Islam Agama Peradaban

Saat ini di Indonesia telah terjadi sikap beragama dan cara memahami agama yang makin menggerus nalar sehat kita. Daya intelektualitas diberangus dalam beragama, dan nalar kita mulai tumpul tatkala kita memahami teks-teks agama. Ada ketakutan akut di antara kita karena khawatir ada pelabelan bid’ah dan liberal yang akan disematkan kepada siapapun yang mencoba memahami teks agama dengan iman dan nalar. Parahnya, iman dikontraskan dengan nalar. Nalar dijauhkan dari umat dan kaum terpelajar. Wacana keislaman dibatasi soal bid’ah atau sunnah, sorga atau pun neraka. Bahkan, wacana keislaman hanya dipahami secara parsial dan ahistoris. Kini, Islam hanya dipahami sebagai agama ritual. Padahal Islam seharusnya dipahami sebagai agama peradaban. Kini, umat hanya disibukkan hanya pada tema soal-soal ritual. Kini, umat hanya disibukkan dengan pertentangan soal penerapan fiqh yang benar dan yang tidak benar. Upaya pelabelan Ahlus Sunnah dan Ahlul Bid’ah seakan menjadi tema emas yang senantiasa disemaikan di tengah-tengah umat tanpa batas. Umat pun mulai terprovokasi untuk mendakwa yang bukan kelompoknya sebagai pelaku bid’ah.

Kini umat hanya diarahkan dan berkutat pada soal ini sunnah atau bid’ah. Sebaliknya, umat tidak diarahkan dan dibekali dengan arahan untuk membangun peradaban Islam di masa depan. Parahnya, kejayaan peradaban Islam juga dilupakan seakan tak ada beban. Dan lebih parah lagi, kita diajarkan untuk memisahkan antara ilmu agama dan ilmu non-agama. Bahkan lisan kita pun terbiasa berhujjah dengan berkata: “Lebih baik kita konsentrasikan anak-anak kita shalat di shaf terdepan dari pada terdepan di olimpiade matematika atau sains lainnya.” Bukankah pola pikir seperti ini merupakan sebuah kemunduran? Bukankah ini sebuah pemahaman yang sekuler yang mencoba memisahkan antara agama dan sains? Bukankah kitab suci Al-Quran justru berkata: “Afala ta’qilun?” Apakah kalian tidak berakal? Bukankah gerakan Muhammadiyah sejak awal justru berslogan: “Islam berkemajuan.” Apakah kita telah melupakan amanat Quran dan slogan Muhammadiyah itu? Bukankah Quran itu spirit kita dan Muhammadiyah itu gerakan cara beragama kita dalam mengembangkan peradaban Islam? Kini, tradisi keilmuan mana yang akan kita kembangkan?

Dalam sejarahnya, tradisi keilmuan khas Saudi Arabia memang tidak pernah bersentuhan dengan sains. Sebaliknya, tradisi keilmuan khas Andalusia sangat familiar dan sejak awal senantiasa bersentuhan dengan sains. Kini, tradisi keilmuan khas Saudi Arabia amat menjamur di Indonesia, tapi tradisi keilmuan khas Andalusia sangat nihil dan tidak digubris perannya di Indonesia. Padahal karya-karya keulamaan yang dipelajari di pesantren Indonesia justru berakar dan berasal dari tradisi keulamaan Andalusia. Kita pasti tidak asing dengan kitab-kitab ini di Indonesia, misalnya kitab Alfiyah Ibn Malik, kitab al-Jurumiyah dan kitab Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Bukankah kitab-kitab itu semuanya diajarkan di pesantren-pesantren di Indonesia? Bukankah ini merupakan bukti secara de facto tentang adanya jaringan keulamaan antara Andalusia hingga Indonesia sejak masa lalu? Ini merupakan jejak tradisi akademik khas Andalusia di Indonesia yang tidak bisa dimarginalkan atau pun dilupakan oleh siapapun.

