dan juga kesulitan membedakan antara ortografi huruf fa’ dan huruf qof dalam teks Quran Warsh.

Akhirnya beliau pun paham, dan sekaligus ingin belajar membaca Quran Warsh yang saya punya, yang saat itu sebenarnya saya bawa utk agenda pertemuan antara murid-murid dan Syekh Imran N Hosein di Jember nantinya.

Teks Alquran kuno yang tersimpan di British Musseum, Inggris.

Kisah ‘The Quran Of Sanaa’

Buku The Sanaa Palimpsest: the Transmission of the Qur’an in the First Centuries

Quran terbukti sejak dulu hingga sekarang tidak mengalami perubahan apapun.

Meskipun buku berjudul “The Sanaa Palimpsest: the Transmission of the Qur’an in the First Centuries AH (Oxford University Press, 2017) ini saya beli di toko buku di kota Tokyo – Jepang dengan harga ¥ 19.800, tetapi hal ini tetap membahagiakanku.

Mengapa? Buku akademik ini karya seorang akademisi papan atas jebolan dari l’Ecole Pratique des Hautes Etudes, Paris, yang membahas keotentikan Quran berdasarkan manuskrip-manuskrip kuno Abad ke-1 H. Buku ini kajiannya sangat filologis banget. Itu berarti teks Quran sejak dulu hingga sekarang tidak mengalami perubahan apapun.

Buku “The Sanaa Palimpsest: the Transmission of the Quran in the First Centuries AH” (Oxford University Press, 2017) tersebut sangat penting untuk mengimbangi kajian karya Keith Small, berjudul “Textual Criticism and Qur’an Manuscripts (Lexington Books, 2012). Mengapa? Ternyata buku karya Keith Small tersebut menjadi salah satu buku yang “diobok-obok” oleh Asma Hilali dalam karya akademiknya “The Sanaa Palimsest” tersebut.

Karya Keith Small itu merupakan buku yang secara khusus membahas “Textual Criticism” atas teks dan kodeks berdasar berbagai manuskrip Quran, termasuk manuskrip Sanaa. Keith Small membandingkan belasan manuscript Quran awal dgn Quran masa kini Mesir Edition 1924 dan menemukan adanya perbedaan signifikan, dalam studi kasus QS 14:35–41.

Namun, dengan metode “Textual Criticism” yang sama, Asma Hilali justru menemukan adanya kecacatan analisis temuan Keith Small tentang adanya perbedaan signifikan pada teks Quran – yang menurut Asma Hilali – asumsi Keith Small tersebut akibat kesalahan baca (misreading) terkait teks Quran kuno dari tataran ortografi hingga kajian semantik.

Teks-teks Quran yang fragmentaris yang dikaji oleh Asma Hilali berdasarkan temuan manuskrip-manuskrip Sanaa tersebut dapat dikatakan sebagai “penjungkirbalikan” atas analisis data “misreading” dari Keith Small. Anggapan Keith Small tentang adanya perbedaan signifikan pada teks Quran itu pada akhirnya runtuh dengan adanya analisis filologis yang bersifat pembanding, gagasan Asma Hilali. Analisis filologis itu tentu saja atas penemuan teks-teks kuno Quran di Sanaa, yang dalam konteks ini bisa disebut sebagai “the manuscripts of Quran in the Qumran of Islam.”

Since its discovery in 1972, the manuscript 01 – 27.1 from the Dar al-Makhtutat, Sanaa has raised more and more interest, both among scholars of the Quran as well as in the media. 

(Sejak ditemukan pada tahun 1972, manuskrip 01 – 27.1 dari Dar al-Makhtutat, Sanaa telah membangkitkan minat yang semakin meningkat, baik di kalangan sarjana Al-Quran maupun di media).