Berbincang tentang Torah secara apa adanya. Selamat menyimak, dan semoga bermanfaat sebagai bahan kajian bersama.
Video saya ini, yang berjudul “Membedah Keotentikan Taurat dan Injil”, merupakan jawaban pembanding atas video yang berjudul “Apakah Alkitab Dipalsukan?” Silakan Anda menyimak kedua video tersebut, dan selamat menalar secara kritis bagi para pembelajar.
According to traditional Jewish understanding such as Ibn Ezra and Radak, the book of Zechariah 13:7 refers directly to the suffering Messiah. The only possible interpretation for this scripture relates to the suffering Messiah, as Ibn Ezra suggested, who will die, as the scripture clearly states by crucifixion [1]. Do you think that Ibn Ezra and Radak have been influenced by theological power of Christian term when he explained that the verse referred to the suffering Messiah? Do you also think that the use of באר זמזם (be’er Zamzam) is the influence of Islamic term when Ibn Ezra explained the verse in the Sefer Bereshit 16:14? Maybe you will say “case by case.”
Rabbi Saadia Gaon also connecting Daniel 7:13 to Zechariah 9:9 declares:
“As a sign of humality, the Messiah will come riding on a donkey (Zechariah 9:9). He will however be accompanied by the clouds of heaven (Daniel 7:13), i.e. the angels of heavens
See Itzhak Sapira, The Return of the Kosher Pig: the Divine Messiah in Jewish Thought (Maryland: Lederer Books – Messianic Jewish Publishers, 2013), p. 200.
Do you also think that Rav Saadia Gaon was influenced by Christian theology on the coming of Christian Messiah based on the New Testament? Maybe you will say “case by case too.”
The Islamic terms in Ibn Ezra’s works are the influence of Islam, but the Christian terms and its theology in Ibn Ezra’s works are not the influence of Christianity. Indeed, you really did a selected judgement to make a critical episteme to the rabbinic texts.
Don’t insult your intelligence with this blatant double standard. Whenever there are “christian terms” in Saadia Gaon and Ibn Ezra works, you do not say that those rabbis were influenced by Christianity. However whenever there were “Islamic” terms in Saadia Gaon and Ibn Ezra works, you are quick to judge that they were influenced by Islam.
Footnotes
See Itzhak Sapira, The Return of the Kosher Pig: the Divine Messiah in Jewish Thought (Maryland: Lederer Books – Messianic Jewish Publishers, 2013), 128
Dialog teologis (interfaith dialogue) merupakan bentuk dialog yang lebih banyak melibatkan para ahli. Tujuan utama dialog teologis ini lebih menekankan pada kajian teks-teks suc agama-agama, dan bukan sekedar pendalaman iman terhadap Quran semata, tetapi juga memahami bagaimana relasi Quran dengan kitab-kitab sebelumnya. Dialog teologis sekarang ini begitu masif disuarakan dan digelar di berbagai komunitas keagamaan di negara-negara Eropa, Amerika, Timur Tengah dan Afrika. Prof. Idris as-Salawy, penulis buku “Manuscrits Arabes en Occident Musalman” المخطوطات العربية في الغرب الاسلامية (Marocco, Dar al-Baidha’: Muassasah al-Malik ‘Abdul ‘Aziz, 1990), serta Prof. Raymond Farrin, seorang muallaf dan juga sebagai Associate Professor of Arabic Studies di the American University of Kuwait telah menulis buku “Structure and Quranic Interpretation: A Study of Symmetry and Coherence in Islam’s Holy Text” (Oregon: White Cloud Press, 2014). Kedua buku tersebut penting sebagai bacaan, terutama untuk memahami relasi teks Quran dengan teks-teks kitab agama-agama. Begitu juga karya Prof. Ahmad Shahlan, seorang professor di bidang Semitic Studies di Marocco yang berjudul قضايا من اصول موسى الى البابا بنديكت XVI (Rabat: Mathba’ah al-Risalah, 2016), buku ini sangat pemting utk membaca teks-teks Semit.
Menurut saya ada 3 ranah/bidang dialog teologis yang perlu kita suarakan di bumi Indonesia ini.
Dar al-Taqrib bayn al-madzahib al-Islamiyah (Islamic Studies)
Dar al-Taqrib bayn al-Adyan al-Samiyah (Semitic Studies)
Dar al-Taqrib bayn al-Adyan al-Samawiyah (Aryo-Semitic Studies)
Dalam konteks dialog teologis ini saya akan menjelaskan relasi teks suci agama-agama bertradisi Semit dan Arya. Menurut saya, tidak ada pembedaan dikotomis antara sebutan “agama-agama langit” dan “agama-agama bumi”, sebab semua agama yang ada di muka bumi saat ini asal-usulnya pasti berasal dari langit. Islam datang untuk meluruskan, mengoreksi dan menyempurnakannya melalui kitab suci Quran, sebagaimana yang tersirat dalam teks Qs. al-Baqarah 2:106.
Kitab suci semua agama bukanlah sebuah teks sakral yang berdiri sendiri. Namun, kitab suci semua agama menegaskan semacam mata rantai yang menyadarkan kita tentang adanya konsep “One Word Many Versions” sesuai konteks zamannya. Dengan demikian, semua kitab suci ada semacam “common heritage” sebagaimana yang termaktub dalam kitab-kitab suci, dan Quran telah mengkonfirmasikannya. Misalnya, Mazmur 37:29[1] tertulis demikian:
צדיקים יירשו ארץ וישכנו לעד עליה. תהלים 37:29
“Orang-orang benar mewarisi bumi dan mereka akan tinggal selama-lamanya di bumi” (Tehilim 37:29).
Kitab suci Quran juga menyebutkan ayat yang sejajar, yang meneguhkan pernyataan kitab Mazmur dan sekaligus mengkonfirmasinya, yakni berkaitan dengan keberadaan orang-orang benar, atau pun orang-orang saleh. Qs. Al-Anbiya 21:105 menyebutkan demikian:
ولقد كتبنا في الزبور من بعد الذكر ان الارض يرثها عبادى الصلحون
Ayat ini sekaligus menegaskan bahwa hanya orang-orang saleh saja yang disebut “as-Shalikhun” (الصلحون) yang memiliki karakter kenabian. Itulah sebabnya ayat yang berkaitan dengan “orang-orang saleh” ternyata terletak pada Qs. Al-Anbiya’ (lit. “para Nabi”).
Belajarlah utk membaca dan terus membaca, sehingga kita dapat membandingkan antara wacana yang satu dengan wacana yang lain. Janganlah kita membaca sesuatu atau mendengar sesuatu secara ipse dixit. Tulisan saya ini merupakan analisis kritis atas sebuah wacana yang sebelumnya telah diwacanakan oleh Dr. Bambang Noersena, pendiri Institute for Syriac Christian Studies (ISCS). Kini nama organisasinya telah diubah menjadi Institute for Syriac Cultural Studies (ISCS) agar tampilan gerakan misinya terkesan lebih “soft.”
Selamat membaca dan berproses menjadi lebih kritis lagi.
Hitungan kalendar Yahudi, sekarang ini adalah 5779, sejajar dng kalender Masehi yakni 2019 M. Hitungan kalendar Kristen sekarang adalah 2019, sedangkan hitungan kalender Budha sekarang ini adalah 2563. Jadi kelahiran Sang Budha lebih awal dan lebih tua dibanding kelahiran Sang Kristus, 2019 M. Bila Sang Budha sebagai avatara ke-9 maka Sri Krishna adalah avatara ke-8. Jadi berkaitan dengan kajian kesejarahan, maka Krishna tidak mungkin eranya sezaman dengan Kristus. Artinya, masa kehidupan Krishna jauh lebih terdahulu dibanding era kehidupan Kristus. Vyasa-deva sang kompilator kitab Mahabharata saja hidup sebelum era Sang Buddha. Itu berarti bahwa Krishna memang dilahirkan jauh sebelum era Sang Buddha.
Dalam kitab Srimad Baghavatam Purana I.3.24. disebutkan:
“then the beginning of Kali-yuga, the Lord will appear as Lord Buddha, the son of Anjana in Kikatesu – the province of Gaya (Bihar) just for the purpose of delucing those who are envious of the faithful theist.”
Hitungan kalender Yahudi dimulai sejak pasca banjir Nuh. Persoalannya: cerita mengenai banjir Nuh itu terkodifikasi dalam Torah yang diterima oleh Musa, dan jarak antara Nuh hingga masa Nabi Musa itu ratusan tahun. Jadi wajar bila kehidupan Krishna lebih dulu ada dibanding masa kehidupan Musa. Dengan demikian, amat wajar bila ada kesejajaran cerita (common narrative) antara kitab Torah dan kitab Mahabharata, similar but not exactly the same.
