Islam Agama Peradaban

Saat ini di Indonesia telah terjadi sikap beragama dan cara memahami agama yang makin menggerus nalar sehat kita. Daya intelektualitas diberangus dalam beragama, dan nalar kita mulai tumpul tatkala kita memahami teks-teks agama. Ada ketakutan akut di antara kita karena khawatir ada pelabelan bid’ah dan liberal yang akan disematkan kepada siapapun yang mencoba memahami teks agama dengan iman dan nalar. Parahnya, iman dikontraskan dengan nalar. Nalar dijauhkan dari umat dan kaum terpelajar. Wacana keislaman dibatasi soal bid’ah atau sunnah, sorga atau pun neraka. Bahkan, wacana keislaman hanya dipahami secara parsial dan ahistoris. Kini, Islam hanya dipahami sebagai agama ritual. Padahal Islam seharusnya dipahami sebagai agama peradaban. Kini, umat hanya disibukkan hanya pada tema soal-soal ritual. Kini, umat hanya disibukkan dengan pertentangan soal penerapan fiqh yang benar dan yang tidak benar. Upaya pelabelan Ahlus Sunnah dan Ahlul Bid’ah seakan menjadi tema emas yang senantiasa disemaikan di tengah-tengah umat tanpa batas. Umat pun mulai terprovokasi untuk mendakwa yang bukan kelompoknya sebagai pelaku bid’ah.

Kini umat hanya diarahkan dan berkutat pada soal ini sunnah atau bid’ah. Sebaliknya, umat tidak diarahkan dan dibekali dengan arahan untuk membangun peradaban Islam di masa depan. Parahnya, kejayaan peradaban Islam juga dilupakan seakan tak ada beban. Dan lebih parah lagi, kita diajarkan untuk memisahkan antara ilmu agama dan ilmu non-agama. Bahkan lisan kita pun terbiasa berhujjah dengan berkata: “Lebih baik kita konsentrasikan anak-anak kita shalat di shaf terdepan dari pada terdepan di olimpiade matematika atau sains lainnya.” Bukankah pola pikir seperti ini merupakan sebuah kemunduran? Bukankah ini sebuah pemahaman yang sekuler yang mencoba memisahkan antara agama dan sains? Bukankah kitab suci Al-Quran justru berkata: “Afala ta’qilun?” Apakah kalian tidak berakal? Bukankah gerakan Muhammadiyah sejak awal justru berslogan: “Islam berkemajuan.” Apakah kita telah melupakan amanat Quran dan slogan Muhammadiyah itu? Bukankah Quran itu spirit kita dan Muhammadiyah itu gerakan cara beragama kita dalam mengembangkan peradaban Islam? Kini, tradisi keilmuan mana yang akan kita kembangkan?

Dalam sejarahnya, tradisi keilmuan khas Saudi Arabia memang tidak pernah bersentuhan dengan sains. Sebaliknya, tradisi keilmuan khas Andalusia sangat familiar dan sejak awal senantiasa bersentuhan dengan sains. Kini, tradisi keilmuan khas Saudi Arabia amat menjamur di Indonesia, tapi tradisi keilmuan khas Andalusia sangat nihil dan tidak digubris perannya di Indonesia. Padahal karya-karya keulamaan yang dipelajari di pesantren Indonesia justru berakar dan berasal dari tradisi keulamaan Andalusia. Kita pasti tidak asing dengan kitab-kitab ini di Indonesia, misalnya kitab Alfiyah Ibn Malik, kitab al-Jurumiyah dan kitab Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Bukankah kitab-kitab itu semuanya diajarkan di pesantren-pesantren di Indonesia? Bukankah ini merupakan bukti secara de facto tentang adanya jaringan keulamaan antara Andalusia hingga Indonesia sejak masa lalu? Ini merupakan jejak tradisi akademik khas Andalusia di Indonesia yang tidak bisa dimarginalkan atau pun dilupakan oleh siapapun.