Keseimbangan tradisi keilmuan khas Andalusia dan tradisi keilmuan khas Saudi Arabia di Indonesia itu perlu. Kini, biarlah keseimbangan itu terjadi secara alami. Silakan kita mengambil peran masing-masing. Bila saya mengambil peran utk menawarkan alternatif tradisi keilmuan khas Andalusia, maka itu sebuah pilihan. Bila Anda mengambil peran utk menawarkan tradisi keilmuan khas Saudi Arabia, itu pun juga sebuah pilihan. Namun, saya memilih langkah kongkrit itu sebagai sebuah upaya penyeimbang sekaligus sebagai pelengkap tradisi keilmuan Saudi Arabia yang telah mapan di Indonesia. Hal ini saya lakukan agar wacana peradaban Islam di Andalusia dapat menyebar atau pun bangkit di Indonesia dan Asia Tenggara sebagaimana zaman keemasan di Andalusia pada masa Abad Pertengahan. Dulu peradaban Eropa hanya menyibukkan diri dan hanya berkutat dengan ilmu skolastik teologia agama Kristiani semata, sains tak pernah mereka ketahui. Namun, di saat yang sama, kita di Asia Tenggara, justru berkutat dengan paduan ilmu agama dan sains Islam, maka lahirlah “Undang-undang Malaka” (Malaka Laws), “Arsitektur Jawa”, “Perubatan Melayu” (Malay Medicine), dan sebagainya. Kala itu, bahasa Latin dijadikan sebagai bahasa lingua franca di kawasan Eropa. Namun, pada saat yang sama, bahasa Jawi yang dikenal dengan aksara Arab-Melayu justru telah menjadi bahasa lingua franca di Asia Tenggara. Barat saat itu hanya paham agama dan tidak mengenal sains, sedangkan kita di Asia Tenggara telah memahami agama dan sains. Tidak salah bila dalam literatur Arab klasik, kita di Asia Tenggara disebut dengan sebutan sebagai اصحاب الجاوين (Ashab al-Jawiyyin). Apakah kita tidak bangga dengan prestasi kita ini? Apakah kita tidak bangga dengan sebutan khas yang disematkan oleh bangsa Arab kepada kita tersebut? Kita di Asia Tenggara telah mengalami zaman keemasan sebelum memasuki era penjajahan. Janganlah kita melupakan jati diri kita. Apalagi bila kita telah melupakan peranan serta spirit Islam Andalusia di Indonesia.

Ahmad Baso, penulis “Islam Nusantara: Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Indonesia” (2015) pernah berkata: “Islam Andalusia akhirnya bubar setelah nama besar Ibnu Rusyd, Ibnu Arabi dan Ibnu Khaldun dilupakan oleh umat Islam. Kaum Yahudi dan kaum Kristen di Andalusia justru melanjutkan untuk “ngaji” pemikiran dan membaca kitab-kitab tulisan Ibnu Rusyd. Akhirnya, Islam direbut oleh para politisi, hingga kalah dan terusir dari bumi Andalusia (Spanyol). Islam Indonesia bakal bernasib sama dengan Islam Andalusia ketika nama besar Wali Songo dilupakan oleh mereka. Penganut agama lain juga mulai “ngaji” warisan Wali Songo. Khazanah intelektual Islam di Nusantara yang brilian lalu dilupakan. Kemudian, berbicara Islam pun akhirnya direbut oleh para politisi.”

Politisi kini mulai berjubah agama, dan berbicara atas nama Islam dan tentang Islam. Islam dipolitisasi, dan kita tak mampu membedakan ini Islam itu sendiri atau tipuan atas nama Islam. Agamawan diinisiasi supaya hanya ahli dan berbicara hanya soal yang bid’ah dan yang syar’i. Peradaban Islam dilupakan dan dikebiri, dan akhirnya lambat laut Islam menjadi mati di bumi pertiwi, Indonesia sejati. Umat Islam pun banyak yang murtad akibat tidak merasa bangga dan mengenal sejatinya Islam Madani. Mungkinkah ini akan terjadi? Silakan Anda merenungkan sendiri.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s