Di dalam kitab Torah disebutkan adanya tokoh yang bernama Kain yang membunuh Habel, dan kemudian akhirnya Kain dikutuk serta diusir oleh TUHAN, migrasi menuju wilayah Timur (lihat Sefer Bereshit/Genesis 4:11-16). Pada Sefer Bereshit 4:16 ayatnya berbunyi demikian: וישב בארץ נוד קדמת עדן – vayyesev be-eretz Nod qidmat Eden (“dan dia/Kain menetap di tanah Nod, di sebelah Timur Eden”). Kain memang pergi ke arah Timur – yang dalam bahasa Hebrew (Ibrani) disebut “qidmat” (קדמת), yang berasal dari akar kata “qedem” (קדם), dan wilayah Timur itu yakni menuju kawasan Nod (נוד). Rashi (Rabbi Shlomo ben Yitzhak) menyatakan Istilah nama wilayah Nod bermakna “wandering” – the land where exiles wander about …… Notably, the eastern region always forms a place of refuge for murderers.” [1] . Rashi menafsirkannya sebagai wilayah הרוצחים – ha’rotzechim (para pembunuh). Sementara itu, di dalam kitab Mahabharata disebutkan adanya tokoh yang bernama Aswattama yang membunuh keturunan Pandawa, dan kemudian akhirnya Aswattama dikutuk oleh Krishna dan diusir, serta migrasi menuju wilayah Barat. Berkaitan ttg tokoh Aswattama yg diusir Sri Krishna hingga ke wilayah Arva-sthan yang merupakan wilayah kaum Mleccha (non-Arya) ini amat penting dikaji. Dalam bhs Sanskrit, istilah Arva-sthan berasal dari gabungan 2 kata kunci yakni Arva (migrasi/berpindah) + sthan (wilayah), coba bandingkan dng sebutan “Hindu-sthan” dalam bahasa Urdu, yang bermakna “wilayah Hindu.” Istilah Hindusthan juga berasal dari gabungan 2 kata kunci yakni Hindu (lembah Hindu/Sindhu) + sthan (wilayah).
Istilah “Arva” ini sepadan dengan istilah bahasa-bahasa rumpun Semit, terutama bahasa Arab dan Ibrani. Dalam bahasa Arab misalnya, muncul kata عرب (‘Arab) dan dalam bahasa Ibrani (Hebrew) muncul juga kata עבר (‘Ever/ ‘Eber) yang kedua istilah Semitic tersebut bermakna “nomad”, “berpindah”, “migrasi” dan “menyeberang.” Intinya istilah Arva atau Arva(n) terkait dng tradisi masyarakat Urban yang meniscayakan komunitas migrasi. Dan dalam kamus bahasa Sanskrit karya Vaman Shivram Apte ‘The Practical Sanskrit – English Dictionary’ (New Delhi: Motilal Banarsidas, 1987) atau pun karya Sir Monier Monier-Williams berjudul “A Sanskrit English Dictionary: Etymologically and Philologically Arranged with Special Reference to Cognate Indo-European Languages” (New Delhi: Motilal Banarsidas Publishers, 2011) ternyata dijelaskan bahwa istilah Arva(n) juga bermakna: “kejam”, “kasar”, “pembunuh.” Hal ini juga dibenarkan oleh pakar embriologi bhs Sanskrit, Made Harimbawa. Jadi Arva-sthan adalah wilayah Arva(n) yakni wilayah “para pembunuh.” Itulah sebabnya Aswattama telah migrasi ke wilayah Arvasthan dan memulai peradaban dan agama baru di sana. Bahkan Aswattama dikutuk hidup sangat lama (chiranjivi) utk memperbaiki kesalahannya dan menuntun anak keturunannya di wilayah “para pembunuh.” Begitu juga sang tokoh dari tradisi Semit yang bernama Kain, dia dikutuk hidup sangat lama utk memperbaiki kesalahannya dan agar dapat menuntun keturunannya di wilayah “para pembunuh.” Cerita yg sangat paralel ini sangat menarik. Kajian teks ini tentu saja akan menjembatani relasi kajian kesastraan yang berkaitan dengan analisis teks dari segi kebahasaan. Dalam konteks ideologi kepengarangan yang berbasis narasi pengisahan ini, apakah sang tokoh yang bernama Kain itu yang menyebarkan teks Semit ke wilayah Arya? Atau sebaliknya, justru sang tokoh yang bernama Aswatama itulah yang menyebarkan teks Arya ke wilayah Semit? Persoalan migrasi teks suci tersebut tergantung dari sudut pandang iman masing-masing.
Berdasarkan pembuktian manuskrip, kitab Mahabharata faktanya memang lebih tua dibanding kitab Torah (Pentateuch). Tulisan tangan tertua dari Taurat itu abad ke-2 SM., yakni manuskrip the Dead Sea Scrolls (naskah Laut Mati), sedangkan manuskrip yang berisi kutipan-kutipan bacaan teks kitab Mahabharata yang termaktub dalam buku gramatika bahasa Sanskrit karya Panini itu ternyata telah ditulis pada abad ke-4 SM. Jadi pastinya teks Mahabharata justru jauh lebih tua atau lebih kuno dari pada teks Torah (Pentateuch/ the Old Testament) karena secara de facto teks Panini ditulis pada abad ke-4 SM.
Bila Abraham lahir sekitar tahun 2165 SM., maka Sri Krishna telah lahir 4000 tahun SM. Jadi dengan demikian agama Hindu lebih tua dibanding agama Yahudi, dan Sri Krishna telah ada sebelum Abraham dilahirkan. Bahkan agama Hindu (Brahmanic religion) telah eksis sebelum kelahiran agama-agama Abrahamik yang disebut Abrahamic religions: Yahudi, Kristen dan Islam. Apalagi fakta membuktikan bahwa cerita mengenai Abraham justru termaktub dalam kitab Torah, kitab yang ditulis oleh Musa yang mana jarak antara Abraham dan Musa sendiri itu ratusan tahun. Jadi penentuan tahun kelahiran Abraham masih spekulatif. Satu-satunya alat bukti yang valid adalah menggunakan analisis terhadap teks TaNaKH (the Old Testaments) itu sendiri melalui kajian linguistik komparatif (filologis), yaitu dengan cara melacak adanya pengaruh kosakata Vedic Sanskrit dan Persia (Arya) dalam bahasa Ibrani Masoret (Semit). Silakan Anda pelajari karya Prof. James Barr dalam karyanya yang berjudul “Comparative Philology and the Text of the Old Testaments (Oxford: Clarendon Press, 1968), khususnya pada hlm. 101 – 111 beliau secara khusus membahas tentang subtema: “Loanwords and Words of non-Semitic Origin.”
Dalam buku saya berjudul “Aryo-Semitic Philology: the Semitization of Vedas and Sanskrit Elements in Hebrew and Abrahamic Texts (Surabaya: Airlangga University Press, 2018) terdapat kajian yang patut dipertimbangkan. Dalam karya riset saya ini hanya sekedar melanjutkan dan memperdalam kajian Prof. James Barr, Ph.D. yang saya fokuskan tentang adanya Sanskrit Loanwords dalam Biblical Hebrew sebagaimana yang termaktub dalam The Old Testaments (Perjanjian Lama). Hal ini semakin mempertegas validitas adanya migrasi teks Arya ke wilayah Semit.
Istilah הדו (Hoddu) dalam kitab TaNaKH (Torah Neviem ve Khetuvim) berbahasa Ibrani, sebagaimana yang termaktub dalam kitab Esther (Sefer Esther) yang ditulis di wilayah tradisi Arya, ternyata term הדו (Hoddu) merupakan istilah kosakata Sanskrit yang ter-Ibrani-kan atau Hebraized Sanskrit term. Dengan kata lain, istilah הדו (Hoddu) merupakan kosakata Judeo-Sanskrit sebagai bentuk Ibranisasi dari kosakata khas keagamaan Hindu dari tradisi Arya yang kemudian diadopsi dalam bahasa Ibrani Masoret (Biblical Hebrew).
Teks keagamaan Hindu bertradisi Arya ini migrasi ke wilayah Semit, maka muncullah kosakata “Hoddu” dalam bahasa Ibrani, yang berasal dari kata “Hindhu” dalam bahasa Sanskrit. Dan, istilah “Hindhu” dalam bahasa Sanskrit itu ternyata juga sepadan dng sebutan “Hindustan” dalam bahasa Urdu. Begitu pula munculnya istilah Ibrani תוכיים (tukiyyim, “parrots”) dalam Perjanjian Lama (the Old Testament) yang termaktub dalam kitab Raja2 (the book of Kings) dan kitab Tawarikh (the book of Chronicles) ternyata asalnya merupakan adopsi dari kosakata Tamil “tukiyyim” (parrots), dan istilah ini ternyata berasal dari kosakata bahasa Sanskrit yakni “sukim” (parrots). Menariknya, dalam kitab Talmud, Bava Batra 15.a.2 disebutkan:
וירמיה כתב ספרו וספר מלכים וקינות
(ve Yermiyahu katav sefero ve sefer Melachim ve Qinot – Jeremias scripsit librum suum et librum Regum et Threnos), yang artinya: “dan Nabi Yeremiyah sendiri yang telah menulis kitab Yeremiyah, begitu juga kitab Raja-raja dan kitab Ratapan.”