Keseimbangan tradisi keilmuan khas Andalusia dan tradisi keilmuan khas Saudi Arabia di Indonesia itu perlu. Kini, biarlah keseimbangan itu terjadi secara alami. Silakan kita mengambil peran masing-masing. Bila saya mengambil peran utk menawarkan alternatif tradisi keilmuan khas Andalusia, maka itu sebuah pilihan. Bila Anda mengambil peran utk menawarkan tradisi keilmuan khas Saudi Arabia, itu pun juga sebuah pilihan. Namun, saya memilih langkah kongkrit itu sebagai sebuah upaya penyeimbang sekaligus sebagai pelengkap tradisi keilmuan Saudi Arabia yang telah mapan di Indonesia. Hal ini saya lakukan agar wacana peradaban Islam di Andalusia dapat menyebar atau pun bangkit di Indonesia dan Asia Tenggara sebagaimana zaman keemasan di Andalusia pada masa Abad Pertengahan. Dulu peradaban Eropa hanya menyibukkan diri dan hanya berkutat dengan ilmu skolastik teologia agama Kristiani semata, sains tak pernah mereka ketahui. Namun, di saat yang sama, kita di Asia Tenggara, justru berkutat dengan paduan ilmu agama dan sains Islam, maka lahirlah “Undang-undang Malaka” (Malaka Laws), “Arsitektur Jawa”, “Perubatan Melayu” (Malay Medicine), dan sebagainya. Kala itu, bahasa Latin dijadikan sebagai bahasa lingua franca di kawasan Eropa. Namun, pada saat yang sama, bahasa Jawi yang dikenal dengan aksara Arab-Melayu justru telah menjadi bahasa lingua franca di Asia Tenggara. Barat saat itu hanya paham agama dan tidak mengenal sains, sedangkan kita di Asia Tenggara telah memahami agama dan sains. Tidak salah bila dalam literatur Arab klasik, kita di Asia Tenggara disebut dengan sebutan sebagai اصحاب الجاوين (Ashab al-Jawiyyin). Apakah kita tidak bangga dengan prestasi kita ini? Apakah kita tidak bangga dengan sebutan khas yang disematkan oleh bangsa Arab kepada kita tersebut? Kita di Asia Tenggara telah mengalami zaman keemasan sebelum memasuki era penjajahan. Janganlah kita melupakan jati diri kita. Apalagi bila kita telah melupakan peranan serta spirit Islam Andalusia di Indonesia.

Ahmad Baso, penulis “Islam Nusantara: Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Indonesia” (2015) pernah berkata: “Islam Andalusia akhirnya bubar setelah nama besar Ibnu Rusyd, Ibnu Arabi dan Ibnu Khaldun dilupakan oleh umat Islam. Kaum Yahudi dan kaum Kristen di Andalusia justru melanjutkan untuk “ngaji” pemikiran dan membaca kitab-kitab tulisan Ibnu Rusyd. Akhirnya, Islam direbut oleh para politisi, hingga kalah dan terusir dari bumi Andalusia (Spanyol). Islam Indonesia bakal bernasib sama dengan Islam Andalusia ketika nama besar Wali Songo dilupakan oleh mereka. Penganut agama lain juga mulai “ngaji” warisan Wali Songo. Khazanah intelektual Islam di Nusantara yang brilian lalu dilupakan. Kemudian, berbicara Islam pun akhirnya direbut oleh para politisi.”

Politisi kini mulai berjubah agama, dan berbicara atas nama Islam dan tentang Islam. Islam dipolitisasi, dan kita tak mampu membedakan ini Islam itu sendiri atau tipuan atas nama Islam. Agamawan diinisiasi supaya hanya ahli dan berbicara hanya soal yang bid’ah dan yang syar’i. Peradaban Islam dilupakan dan dikebiri, dan akhirnya lambat laut Islam menjadi mati di bumi pertiwi, Indonesia sejati. Umat Islam pun banyak yang murtad akibat tidak merasa bangga dan mengenal sejatinya Islam Madani. Mungkinkah ini akan terjadi? Silakan Anda merenungkan sendiri.

Islam Agama Peradaban Vs Agama Ritualistik

Mengapa Menggunakan Huruf “x” untuk Sesuatu yang Tidak Diketahui?

Akhir-akhir ini banyak anak-anak muda generasi milenial mulai terpaut hatinya dengan ISLAM. Fenomena ini menarik; mereka belajar Islam melalui Youtube atau medsos dan juga mengikuti ta’lim/ kajian eksklusif. Apakah ini salah? Tidak ada yang salah dalam hal ini. 