Dan fakta historis membuktikan bahwa Nabi Yeremiyah menulis kitab-kitab tersebut di wilayah yang terhegemoni tradisi Arya. Dengan demikian, tidaklah mengherankan bila istilah תוכיים (tukiyyim) merupakan bentuk Ibranisasi dari kosakata Sanskrit (“sukim”) yang bisa disebut sebagai Hebraized-Sanskrit term. Amazing.
Kajian berdasarkan analitis sejarah, linguistik, filologi, sastra, inskripsi, dan agama memang amat menarik untuk ditindaklanjuti. Itulah kewajiban kita para akademisi untuk jujur pada disiplin keilmuan masing-masing.
Footnotes
(Sefer Bereshit/Genesis: A New Translation With A Commentary Anthologized from Talmudic, Midrashic and Rabbinic Sources, Brooklyn: Mesorah Publications, 2009:158)
Berkaitan dengan kitab tafsir dalam tradisi Islam, memang ada dua jenis kitab tentang tafsir. Pertama, kitab yang berisi kumpulan riwayat-riwayat penafsiran yang disandarkan kepada seorang tokoh. Misalnya, kitab tafsir Ibnu Abbas yang berjudul “Tanwir Al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas” (تفسير المقباس من تفسير ابن عباس). Kitab ini berisi kumpulan riwayat-riwayat tafsir yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas. Ibnu Abbas bukanlah penulis kitab tersebut, tetapi orang lain yang bernama Al-Fairuzabadi yang mengkompilasi atau yang mengumpulkan riwayat-riwayat yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas dari beberapa kitab untuk kemudian dikumpulkan menjadi satu kitab. Kedua, kitab yang berisi penafsiran seorang tokoh. Dalam hal ini misalnya, Tafsir ath-Thabari, kitab ini ditulis oleh Imam ath-Thabari sendiri. Tafsir Al-Jalalayn, kitab ini ditulis oleh Imam Jalaluddin as-Suyuthi dan Imam Jalaluddin al-Mahally. Begitu juga kitab Tafsir Ibnu Abi Hatim al-Razy, ditulis oleh Al-Imam Ibnu Abi Hatim al-Razy, dan kitab tafsir ini ternyata sezaman dengan kitab Tafsir ath-Thabari.
Tafsir Muqatil bin Sulaiman ini memang ditulis oleh Muqatil sendiri. Isinya bukan kumpulan riwayat-riwayat tafsir Muqatil yang dikumpulkan oleh orang lain. Kitab tafsir Muqatil bin Sulaiman yang disebut oleh Bambang Noersena dan kemudian diklaim sebagai kitab tafsir yang tertua, maka hal ini perlu dikritisi. Tafsir Muqatil bin Sulaiman memang menyebut nama Ishaq yang akan dijadikan qurban. Namun, apakah kitab tafsir Muqatil bin Sulaiman merupakan kitab tafsir yang tertua? Apakah kitab-kitab tafsir era sezaman dengan Muqatil bin Sulaiman tidak ada satu pun yang menyebut nama Ishmael? Ini merupakan dua hal yang berbeda.
Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H./ 767 M) yang diklaim sebagai ahli tafsir paling awal yang karya utuh kitab tafsirnya masih ada hingga kini, memang secara tegas menyebut Ishaq sebagai “dzabih”, anak yang disembelih oleh Abraham. Namun pada zamannya, Muqatil bin Sulaiman ternyata dikenal sebagai sosok yang diragukan kredibilatasnya oleh banyak pihak, terutama oleh para ulama Ahli Tafsir dan para ulama Ahlul Hadits. Ulama Ahlul Hadits khususnya, semuanya mengatakan bahwa Muqatil bin Sulaiman itu dianggap tidak tsiqah, dan celaan berupa “jarh” senantiasa dialamatkan kepadanya, misalnya Imam Asy’ari menyatakan bahwa Muqatil bin Sulaiman itu seorang mujassimah. Bahkan, Imam adz-Dzahabi men-jarh Muqatil bin Sulaiman karena dia banyak menukil riwayat-riwayat Israiliyat dari kaum Ahlul Kitab ketika menafsirkan ayat Quran, yang narasinya tak sepenuhnya bisa diverifikasi validitas datanya, meskipun menurutnya dianggap sesuai dengan kitab suci Yahudi dan Nasrani. Saya belum menemukan sebuah pernyataan dari para ulama Ahlul Hadits yang men-ta’dil Muqatil bin Sulaiman, tetapi semuanya justru men-jarh Muqatil bin Sulaiman.
Fakta historis justru berbicara lain, mufassir generasi awal, Ibnu Juraij misalnya, ternyata menyebut Ishmael sebagai “dzabih”, anak yang dijadikan qurban oleh Abraham. Tafsir Ibn Juraij justru statusnya lebih otoritarif jika dibandingkan dengan kitab Tafsir Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H./767 M).
Siapakah Ibn Juraij? Ibn Juraij adalah salah seorang perawi hadits dari Imam Bukhari, sebagaimana yang tercatat dalam kitab Shahih-nya. Ibn Juraij dilahirkan pada tahun 80 H., dan meninggal pada tahun 150 H., tepatnya pada usia 150 tahun. Lihat Ibn Sa’ad, Thabaqat, vol 5, hlm. 361-362; Al-Bukhari, Tarikh Al-Awsath, vol. 3/1, hlm. 522-423; Ibn al-Nadzim, Fihrist, hlm. 316; Ibn Abi Hatim al-Razi, Jarh wa at-Ta’dil, vol. 2/2, hlm. 356-359. Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib at-Tahdzib, vol 6, hlm. 402-406. Nama lengkapnya adalah Abdul Malik bin Abdul ‘Aziz bin Juraij. Integritasnya (‘adalah) diakui oleh para kritikus hadits. Keterpercayaannya (dhabth) juga terekam dalam “kutub al-Rijal”. Ali bin Al-Madini (dari Yahya bin Said) berkata bahwa Ibn Juraij lebih terpercaya (atsbat) daripada Malik tentang Nafi’. Ibnu Juraij dalam pandangan Imam Ahmad ibn Hanbal adalah orang yang paling terpercaya tentang riwayat dari ‘Atha’. Lihat Al-Baghdadi, Taeikh Baghdad, vol. 10, hlm. 402. Ahmad (dari Abd ar-Razzaq) berkata: “Saya tidak melihat satu orang pun yang shalatnya lebih baik dari pada shalatnya Ibn Juraij. Lihat Al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, vol. 10, hlm. 403.
Menurut catatan Imam Al-Bukhari dalam karyanya kitab Tarikh al-Awsath, Ibnu Juraij wafat pada tahun 150 H (767 M), dan kredibiltas Ibnu Juraij sangat diakui ke-ta’dil-annya di kalangan ulama Ahlul Hadits di zamannya, hingga zaman Imam Al-Bukhari. Para ulama Ahlul Hadits ternyata berbeda pandangan mengenai kredibilitas keduanya. Meskipun demikian, Muqatil bin Sulaiman dan Ibnu Juraij keduanya hidup di zaman yang sama. Kini, kompilator riwayat tafsir Ibn Juraij adalah Ali Hasan Abd al-Ghaniy, diterbitkan tahun 1992. Menariknya, Tafsir Ibn Juraij ini justru menyebut nama Ishmael sebagai sang putera yang akan dijadikan qurban oleh Abraham. Sejak terbitnya Tafsir Ibnu Juraij yang diterima melalui jalur Hasan bin Muhammad al-Za’farani dari Hajjaj al-Mishshishi, maka klaim otoritas kekunoan kitab Tafsir Muqatil Ibn Sulaiman justru invalid dan dipertanyakan keabsahannya. Bila pada era Muqatil bin Sulaiman dan Ibnu Juraij ternyata ditemukan keragaman pendapat mengenai nama sang putera yang di-qurban-kan oleh Abraham, maka klaim Bambang Noersena tentang adanya wacana tunggal yang hanya merujuk pada nama Ishaq yang muncul pada era awal, maka klaim tersebut menjadi batal. Kini, kitab Tafsir Ibn Juraij juga sudah ditahqiq oleh Dr. ‘Abdurrahman bin Hasan Qa’id, cetakan Dar al-Kamal al-Muttahidah. Oleh karena itu, buku ini sekaligus merupakan bantahan akurat terkait wacana tunggal yang dipaksakan, yakni menggiring opini hanya merujuk pada nama Ishaq saja.
Begitu juga klaim Bambang Noersena berkaitan dengan kekunoan kitab Tafsir ath-Thabari yang dalam kitab tafsir ini disebutkan validitas nama Ishaq sebagai putera yang dijadikan qurban. Menurut Bambang Noersena, kitab tafsir yang berjudul جامع البيان في تاويل القران (Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an) karya Imam Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ath-Thabari adalah kitab tafsir tertua. Klaim ini sebenarnya sangat tidak benar. Klaim kekunoan kitab tafsir karya Imam ath-Thabari (224 – 310 H) ini justru terbantahkan dengan keberadaan kitab tafsir yang lain, yakni kitab تفسير كتاب الله العزيز (Tafsir Kitabillah al-‘Aziz) karya Imam Hud bin Muhakkam al-Huwwari al-‘Ibadi (200 – 280 H). Kitab tafsir ini merupakan kitab tafsir lengkap pertama dan tertua, dan tokoh mufassir ini hidup sezaman dengan Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari (224 – 310 H). Al-Imam Hud bin Muhakkam al-Huwwari al-‘Ibadi umurnya lebih tua 24 tahun dibanding al-Imam Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ath-Thabari, dan Al-Imam Hud bin Muhakkam al-Huwwari al-‘Ibadi wafat pada tahun 280 H., sedangkan al-Imam Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ath-Thabari wafat pada tahun 310 H. Ini merupakan fakta bahwa Al-Imam Hud bin Muhakkam al-Huwwari al-‘Ibadi paling lambat telah merampungkan penulisan karya kitab tafsirnya sekitar 30 tahun sebelum wafatnya Imam ath-Thabari. Menariknya, dalam kitab tafsirnya tersebut, setelah menyebutkan beberapa perbedaan riwayat hadits mengenai siapa yang menjadi “dzabih” maka Imam al-Huwwari lebih menguatkan pandangan bahwa sebenarnya memang Ishmael yang diqurbankan oleh Abraham. Dengan demikian, pada era Abad ke-3 H., wacana tentang nama sang putera yang akan menjadi qurban Abraham justru pendapat yang dominan merujuk kepada Ishmael, bukan Ishaq. Dalam kitab tafsirnya, hlm. 457, beliau berkata:
واحقهم ان يكون اسماعيل هو الذي امرهم بذبحه وهو اوفق لما في القران.
Selain itu, klaim Bambang Noersena terkait kekunoan kitab tafsir karya Imam ath-Thabari itu juga tidak benar, dan justru terbantahkan dengan keberadaan kitab tafsir karya Ibnu Abi Hatim al-Razy. Kitab Tafsir Ibnu Abi Hatim al-Razy adalah kitab tafsir yang keberadaannya sezaman dengan kitab Tafsir ath-Thabari, dan di dalam ulasannya tersebut ternyata Imam Ibnu Abi Hatim al-Razy (854 – 938 M) justru menguatkan nama Ishmael yang dijadikan qurban dengan menyandarkan pandangannya pada pendapat ayahnya, yakni Abu Hatim al-Razy. Dengan pengutipan pendapat yang dikutip oleh Ibn Abi Hatim al-Razy yang mengacu pada pandangan ayahnya sendiri, yaitu Abu Hatim, tentu saja ini merupakan bukti “interne evidenti” bahwa pada masa sebelum era ath-Thabari sudah ada wacana dominan yang menyebut Ishmael sebagai qurban Abraham. Hal ini sekaligus sebagai bukti adanya wacana yang lebih kuno dari pada pandangan yang diwacanakan oleh Imam ath-Thabari pada masanya. Menariknya, demi menyuguhkan adanya wacana yang lebih kuno tersebut, maka pada kitab tafsirnya itu ternyata Imam Ibnu Abi Hatim al-Razy merujuk pada perawi-perawi utama, yakni, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah dan Ibnu Umar.
Sejak era awal pembukuan (tadwin) kitab hadits dan kitab tafsir, nama Ishmael memang lebih diterima secara valid dibanding nama Ishaq. Indikasi ini dapat dicermati melalui banyaknya riwayat hadits yang menyebut Ishmael sebagai anak yang dijadikan qurban oleh Abraham, dan bukan Ishaq. Banyaknya riwayat hadits yang pro-Ishmael, yang tidak sebanding dengan riwayat hadits yang pro-Ishaq, hal ini merupakan fakta bahwa penafsiran tentang “dzabih” yang disematkan kepada Ishaq justru merupakan pendapat minoritas, dan bukan pendapat mayoritas. Adanya kesaksian jumlah hadits yang melimpah, yang mengarah kepada Ishmael sebagai sang “dzabih”, justru semakin membuktikan akurasi dan validitas datanya. Apalagi, riwayat hadits yang pro-Ishaq ternyata “matan” haditsnya menyebutkan nama Sarah dan nama Abraham yang latar/ setting peristiwa qurban itu justru berada di wilayah Mina (Saudi Arabia), dan bukan di wilayah Palestina. Ini jelas narasi teks haditsnya tak bisa diverifikasi dari kajian ilmu “sanad” hadits, tetapi berdasarkan kajian ilmu “matan” hadits ternyata akurasi dan validitas datanya ahistoris.
Pada abad ke-10 M., Imam Ibnu Abi Hatim al-Razy (854 – 938 M) serta Imam ath-Thabari (839 – 932 M) terlibat semacam “perdebatan akademik” terkait kontroversi penafsiran tentang sang “dzabih” (anak yang dijadikan qurban). Imam ath-Thabari usianya memang lebih tua 15 tahun dibanding Imam Ibnu Abi Hatim al-Razy, dan Imam ath-Thabari faktanya wafat lebih awal 6 tahun sebelum wafatnya Imam Ibnu Abi Hatim al-Razy. Kedua ahli tafsir yang sezaman ini mewakili wacana perdebatan akademik berbasis informasi riwayat hadits terkait sang putera yang akan dijadikan qurban oleh Abraham. Pada abad ke-10 M., jumlah riwayat hadits yang pro-Ishmael dan pro-Ishaq sebagai qurban Abraham memang cukup banyak, meskipun jumlah riwayat haditsnya sebenarnya tidak berimbang. Imam ath-Thabari telah mendata beragam pendapat para ulama Salaf terkait mengenai sosok yang dijadikan qurban oleh Abraham. Dalam karya magnum opusnya, “Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an”, Imam ath-Thabari mencatat 17 riwayat hadits yang mengidentifikasi Ishaq sebagai sosok yang dijadikan qurban oleh Abraham. Sebaliknya, Imam ath-Thabari justru mencatat adanya 24 riwayat hadits yang mengidentifikasi Ishmael sebagai “dzabih” (anak yang dijadikan qurban). Meskipun riwayat hadits yang pro-Ishaq dan riwayat hadits yang pro-Ishmael kenyataannya tidak seimbang, Imam ath-Thabari ternyata memilih pendapat yang mengakui Ishaq sebagai sosok yang dijadikan qurban oleh Abraham. Dia berkata: “awla al-qawlain bi al-shawab” (pendapat yang paling mendekati kebenaran di antara keduanya). Dalam hal ini, Imam ath-Thabari tidak bisa memverifikasi validitas riwayat hadits tersebut berdasarkan kajian ilmu hadits, sehingga pertimbangan Imam ath-Thabari memilih Ishaq sebagai “dzabih” didasarkan bukan pada keakuratan periwayatan hadits, tetapi Imam ath-Thabari justru ber-hujjah dengan merujuk pada makna tektual ayat (‘ala dzahir al-tanzil) sebagaimana yang termaktub pada bunyi ayat QS. ash-Shaffat 37:112 yang menyebut secara literal nama Ishaq tersebut. Dengan demikian, kenyataannya Imam ath-Thabari berargumentasi bukan berdasar pada nalar kritik hadits, meskipun rincian redaksional hadits-hadits yang disajikan begitu banyak kutipannya dalam kitab tafsirnya. Bila Imam ath-Thabari penyimpulannya merujuk pada redaksional “dzahir ayat”, maka Imam Ibnu Abi Hatim al-Razy penyimpulannya merujuk pada kesaksian mayoritas jumlah riwayat hadits, dan analisisnya juga merujuk pada ketidakakuratan redaksional “matan hadits” yang mengandung kecacatan “setting” (latar) peristiwa qurban, sehingga beliau menyimpulkan bahwa yang dijadikan qurban adalah Ishmael. Selain itu, riwayat hadits yang dikutip oleh Ibn Abi Hatim al-Razy ialah pandangan ayahnya sendiri, yaitu Abu Hatim al-Razy, yang tentu saja lebih dahulu ada, atau lebih kuno daripada pandangan Imam ath-Thabari. Meskipun keduanya ada perbedaan pendapat, tetapi keduanya hidup sezaman, dan manuskrip Tafsir ath-Thabari serta manuskrip Tafsir Ibnu Abi Hatim al-Razy juga benar-benar sezaman. Meskipun keduanya merupakan kitab tafsir kuno, hal ini tidak ada kaitannya dengan kriteria kekunoaan suatu manuskrip dalam ranah otentisitas suatu karya. Dengan demikian, klaim Bambang Noersena dengan berdasar pada kekunoan Tafsir ath-Thabari demi mendukung opininya, maka hal ini tidak dapat dipertanggunjawabkan validitasnya.