Saya hanya memperingatkan kepada mereka bahwa Islam tidaklah sesederhana yang kita pahami; realitas pemahaman ulama tentang Islam telah ada dalam berbagai mazhab Islam, yang melintas batas zaman dan generasi. Pemahaman ulama tentang Islam begitu kaya dan beragam ijtihad, dan fakta ijtihad itu termaktub dalam berbagai kitab-kitab mazhab. Islam itu satu, sekaligus Islam itu beragam. Maksudnya, Islam itu satu manhaj, sekaligus beragam mazhab. Dengan kata lain “beda mazhab, satu Islam.” Ketika kita menyatakan bahwa “Islam tidak bermazhab”, maka pada saat itu kita telah membatasi Islam dan sekaligus menyatakan sebuah korpus tertutup sebagai “the other”, yakni sebuah “mazhab yang tanpa mazhab.” 

Islam itu kaya dengan mazhab, ada mazhab Hanafi, ada mazhab Maliki, ada mazhab Syafi’i, dan ada mazhab Hambali, ke-4 mazhab inilah yang dapat disebut sebagai mazhab ortodoks; dan ada juga yang kini dikenal sebagai mazhab “tanpa mazhab.” Itulah yang disebut sebagai mazhab protestan, yang lebih mengedepankan pada gerakan puritan. Jadi tatkala kita menolak sebuah mazhab yang telah ada, dan sekaligus menihilkan sebuah mazhab, maka pada saat yang sama kita telah menciptakan sebuah mazhab baru, yakni “mazhab bi la mazhahib” (artinya: mazhab yang tak bermazhab), dan itulah yang disebut sebagai mazhab “tanpa mazhab” atau lebih tepatnya disebut mazhab protestan. Inilah fakta era sekarang dalam dunia Islam, tentang adanya keberagaman dalam bermazhab, bukan keseragaman dalam bermazhab. Adanya mazhab ortodoks dan adanya mazhab protestan dalam mengamalkan fiqh merupakan sebuah keniscayaan dalam bermazhab yang berdasar pada semangat ukhuwah (toleransi antarmazhab). Jangan Anda terkesima dengan sekedar jargon “Kembali pada Qur’an dan Sunnah”, dan yang lain dianggap salah; dan kemudian mencaci maki mazhab yang lain; atau mencaci mazhab ortodoks. Jangan Anda menguras energi dan membahas sebuah tema yang sudah “basi.” Jangan Anda mengulang-ulang perdebatan fiqh masa lalu, yang sebenarnya sudah disikapi secara toleran di antara berbagai ulama mazhab. Jangan Anda bertengkar soal anjing itu najis atau tidak najis, babi itu najis atau tidak najis. Dalam mazhab Maliki misalnya, “anjing itu suci dan tidak najis”, sebaliknya dalam mazhab Syafi’i pandangannya berbeda, “anjing itu najis.” Ini merupakan contoh kongkrit tentang adanya ikhtilaf yg sangat diametral di antara para ulama mazhab fiqih. Kita boleh saja berbeda dalam beberapa hal yang tidak kita sepakati. Namun, tidak bisakah kita bersaudara dalam banyak hal yang kita sepakati?