Ada 2 kemungkinan berkaitan dengan data yang sedang saya bahas ini, yakni untuk membincang agenda di balik wacana anggitan Bambang Noersena, pendiri Institute for Syriac Christian Studies (ISCS), yang kini nama organisasinya telah diubah menjadi Institute for Syriac Cultural Studies (ISCS) agar tampilan gerakan misinya terkesan lebih “soft.”
Bambang Noersena sebenarnya mengetahui data-data tersebut, tetapi seolah-olah dia tidak mengetahuinya, dan menganggap seolah-olah data-data tersebut tidak pernah ada.
Bambang Noersena memang benar-benar tidak mengetahui adanya data-data tersebut, sehingga dia mengklaim bahwa Tafsir Muqatil bin Sulaiman dan Tafsir ath-Thabari sebagai 2 kitab tafsir yang paling tua dalam literatur Islam.
Dalam hal ini, Bambang Noersena tidak memiliki kepentingan apapun terhadap interpretasi ttg siapa sebenarnya yang dijadikan qurban oleh Abraham sebagai “dzabih” dalam literatur Islam. Justru hal ini akan menjadi bias bila Bambang Noersena ikut campur terlalu dalam, terutama utk menentukan validitas status hadits-hadits tersebut. Baginya, yang penting adanya bukti terkait hadits-hadits yang menyatakan bahwa yang diqurbankan oleh Abraham itu merujuk pada nama Ishaq. Itu poin pentingnya, dan tidak perlu membahas validitas hadits-nya. Namun, bila wacana itu berkaitan dengan interpretasi tunggal tentang siapa yang dijadikan qurban oleh Abraham sebagai “dzabih” pada generasi awal Islam, maka ini perlu pembuktian, dan saya telah membuktikannya.
Pada abad ke-14 M., perdebatan akademik mengenai riwayat hadits tersebut berdasar pada nalar kritik hadits semakin mengalami kemapanan. Hal ini kemudian dikuatkan dengan kajian riwayat hadits secara akademik yang lebih ketat dan mendalam pada era Imam Ibnu Katsir (w. 774 H./ 1374 M), penulis تفشير القران العظيم (Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzim) yang menyeleksi validitas hadits berdasar pada originalitas sumber periwayatannya, yakni berdasar pada kajian “sanad” hadits dan kajian “matan” hadits. Kajian “sanad” hadits yang dimaksud bukan hanya mengenai ketersambungan mata rantai penyampaian suatu riwayat hadits, tetapi hal ini juga menyangkut kredibilitas para perawi dan sumber awal suatu riwayat. Dalam konteks ini, riwayat yang menyatakan bahwa Ishaq yang di-qurban-kan ternyata mayoritas bersumber dari Ka’ab al-Akhbar. Jadi, pandangan ini ternyata bersumber dari Ka’ab Akhbar sendiri, dan bukan langsung dari Nabi SAW. Bila sanad hadits tersebut bersumber dari sahabat (Ka’ab Akhbar), dan bukan dari Nabi SAW, maka (dari segi sumber riwayat) riwayat termasuk ke dalam jenis riwayat “mauquf” dan tidak jelas asalnya, alias invalid.
Semua riwayat hadits yang pro-Ishaq diverifikasi terkait akurasi dan validitas data haditsnya berdasarkan “externe evidenti” dan “interne evidenti”, terutama hadits yang sumber utamanya berasal dari riwayat Ka’ab al-Ahbar. Menurut Imam Ibnu Kathir (w. 774 H./ 1373 M), murid Ibnu Taimiyah (w. 726 H./ 1328 M), semua riwayat hadits yang berasal dari Ka’ab al-Ahbar terkait hadits “qurban Abraham” ternyata ber-“setting” di wilayah Mina, Saudi Arabia. Ini menurutnya, narasi hadits yang disajikan itu setelah diverifikasi ternyata cacat matan haditsnya, sebab Sarah tidak pernah berada di wilayah Mina, Saudi Arabia, Sarah selamanya berada di Palestina, dan ini dianggap ahistoris, “kidzb wa buhtan” (bohong dan dusta) oleh Imam Ibnu Katsir. Melalui karya Imam Ibnu Katsir di zamannya inilah akhirnya wacana “dzabih” lebih populer merujuk pada nama Ishmael yang dijadikan qurban oleh Abraham. Kepakaran Ibnu Katsir dalam hal kritik hadits ini kemudian menjadikan hadits pro-Ishmael sebagai pijakan pandangan dan pemahaman ortodoksi terkait Ishmael sebagai “dzabihu-Llah”, sang domba Allah yang disembelih.
Berkaitan dengan hadits-hadits yang kontroversial tentang nama sang “dzabih” , yakni sang putera yang akan diqurbankan oleh Abraham, maka hal itu merupakan berdebatan internal umat Islam sendiri, sebagaimana berkaitan dengan nas yang termaktub dalam teks Torah versi Masorah dan versi Samaritan yang kontroversial tentang nama “maqam”, yakni lokasi sakral tatkala sang putera akan diqurbankan oleh Abraham, maka hal itu juga merupakan perdebatan internal bagi umat yang berpegang pada kitab suci Torah, yakni antara umat Yahudi dengan umat Samaritan, dan sekaligus perdebatan antara umat Samaritan dan umat Kristen.
Kitab Hadits merupakan kitab sumber otoritas kedua setelah Quran dalam ajaran agama Islam, sebagaimana kitab Midrash Rabbah sebagai תורה שבעל-פה (Torah she be ‘alphe) merupakan kitab sumber otoritas kedua setelah kitab Chumash sebagai תורה שבכתב (Torah she bichtav) dalam agama Yahudi. Teks matan hadits versi Islam yang berkaitan dengan siapa yang akan dijadikan qurban memang disebutkan adanya 2 versi penyebutan nama, sebagaimana teks midrash agada versi Yahudi juga menyebutkan adanya 2 versi tentang usia sang putera, saat dia akan dijadikan qurban. Bahkan, ada 2 versi kitab Chumash (Torah she bichtav) yang menyebutkan adanya 2 versi nama lokasi atau tempat qurban yang berbeda, sebagaimana yang disebutkan antara versi teks kitab Torah Samaritan dan versi teks kitab Torah Masoret (Masorah).
Jadi, berkaitan dengan identitas nama sang putera yang dijadikan qurban oleh Abraham menurut teks matan hadits, memang ada 2 versi yakni disebutkan nama Ishmael dan nama Ishaq. Meskipun dalam kitab Chumash (Torah she bichtav) tertulis nama Ishaq, tetapi dalam teks midrash agada (Torah she be ‘alphe) ternyata juga disebutkan adanya 2 versi usia Ishaq saat dijadikan qurban, yakni usia 37 tahun dan usia 5 tahun. Bahkan, Torah she bichtav (the Chumash) menyebutkan adanya 2 versi nama lokasi atau nama tempat yang berbeda saat Ishaq akan dijadikan qurban oleh Abraham, yakni tanah Moreh dan tanah Moriah. Dengan kata lain, sebagaimana yang termaktub pada teks versi hadits, yang pertama menyebutkan nama Ishmael, dan yang kedua menyebutkan nama Ishaq. Jadi hadits menyebutkan tentang siapa yang akan dijadikan qurban oleh Abraham memang berbeda-beda, sebagaimana adanya kontroversi tentang umur (usia) Ishaq saat dijadikan qurban oleh Abraham juga berbeda-beda, dan bahkan identitas nama lokasi atau nama tempat saat Ishaq akan dijadikan qurban oleh Abraham juga berbeda-beda. Perbedaan mengenai identitas nama sang putera, keakuratan usia dan identitas nama lokasi terkait peristiwa qurban memang merupakan 3 hal yang amat kontroversial dalam teks kitab Hadits, kitab Chumash (Torah she bichtav) dan kitab Midrash Rabbah (Torah she be ‘alphe). Hal inilah yang tidak dipahami atau sengaja tidak diuraikan oleh Bambang Noersena dalam paparannya.
Bambang Noorsena memang sengaja “menyerang” atau mempersoalkan sisi perbedaan teks matan hadits terkait dengan qurban, sebagaimana yang termaktub dalam kitab Hadits, tetapi Bambang Noersena sengaja “tidak menyerang” atau tidak mempersoalkan sisi perbedaan teks midrash agada terkait dengan qurban, sebagaimana yang termaktub dalam Midrash Rabbah. Bahkan, Bambang Noersena juga “tidak menyerang” atau tidak mempersoalkan sisi perbedaan teks Chumash (Torah she bichtav) terkait perbedaan qurban. Anda bisa melihat perbedaan teks Sefer Bereshit 22:2 antara teks Torah versi Masorah (Masoret) dan teks Torah versi Samaritan; versi pertama menyebut מריה (Moriah), sedangkan versi kedua menyebut מרה (Moreh). Perbedaan penulisan mengacu pada kata/ term מרה (Mem – Resh – Hey) dan term מריה (Mem – Resh – Yod – Hey). Perbedaan penulisan itu ternyata mengacu hanya pada 1 huruf saja, yakni huruf י (Yod). Namun, perbedaan itu bukan sekedar perbedaan dialek dalam tuturan, atau pun perbedaan ortografi dalam penulisan, tetapi justru perbedaan penggunaan huruf י (Yod) tersebut mengacu pada perbedaan makna dan wilayah geografis yang dimaksud. Torah versi Masorah menyebut מריה (Moriah) merujuk pada lokasi sakral di bukit Zion, di kota Yerusalem, wilayah Israel bagian selatan; sedangkan Torah versi Samaria menyebut מרה (Moreh) merujuk pada lokasi sakral di bukit Gerizim, di kota Nablus, wilayah Israel bagian utara. Keberadaan bukit Gerizim ini termaktub dalam Torah versi Samaria dan Torah versi Masorah, dan penyebutan nama kota Nablus di kawasan Moreh tersebut juga termaktub dalam Targum Aravit (Judeo-Arabic Targum), yakni sebuah Targum dan Tafsir tertua versi bhs Arab dalam tradisi agama Yahudi, sebuah karya “magnus opus” dari Rabbenu Saadia Gaon (Rasag). Padahal kota Sikhem dalam teks aslinya yang berbahasa Ibrani justru tertulis עיר שכם (‘ir Shechem), lit. “kota Sikhem.” Meskipun demikian, penyebutan kota Nablus itu merupakan bentuk Arabisasi dari nama kuno kota dari bhs Ibrani, yang disebut kota Sikhem. Lihatlah Targum Aravit karya Rasag, khususnya Sefer Bereshit 33:18 tertulis:
ת'ם ודכ'ל יעקוב סאלמא אלי קריה נאבלס אלתי פי אלבלד כנעאן
“tsumma dakhala Ya’kub saliman ila qaryah Nablus allati fi al-balad Kan’an.” (Kemudian Yakub memasuki dengan selamat menuju ke kota Nablus), see J. Derenbourg. Tafsir al-Tawrah bi Al-‘Arabiyyah: Version Arabe du Pentateuque de R. Saadia ben Iosef Al-Fayyoumi (Paris: Ernest Leroux, Editeour, 1893), pp. 54-55
Abu Al-Hasan Ishaq ash-Shuri, adalah seorang Kahin (Imam) dari agama Israel Samaritan, pemimpin tertinggi kaum Samaria. Abu Al-Hasan Ishaq ash-Shuri telah menerjemahkan kitab suci Torah Samaritan dari bahasa Ibrani ke bahasa Arab. Menurutnya, sebutan kota Nablus merupakan nama Arab dari kota Sechem versi teks Torah Samaritan. Lihat Sefer Bereshit 33:18 teksnya tertulis demikian.
جاء يعقوب سالما الى مدينة نابلس التي في ارض كنعان
“ja-a Ya’kub saliman ila madinah Nablus allati fi ardhi Kan’an.” (Yakub telah datang dengan aman menuju ke kota Nablus yang terletak di tanah Kanaan), see Al-Kahin as-Samiri Abu Al-Hasan Ishaq ash-Shuri. At-Tawrah as-Samiriyyah: Tarjamah min Al-‘Ibraniyyah ila Al-‘Arabiyyah (Al-Qahirah: Dar Al-Jil, 2007), p.68
Dengan demikian, nama kota Sechem dalam bahasa Ibrani memiliki nama Arab dengan sebutan Nablus. Hal ini bukanlah sebuah kesalahan terjemahan yang fatal dari sebuah interpretasi gegabah dari Rabbenu Saadia Gaon. Penyebutan versi Arab tersebut pasti merupakan ingatan kolektif yang diakui bersama yang berasal dari tradisi kaum Yahudi dan kaum Samaria. Bahkan, Imam tertinggi kaum Samaria juga telah memahami nama kota itu dengan sebutan yang sama. Bukti tekstual ini merupakan fakta yang tidak bisa dibantah oleh siapapun.
Kota שכם (Shechem) di kawasan מרה (Moreh) ini bukan hanya dikenal di zaman Yakub, tetapi kota שכם (Shechem) di kawasan מרה (Moreh) ini justru telah dikenal oleh Abraham sejak awal kedatangannya di wilayah Kanaan. Silakan Anda cermati teks Sefer Bereshit 12:6. Menariknya, Rabbenu Saadia Gaon dan Al-Kahin Abu Al-Hasan Ishaq ash-Shuri ternyata sama-sama menerjemahkan sebutan kota Shechem dengan nama Arabnya, yakni kota Nablus. Rabbi Saadia Gaon menerjemahkan demikian.
פטאף אברם פי אלבלד אלי מוצ'ע נאבלוס ואלי מרג' ממרה ואלכנעאני חיניד' כאן מקימא פי אלבלד
“fathafa Abram fi al-balad ila mawdhi’i Nablus wa ila marji mi-Moreh wa al-Kan’ani khinaidzin kana muqiman fi al-balad.” (Abram berjalan melalui negeri itu sampai ke suatu tempat dekat Sikhem, yakni pohon terbantin di Moreh. Waktu itu orang Kanaan diam di negeri itu), see J. Derenbourg. Tafsir al-Tawrah bi Al-‘Arabiyyah. Version Arabe du Pentateuque (Paris: Ernest Leroux, Editeur, 1893), p. 19
Bila dalam kitab Hadits, perbedaan teks merujuk pada perbedaan nama sang putera yang akan dijadikan qurban, justru dalam kitab Chumash (Torah she be bichtav), perbedaan teks merujuk pada perbedaan nama “maqam” atau lokasi atau nama tempat yang akan dijadikan qurban. Mengapa dalam konteks ini Bambang Noersena tidak berbicara secara fair? Bukankah perbedaan nama “maqam” atau nama lokasi tempat qurban lebih substansial utk diperdebatkan atau pun dikritisi dibanding perbedaan nama sang putera Abraham yang akan dijadikan qurban? Perbedaan nama “maqam” tempat qurban Abraham justru menjadi pemicu dan menjadi sebab perbedaan qiblat sebagai arah sembahyang antara kaum Samaria dan kaum Yahudi, dan sekaligus menjadi penyebab perbedaan tempat pelaksanaan qurban sembelihan perayaan Paskah antara kaum Yahudi dan kaum Samaria. Bukankah mereka sama-sama merujuk pada kitab suci yang sama yakni kitab Torah? Bukankah konsekuensi perbedaan nama “maqam” ini lebih fatal dibanding perbedaan nama sang putera Abraham yang akan menjadi qurban? Umat Islam sejak dulu hingga kini memiliki qiblat yang sama, berhaji di tempat yang sama, dan ber-qurban di hari yang sama, dan merujuk pada kitab suci Quran yang sama, meskipun dalam hadits ada penyebutan nama putera Abraham yang berbeda sebagai sang putera yang akan dijadikan qurban. Dengan demikian, hal ini semakin jelas. Umat Islam mentradisikan ibadah qurban di tempat yang sama meskipun nama putera Abraham yang di-qurban-kan disebutkan nama yang berbeda. Sebaliknya, umat Israel mentradisikan ibadah qurban di tempat yang berbeda karena nama “maqam” tempat qurban Abraham disebutkan nama yang berbeda pula, meskipun nama putera Abraham yang di-qurban-kan itu disebutkan nama yang sama. Inilah fakta yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun. Bukankah kitab suci Chumash merupakan bagian dari kitab suci Perjanjian Lama (the Old Testament) bagi agama Kristiani? Mengapa perbedaan teks mengenai identitas nama lokasi atau nama tempat qurban Abraham antara kitab suci Perjanjian Lama dengan kitab suci Chumash (Torah Samaritan) tidak dibedah secara adil dalam pembahasannya kepada publik? Kejujuran merupakan modal intelektual yang niscaya sebagai seorang akademisi.
Ulasan Rabbi Bachya ben Asher dalam Tafsir-nya מדרש רבינו בחיי על חמשה חומשי תורה (Midrash Rabbenu Bachya ‘al Chamisha Chumshe Torah) menjelaskan bahwa tatkala dijadikan qurban, Ishaq telah berusia 37 tahun, dan saat itu dia disebut sebagai הנער (ha-na’ar). Meskipun berdasarkan narasi teks midrash agada ditemukan adanya perbedaan usia tatkala Ishaq dijadikan qurban, tetapi Rabbi Bachya melalui proses selektif, justru lebih condong memilih teks midrash agada yang menjelaskan adanya penyebutan usia Ishaq tatkala dijadikan qurban oleh Abraham, yaitu usia 37 tahun, dibanding usia 5 tahun. Rabbi Bachya dalam hal ini lebih condong pada nas yang termaktub dalam teks Midrash Bereshit Rabbah 56:11, dan Rabbi Bachya juga merujuk pada kitab tafsir tertua berbahasa Ibrani atas kitab Bereshit, ditulis oleh Rabbi Eliezer pada Abad ke-1, dan karyanya kemudian dikenal dengan judul Pirke Rabbi Eliezer. Silakan Anda memeriksa kitab Pirke Rabbi Eliezer pasal 31 (Yerushlayim: Eschol, hlm. קד).