Pemahaman mazhab fiqh Maliki yang memandang anjing itu tidak najis, ini merupakan pengalaman langsung saat saya dulu di Rabat, Marocco tahun 2014. Apakah Anda tidak mau shalat berjamaah dengan seorang Muslim dari kalangan mazhab Maliki karena mereka menurut Anda telah “terkena najis anjing” bertahun-tahun? Sejak dulu kenajisan anjing telah diperselisihkan oleh para ulama mazhab, sedangkan mengedepankan keluhuran akhlak telah disepakati oleh seluruh ulama mazhab. Anda jangan egois mazhab, dan tidak perlu saling mencela, yang penting kita arif bijaksana. Orang Eropa kebanyakan bermazhab Maliki, karena kebiasaan orang Eropa memelihara anjing dan sangat dekat dengan anjing. Pada bulan Mei – Juni 2019 kemarin, saya ada di Tokyo, Jepang. Orang di sana sangat hemat air tatkala berwudhu, dan kaki dibasuh dengan sedikit air, kemudian diusap dengan handuk, atau cukup kaos kaki diusap saja; tidak seperti di sini, air kran mengucur deras. Mungkin ini pengaruh mazhab Hanafi dan mazhab Maliki yang kebanyakan orang Turki, Pakistan dan Marocco yang tinggal di Jepang. Persoalan perbedaan pandangan fiqh begini sudah tuntas dibahas oleh ulama-ulama kita terdahulu. Anda tinggal membaca kitab-kitab lintas mazhab di berbagai perpustakaan. Justru yang bermasalah itu Anda sendiri, karena memang sebenarnya Anda memang tidak suka membaca. Tradisi literasi Anda benar-benar lemah, tradisi iqra’ Anda benar-benar “parah”, dan wajar bila Anda mudah marah ketika pemahaman orang lain berbeda arah dengan Anda. Pondok pesantren GONTOR saja mengajarkan fiqh lintas mazhab, dan kitab-kitab fiqh berbagai mazhab tersedia di perpustakaan GONTOR. Sekali lagi, jangan membuat orang lain tertawa atas kegaduhan di antara kita, yang sebenarnya pertengkaran itu merupakan tema klasik yang sudah dibahas tuntas oleh para ulama mazhab. Kini kita sekarang bukan hidup di zaman purba, tetapi kini kita hidup di zaman milenium yang berhadap-hadapan dengan melejitnya sains. Bacalah misalnya kitabnya Ibnu Rushd (Averroes) yang berjudul ” Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid”, Anda akan menemukan berbagai macam jawaban atas tema klasik perbedaan mazhab itu; dan tidak perlu tema usang itu diulang-ulang lagi di Youtube, seakan ini merupakan tema fresh dan baru; padahal tema usang yang mengandung banyak alternatif jawaban. Inilah justru penyebab kegaduhan karena tanpa alternatif jawaban. Persoalan kesadaran pemahaman lintas mazhab ini penting; dan fenomena ini baru pada tahapan sederhana, yakni ISLAM pada tataran fiqh, tataran ritualistik; ISLAM sebagai agama ritualistik. 

Kini saatnya Anda berubah. Belajarlah Islam secara benar. ISLAM sebagai agama peradaban; bukan hanya belajar Islam sebagai agama ritualistik. Camkanlah bahwa peradaban Barat mengakui bahwa ternyata Islam itu benar-benar sebagai “Agama Peradaban”, yang mengguncang kesadaran Barat pada kesadaran sains; tanpa Islam maka mereka tidak mengenal apa-apa.

Tahukah Anda, mengapa huruf “x” digunakan untuk sesuatu yang tidak diketahui? Tahukah Anda, mengapa karya Jabir ibn Hayyan – seorang ulama sekaligus ilmuwan – diterbitkan di Roma pada tahun 1490 M. oleh E. Sieber? Versi berbahasa Latin dari karya Jabir ibn Hayyan baru terbit pada tahun 1668 M., dengan judul “Gebri Arabis Chimia sive Traditio Summae Perfectionis et Investigatio Magisterii.” Karya tersebut diterbitkan kembali pada tahun 1928 M. oleh E.J. Holmyrad dengan judul “Great Arab Alchemist from Seville.”

Silakan di-share thread ini kepada siapapun, terutama para pendidik (guru/dosen), agar informasi ini dapat diteruskan kepada anak-anak kita. Mudah2an mereka akan menjadi generasi toleran lintas mazhab, dan dapat mengembangkan sains demi kemuliaan Islam ke depan. Amin.

Aryo-Semitic Philology: the Semitization of Vedas and Sanskrit Elements in Hebrew and Abrahamic Texts

Shalom ‘aleychem
Assalamu ‘alaykum

My book “Aryo-Semitic Philology: the Semitization of Vedas and Sanskrit Elements in Hebrew and Abrahamic Texts” (Airlangga University Press, 2018) was appreciated by International scholars. To promote an Interfaith Dialogue, I really want to publish this book in Indonesian version. 

This marks an amazing beginning of the brotherhood among Moslems, Jews, Christians and Hindus. Indonesia is the largest Moslem country in the world and the largest Hindu community outside of South Asia, and the largest Jewish heritage of Southeast Asia. I hope this book will be a golden bright in dialogue among them in the light of Unity in Diversity – Bhinneka Tunggal Ika.

Torah's Hidden Message: Muhammad ﷺ and Jesus (ع) in the Light of Gematria (Part III)

Where do we find the Torah’s hidden messages? Arba’ah Turim is the basis of the Sulchan Aruch; but Ba’al ha-Turim is the basis of the hidden messages of Torah. Ba’al ha-Turim found them in gematria (number patterns), acrostics, formations of letters, and Scriptural word patterns.

The gematria is the famous Rabbinic interpretative technique which it depends on the numerical value of Hebrew letters. Therefore, Gematria is a computation of the numeric value of letters, secret alphabets, or substitution of letters for other letters. Sefer Bereshit (Genesis) 12:6 also represents a computation of the numeric value of letters which so-called the gematria, especially on the use of the Hebrew term אז (az) literally meaning “at that time. ”

ויעבר אברם בארץ עד מקום שכם עד אלון מורה והכנעני אז בארץ

Vay-ya’avor Avram ba aretz ‘ad meqom Shechem ‘ad elon Moreh ve ha-Kana’ani az ba aretz (Sefer Bereshit 12:6).

“Abraham passed into the land as far as the site of Shechem until the plain of Moreh, the Canaanites were then in the land.”

Midrash ha-Gadol notes that the gematria (numerical value) of the Hebrew term אז (az) literally means “at that time” it equals 8, the intimation being that the Canaanites would be in the land until Abraham’s eighth generation when the land would be conquered by his descendants, Abraham – Isaac – Jacob – Levi – Kehath – Amram – and Moses equal 7 generations. Joshua, the eighth generation would conquer the land [1].

After that, G-d also said to Abraham in the Sefer Bereshit (Genesis 17:5-6).

ולא יקרא עוד את שמך אברם והיה שמך אברהם כי אב המון גוים נתתיך. והפרתי אתך במאד מאד ונתתיך לגוים ומלכים ממך יצאו.

Ve lo yiqqare ‘od et shimcha Avram ve hayah shimcha Avraham ki av hamon goyim netatticha. Ve hifreti ot’cha be-meod meod u-netatticha le goyim u-melachim mim-mecha yetzeu.

“You shall no longer be called by your name Abram, but your name shall be Abraham, for I have made you the father of a multitude of nations. I will make you most exceedingly fruitful, and make nations of you and kings shall descend from you.”

There are 2 key-phrases in the Sefer Bereshit 17:5-6, God said to Abraham about a heavenly covenant.

  1. The phrase אב המון (av hamon) literally means “father of a multitude” and the gematria of this phrase is 208, the same as that of יצחק (Yitzhaq), lit. name of Isaac [2].  Interestingly, there is a phrase ותהר רבקה אשתו (ve tahar Rivkah ishto), lit. “and his wife, Rebecca conceived” in the Sefer Bereshit 25:21. The gematria of אשתו (ishto), “his wife” is really refering to the wife of Isaac, and the Hebrew word אשתו (ishto) is also equal to that of קש ואש (qesh ve esh), lit. “straw and fire”, 707. Both Hebrew terms refer to Esau and Jacob about whom it is written: והיה בית יעקב אש (ve hayah beyt Ya’akov esh) lit. “and the house of Jacob shall be a fire”, ובית עשו לקש (u-beyt Esau le qesh) lit. “and the house of Esau for straw” (Obadiah 1:18). Obviously, the gematria of this word אשתו (ishto) is 707, the same as that of קש ואש (qesh ve esh), 707 [3].
  2. The phrase במאד מאד (be-meod meod) literally means “most exceedingly fruitful”, and the gematria of this phrase is 92, the same as that of מחמד (Mahammad), lit. name of the prophet Muhammad SAW. The numeric value of both במאד מאד and מחמד is equal, 92. Compare the phrase במאד מאד (be-meod meod), “most exceedingly” in the Sefer Bereshit 17:20 with the phrase הבה נתחכמה (habah nitchakkemah), “come, let us outsmart”, in Sefer Shemot 1:10. The gematria of במאד מאד (be-meod meod), “most exceedingly” is 92, the same as that of מחמד (Muhammad), “most preciously”, 92. That is to say that Ishmael will beget Muhammad, the offspring from among the twelve princes, שנים עשר נשיאם (sheneim ‘ashar nesi’im), lit. “the twelve princes.” Also, the gematria of הבה (habah), “come” is 12. That is to say, Pharaoh said: “Let us outsmart the twelve (tribes)” [4].