בן שבע ושלשים שנה היה יצחק בלכתו אל הר המוריה
“Ben sheba’ u-sheloshim shanah hayah Yitzhaq belachto el har ha-Moriyyah …. “
“Sang putera yakni Ishaq telah berusia 37 tahun tatkala dia pergi ke puncak gunung Moria …”
Sebaliknya, Rabbi Ibn Ezra dalam kitab tafsirnya atas kitab Torah sangatlah menarik. Dia justru menolak otoritas kedua narasi dari teks midrash agada terkait usia Ishaq tatkala dia dijadikan qurban oleh Abraham. Rabbi Ibn Ezra mengatakan:
“Our sages, of blessed memory, say that Isaac was 37 years old at the time of binding. If this be a tradition, we will accept it. However, from a strictly logical point of view it is unacceptable. If Isaac was an adult at that time, then his piety should have been revealed in Scripture and his reward should be double that of his father for willingly having submitted himself to be sacrificed. Yet Scripture says nothing concerning Isaac’s great self-sacrifice. Others say that Isaac was 5 years old at the time of his binding. This, too, is unacceptable, since Isaac carried the wood for the sacrificial pyre. A child of five would be unable to carry that much wood. It thus appears logical to assume that Isaac was close to 13 years old and that Abraham overpowered him and bound him against his will. Proof of this can be seen from the fact that Abraham hid his intention from Isaac and told him, “God will provide Himself the lamb for a burnt-offering, my son (Bereshit 22:8). Abraham knew that if he said: “You are to be the burnt-offering,” Isaac would quite possibly have fled”, see Bereshit 22:4
Dengan demikian, penjelasan teks midrash agada terkait versi usia Ishaq 37 tahun atau pun versi usia Ishaq 5 tahun, keduanya ternyata ditolak oleh Ibn Ezra sebagai teks midrash agada yang shahih. Dia mengatakan bahwa anak yang akan dijadikan qurban itu pasti usia 13 tahun dan ini terkait dengan nalar yang valid. Faktanya, semua kitab Miqraot Gedolot le-Chumash, pasti memuat Tafsir Rashi dan Tafsir Ibn Ezra, dan kitab Tafsir Ibn Ezra ini dijadikan rujukan otoritatif oleh semua komunitas Yahudi Aschenazim. Bahkan, komunitas Yahudi Sephardim menganggap kitab Tafsir Ibn Ezra sebagai kitab tafsir yang otoritatif dan kitab ini juga dianggap sebagai kitab tafsir tertua atas kitab Chumash (Torah she bichtav), tentu saja berdampingan dengan kitab Tafsir Rasag. Bagi kaum Yahudi Aschenazim, mereka merujuk pada kitab Tafsir Rashi dan kitab Tafsir Ibn Ezra, sedangkan bagi komunitas Yahudi Sephardim, mereka merujuk pada kitab Tafsir Rasag dan kitab Tafsir Ibn Ezra. Dengan demikian, kitab Tafsir Ibn Ezra memiliki posisi amat penting dalam pemikiran Rabbinik bagi semua komunitas Yahudi.
Ada hal yang sangat menarik berkaitan dengan pentingnya usia 5 tahun dan usia 13 tahun dalam tradisi Yahudi, sehingga signifikansi usia tersebut termaktub dalam kitab Torah (Bible), kitab Midrash Bereshit Rabbah, dan kitab Talmud. Dalam kitab Talmud disebutkan demikian:
“Jehudah ben Tama used to say: “At the age of 5 one is ready to study the Bible, at 10 to study the Mishnah, at 13 to observe the Commandments (Mitzvoth), at 15 to study the Talmud, at 18 to get married, at 20 to start earning a livelihood, at 30 to enter into one’s full strength, at 40 to show discernment, at 50 to give counsel, at 60 to start feeling old, at 70 to turn white, at 80 for travail and trouble, at 90 for senility; and at 100 … for death”, see Lewis Browne. The Wisdom of Israel: An Anthology (New York: the Modern Library, 1945), p. 184
Sefer Bereshit 17:25-26 menyebutkan demikian:
“Dan Ishmael, anaknya, berumur 13 tahun ketika dikerat kulit khatannya. Pada hari itu juga Abraham dan Ishmael, anaknya, disunat.”
Kitab Sefer Bereshit 17:25 menyatakan bahwa Ishmael mendapatkan ברית מילה (B’rit Milah) melalui kewajiban sunat saat dia berumur 13 tahun, dan pada saat usia 13 tahun itulah Ishmael mulai disebut sebagai “son of the Commandments” yang dalam bahasa Ibrani disebut בר מצוה (bar Mitzvah), yang menunjukkan usia kematangan keagamaan sang putera. Dalam agama Yahudi mengenal adanya 613 mitzvoth, dan dalam Sefer Hachinuch, mitzvoth urutan yang ke-2 adalah kewajiban bersunat, yakni מצות מילה (mitzvoth Milah). Dalam konteks ini, Ishmael disunat oleh Abraham dengan tangannya sendiri, sesuai kesaksian nas kitab suci (Sefer Bereshit 17:23). Jadi usia 13 tahun bukanlah usia yang tidak memiliki makna apapun, tapi justru ketepatan usia 13 tahun bagi Ishmael merupakan usia “penanda” yang sangat signifikan menurut midrash halacha, sebagaimana penjelasan yang termaktub dalam kitab Talmud.
Dalam teks Sefer Bereshit (Genesis) 18:7 juga disebutkan nas yang demikian:
“Lalu berlarilah Abraham kepada lembu sapinya, dia mengambil seekor anak lembu yang empuk dan baik dagingnya dan diserahkan kepada bujangnya , lalu orang ini segera mengolahnya.”
Istilah “bujangnya” dalam versi Alkitab terjemahan bahasa Indonesia terkait teks Sefer Bereshit 18:7 memang bermasalah. Alkitab versi berbahasa Ibrani, teks aslinya tertulis אל הנער (el ha-na’ar). Rashi menjelaskan זה ישמעעאל (zeh Yishmael), lit. “ini adalah Ishmael”, לחנכו במצות (le hannecho be mitzvoth), lit. “Instruct him in performance of religious Commandments.” Rashi dalam hal ini mengutip teks midrash agada yang shahih, sebagaimana yang termaktub dalam Midrash Bereshit Rabbah 48:13. Dalam hal ini, mengapa Rashi dalam penjelasannya mengaitkan Ishmael dengan mitzvoth (commandments)? Apakah ini juga terkait dengan penanda usia Ishmael yang saat itu berumur 13 tahun, yang disebut sebagai “bar-mitzvah”? Silakan Anda merenungkannya. Menariknya lagi, berdasarkan pada nas Sefer Bereshit 18:7 tersebut, Rasag (Rabbi Saadia Gaon) juga memahami frase אל הנער (el ha-na’ar) dalam bahasa Ibrani tersebut diterjemahkan menjadi אלי אלג’לאם (ila al-ghulam), sebagaimana yang tertulis dalam Targum Aravit-nya, yakni Judeo-Arabic Targum. Mengapa Rasag menyebut dengan sebutan אלג’לאם (al-ghulam) terkait ayat yang termaktub dalam Sefer Bereshit 18:7 tersebut? Ini merupakan fakta tekstual bahwa Rasag memang benar-benar memahami sosok yang dimaksud pada ayat ini memang merujuk kepada Ishmael – bukan kepada yang lain – meskipun teks bahasa Ibraninya menyebut dengan istilah הנער (ha-na’ar). Rasag juga pasti telah membaca dua kitab utama dalam tradisi agama Yahudi, yakni kitab Midrash Bereshit Rabbah dan kitab Pirke Rabbi Eliezer yang menjelaskan siapa sebenarnya הנער (ha-na’ar) yang dimaksud pada ayat tersebut. Fakta membuktikan bahwa kitab Midrash Bereshit Rabbah dan kitab Pirke Rabbi Eliezer justru menegaskan nama Ishmael. Itulah sebabnya, Rabbi Saadia Gaon menggunakan istilah אלג’לאם (al-ghulam), yang bermakna “sang putra” (sang anak) pada teks Sefer Bereshit 18:7. Dengan demikian, Rabbi Eliezer, Rabbenu Saadia Gaon, Rashi, dan Rabbenu Ibnu Ezra semuanya telah sepakat mengenai sosok yang dimaksud pada ayat Sefer Bereshit 18:7 ternyata mengacu kepada Ishmael, dan bukan kepada anak yang lain, apalagi mengacu kepada orang lain. Itulah sebabnya Abraham tidak menyembelihnya sendiri anak lembu tersebut, tetapi menyerahkannya kepada Ishmael, sang puteranya sendiri, utk menyembelihnya. Hal ini bertujuan agar Ishmael dapat melaksanakan mitzvoth ke-5 dari antara 613 mitzvoth, yakni kewajiban מצות שחיטת (mitzvoth Sechithot), menyembelih binatang sebagai seorang Suchat sesuai aturan hukum.