Obviously, the gematria of the phrase במאד מאד (be-meod meod), “most exceedingly” is 92. It is equivalent to that of the name מחמד (Muhammad), 92. The phrase is really referring to a name, the offspring of Ishmael. It is possible in the episteme of Hebraic gematria. The phrase כי מן הבאר ההוא (ki ha-be’er hahiv), lit. “for from that well” in the Sefer Bereshit 29:2 has the same code, it also really referring to a name, the offspring of Jacob. The gematria of the phrase (345) is equal to that of משה (Moshe), lit. “Moses (the prophet)” [5].  It teaches us that Moses is a spiritual well of God for Israelites. Similarly, the phrase גוי וקהל גוים יהיה ממך (goy u-qehal goyim yihyeh mim-mecha), “a nation and congregation of nations shall descend from you” (Sefer Bereshit 35:11) is also referring to both names, the offspring of Jacob. The gematria of the phrase (349) is equivalent to that of both names ירבעם ויהוא (Yerobeam ve Yehu), lit. “Jerobeam and Jehu”,  is 349 [6].

This verse consistently presents itself as fulfilling a propecy and a promise made by God in the Sefer Bereshit, in the Torah. It also proves that the genealogy of the prophet Muhammad ﷺ through his grandmother, Salma binti Amr, the daughter of Exilarch, the Resh Geluta, the house of King David. Obviously, the prophet is really the son of Isaac through the prophet’s grandmother, Salma binti Amr, the wife of Hashim bin Abd Manaf. Al-Mutthalib bin Abd Manaf himself had children from a Jewish woman of the people of Khaybar – wulida min Ahl Khaybar (Ibn Habib’s kitab al-Munammaq). He married this woman, namely Asma’ binti Abdullah. Hashim married Salma binti Amr an-Najjar clans, the noble woman, and this marriage became by far his most important one since Salma gave birth to Abd al-Mutthalib, the grandfather of the prophet, see Michael Lecker. A Note on Early Marriage Links between Quraishis and Jewish Women. Jerusalem Studies in Arabic and Islam [7].

Not only the prophet Muhammad ﷺ as the son of Isaac through his grandmother; Jesus is also the son of Isaac because the genealogy of Jesus through his mother, Mary. Muhammad ﷺ and Jesus are similar, but not exatcly the same. The phrase אב המון (av hamon), “father of a multitude” represents to Abraham, see Sefer Bereshit 17:4 “You shall be a father of a multitude of nations.” The gematria of the phrase is 208, the same as that of the name of יצחק, Isaac; so also the phrase of במאד מאד (be-meod meod), “most exceedingly fruitful” represents to Abraham, see Sefer Bereshit 17:6 “I will make you most exceedingly fruitful.” The gematria of the phrase is 92, the same as that of the name of Muhammad ﷺ; not to Jesus (Yeshu). The gematria of ישו (Yeshu) is 316. Therefore the gematria of the promise במאד מאד (be-meod meod) lit. “exceedingly fruitful” is not equal to that of ישו (Yeshu).

Obviously, according to the Jewish Law (Halacha), Muhammad ﷺ and Jesus are Jews through a grandmother or a mother. Similar but not exactly the same. Muhammad ﷺ is a legitimate child, but Jesus is an illegitimate child. RAMBAM in his Iggeret ha-Teyman wrote:

ותחלת מי שמצא זה הדעד היה ישו הנוצרי שחוק עצמות. והוא מישראל, ואף על פי שהיה אביו גוי ואמו ישראלית, העיקר בידינו גוי ועבד הבא על בת ישראל הולד כשר. וזה נקרא אצלנו ממזר להפליג בחרפתו.

u-techillat mi shemmatza za hadda’at – hayah Yeshu han-Notzri shechuq ‘etzmot. Ve hu mi Yisrael, ve af ‘al phi shehayah aviv goy ve immo Yisraelit – ha’aqqar be yadenu goy ra’eved habba ‘al bet Yisrael havvelad kosher, ve za niqra tezlanu mamzer le haflig be cherphato.

“The first one who devised this plan was Yeshu of Nazareth may his bones be crushed. He was a Jew because his mother was Jewish, although his father was a gentile. Our Law states that a child born of a Jewish woman and a gentile, or of a Jewess and a slave is a kosher Jew (Yebamot 45a). We only call Jesus a mamzer – illegitimate child in a manner of speaking” [8].