Selain itu, ada hal yang lebih penting lagi terkait dengan qurban Abraham, yang menurut saya sangat serius utk diperbincangkan dalam ranah lintas iman. Pada Sefer Bereshit 22:3 ternyata Abraham membawa 2 bujangnya. Siapakah yang dimaksud kedua bujang Abraham tersebut? Kitab utama dalam tradisi agama Yahudi, yakni kitab Midrash Bereshit Rabbah dan kitab Tafsir Rabbi Eliezer ternyata menyebut 2 nama, yakni Eliezer dan Ishmael. Ringkasnya, kitab Tafsir Rabbi Eliezer sebagai kitab tafsir tertua dalam tradisi agama Yahudi, ternyata menyebutkan nama Ishmael sebagai sosok yang juga dibawa serta oleh Abraham untuk melaksanakan perintah qurban tersebut. Menariknya, Rabbi Saadia Gaon ben Yosef menerjemahkan ג’לאמיה (ghulamayhi), lit. “dua anaknya.” Ini merupakan fakta penting yang tidak dapat ditolak oleh akademisi manapun bahwa istilah “bujang” pada versi Alkitab terjemahan bahasa Indonesia yang merujuk pada nas Sefer Bereshit 22:3 itu justru mengacu kepada Ishmael yang disebut sebagai “ghulam” (anak) oleh Rabbenu Saadia Gaon. Jadi, Ishmael adalah pribadi istimewa yang juga terlibat dalam peristiwa qurban Abraham tersebut. Menariknya, Rabbenu Saadia Gaon menyebut Ishaq dengan sebutan אבנה (ibnahu), lit. “anaknya”, bukan dengan sebutan ג’לאמה (ghulamahu), lit. “anaknya”, lihat Targum Aravit 22:3. Yang lebih menarik lagi, QS. ash-Shaffat 37:2 ayatnya berbunyi:
فبشرنه بغلام حليم
“maka Kami berikan kabar gembira kepadanya atas kelahiran ghulam (anak) yang penyantun.”
Dengan demikian, Tafsir Rasag atas teks Bereshit 22:3 yang menyebut dengan sebutan ג’לאם (ghulam) kepada Ishmael, ternyata ada kesejajaran dengan sebutan غلام (ghulam) yang merujuk kepada anak yang akan dijadikan sebagai qurban oleh Abraham menurut teks Quran, lihat QS. ash-Shaffat 37:2.
Dengan demikian, jika Rabbi Ibn Ezra lebih condong pada batasan usia 13 tahun tatkala sang putera dijadikan qurban, ini merupakan indikasi kuat bahwa peristiwa qurban itu sebenarnya tertuju kepada Ishmael saat usianya mencapai usia bar Mitzvah, yakni usia 13 tahun; dan peristiwa ini pasti terjadi sebelum Ishaq dilahirkan. Ketepatan usia sebagai “bar Mitzvah” sangat penting bila dikaitkan dengan peristiwa qurban, karena Ishmael disuruh Abraham menyembelih anak lembu ternyata Ishmael saat itu juga berumur 13 tahun, dan sesuai catatan kitab suci, saat itu Ishaq faktanya belum dilahirkan (Sefer Bereshit 18:7-15.
1. Ishmael disunat usia 13 tahun. 2. Ishmael disembelih usia 13 tahun. 3. Ishmael menyembelih usia 13 tahun.
Tafsir al-Jalalayn juga menyebutkan batas minimal usia بلغ (balagha) itu 13 tahun, dan pada usia 13 tahun inilah sang putera akan dijadikan qurban. Hal itu sebagaimana pembahasan QS. ash-Shaffat 37:102 yang memuat penafsiran ayat فلما بلغ معه السعي (fa lamma balagha ma’ahu as-sa’ya), khususnya membahas makna kata بلغ (balagha): قيل سبع سنين وقيل ثلاث عشرة سنة (qila sab’a sinin wa qila stalasta ‘ashrah shanah), lit. “dikatakan: 27 tahun dan 13 tahun.” Jadi, pengertian بلغ (balagha) dalam Tafsir al-Jalalayn itu ada yang merujuk pada batas usia 13 tahun, dan ada juga yang merujuk pada batas usia 27 tahun.
Berkaitan dengan hadits-hadits yang kontroversial tentang nama sang “dzabih” , yakni sang putera yang akan diqurbankan oleh Abraham, maka hal itu merupakan berdebatan internal umat Islam sendiri, sebagaimana berkaitan dengan nas yang termaktub dalam teks Torah versi Masorah dan versi Samaritan yang kontroversial tentang nama “maqam”, yakni lokasi sakral tatkala sang putera akan diqurbankan oleh Abraham, maka hal itu juga merupakan perdebatan internal bagi umat yang berpegang pada kitab suci Torah, yakni antara umat Yahudi dengan umat Samaritan, dan sekaligus perdebatan antara umat Samaritan dan umat Kristen. Selain itu, berkaitan dengan peristiwa qurban Abraham, memang ada ikhtilaf antara teks kitab suci Torah dengan teks kitab suci Quran. Menurut teks Quran, peristiwa qurban Abraham itu terjadi sebelum Ishaq dilahirkan, sesuai nas QS. ash-Shaffat 37:102-111, sedangkan berita gembira tentang kelahiran Ishaq diceritakan pada ayat QS. ash-Shaffat 37:112. Sebaliknya, menurut teks Torah, peristiwa qurban Abraham itu terjadi setelah kelahiran Ishaq, sesuai nas Sefer Bereshit 21:1-7; Sefer Bereshit 22:1-18. Namun, ada pertanyaan yang sulit terjawab:
1. Bukankah perintah qurban itu diwahyukan oleh TUHAN kepada Abraham tatkala ia berada di Bersyeba, wilayah negeri orang Filistin? Sefer Bereshit 21:33-34
2. Hagar dan Ishmael berada di Bersyeba, wilayah kawasan Paran. Sefer Bereshit 21:14
3. Bukankah setelah pelaksanaan qurban tersebut Abraham kembali lagi ke Bersyeba dan tinggal di Bersyeba? Sefer Bereshit 22:19.
4. Bukankah Abraham selama hidupnya tidak pernah berada di Bersyeba, kecuali saat sebelum dan setelah peristiwa perintah qurban?
5. Bukankah selama hidupnya Sarah tidak pernah berada di Bersyeba?
6. Sarah akhirnya meninggal di Kiryat Arba, kota Hebron, wilayah negeri orang Kanaan, dan Abraham datang dan meratapinya di sana. Sefer Bereshit 23:1-2. Jadi, Sarah meninggal dunia di Hebron, dan Abraham datang meratapinya di sana. Kita tentu akan bertanya. Pertama, Abraham datang darimana? Kedua, mengapa Sarah meninggal?
Pertama, Rashi menjelaskan: ויבו אברהם (vay-yavo Avraham), lit. “and Abraham came”, מבאר שבע (mib-Beer-sheva’), lit. “from Beer-sheba” לספד לשקה ולבכתה (li sephod le Sarah we livkotah), lit. “to eulogize Sarah and to bewail her. Penjelasan Rashi ini menegaskan bahwa Abraham datang dari Bersyeba menuju ke Hebron.
Kedua, Rashi menjelaskan: ונסמכה שרה לעקדת יצחק (we nismechah mitat Sarah le’aqdat Yitzhaq), “Sarah’s death is juxtaposed with the binding of Isaac.” Penjelasan Rashi ini juga menegaskan bahwa Sarah tidak pernah berada di Bersyeba, tempat Hagar dan Ishmael. Dan Sarah meninggal akibat “berita tentang perintah qurban” tsb. Itu artinya, saat turun perintah qurban, Abraham sedang berada di Bersyeba dan Sarah tidak bersama-sama dengan Abraham di Bersyeba. Dan, setelah melaksanakan perintah qurban itu, Abraham ternyata tidak kembali ke Hebron, tetapi justru kembali ke Bersyeba. Bukankah Sarah tidak sedang berada di Bersyeba? Siapa yang sedang berada di Bersyeba? Abraham kembali ke Hebron dari Bersyeba justru tatkala Sarah meninggal dunia.
Dengan demikian, siapakah sebenarnya sang putera yang diqurbankan oleh Abraham? Silakan Anda menjawab sendiri.