David H. Stern, from a movement of Messianic Judaism also confirms that the Jewish and non-Jewish descent are invariably traced through the mother, not the father. The child of a Jewish mother and a Gentile father is Jewish; the child of a Gentile mother and a Jewish father is a Gentile [9].  Also, Pinchas Lapide said: “the “Toledoth Yeshu” neither denies the historicity of Jesus, nor conceals his his miracles and cures, nor questions his Jewishness – for rabbinical Law states that every son of a Jewish mother is a Jew” [10].

Meanwhile, in other verse, the Sefer Bereshit (Genesis) 17:20 there is a key-verse as follows:

ולישמעאל שמעתיך הנה ברחתי אתו והרביתי אתו במאד מאד שנים עשר נשיאם יוליד ונתתיו לגי גדול.

Ve le Yishmael shema’ticha hinneh berachti oto ve hifreiti oto ve hirbeiti oto be-meod meod sheneim ashar Nesi’im yolid u-netattiv le goy gadol.

“But regarding Ishmael I have heard you, I have blessed him, made him fruitful and will increase him most exceedingly; he will beget 12 princes and I will make him into a great nation.”

This verse also proves that HASHEM also made a heavenly covenant to Abraham through the use of Hebrew term במאד מאד (be-meod meod), literally means “most exceedingly fruitful” with reference to the descendant of Ishmael himself. Similarly, the gematria of the promise במאד מאד (be-meod meod) which is to refer to the Ishmaelite one of the verse is equal to that of מהמד (Muhammad). And the numeric value of both terms is equal, 92. The verses indicate that the prophet Muhammad ﷺ is also the son of Ishmael through his great grandfathers. Interestingly, the gematria of the Hebrew name ישמעאל (Yishmael) is 451; it is equal to that of both Hebrew names אברם (Abram), 243 dan הגר (Hagar) 208. Obviously, the gematria of ישמעאל (Yishmael) is 451, the same as that of אברם והגר (Abram ve Hagar), 451.

Meanwhile, there is also the use of gematria in the Gospel of Matthew. St. Matthew begins with the genealogy of Jesus in order to show that he meets the requirements set by the TaNaKH (Torah Nevi’im ve Khetuvim) for who Jesus must be a descendant of David through the Jewish interpretative technique which depended on the numerical value of Hebrew letters, דוד (David). The name David, the 14th name in the list consists of 3 Hebrew consonants, דוד (Dalet-Vav-Dalet), the numerical value of which are respectively 4, 6, and 4; giving a total of 14, and 14 is thus the symbolic number of דוד (David). For a reader of Matthew’s Greek gospel to recognize any such numerical symbolism would have to depend on quite a sophisticated awareness of Hebrew numeroloy. There is certainly evidence for gematria in Jewish and early Christian writings, sometimes involving Hebrew letters, sometimes Greek, but usually it is signaled by an explicit link drawn between the letters and their numerical value. St. Matthew has made no such explicit connection, and it can be at best a matter of conjecture whether he intended or would have recognized it [11].

St. Matthew makes a list of Jesus’ genealogy with many omitted Biblical names (Matthew 1:1-17). St. Matthew marginalizes many names to prove the link with the gematria of the name דוד (David) which it is 14. For him, all the generations from Abraham to David are 14 generations; and from David untill the carrying away into Babylon are 14 generations; and from the carrying away into Babylon unto Jesus are 14 generations, but this is really a broken gematria. Also, the gematria of דוד (David), 14 is not equal to that of ישו (Yeshu), 316.

Footnotes:

  1. See Rabbi Meir Zlotowitz. Sefer Bereshit: A New Translation with A Commentary Anthologized from Talmudic, Midrashic and Rabbinic Sources (New York: Mesorah Publications, ltd., 2009), p. 438.
  2. See Rabbi Nosson Scherman. Ba’al ha-Turim Chumash (New York: Mesorah Pulications, Ltd., 2013), p. 128.
  3. See Rabbi Nosson Scherman. Ba’al ha-Turim Chumash (New York: Masorah Publications, Ltd., 2013), p. 209.
  4. See Rabbi Nosson Scherman. Ba’al ha-Turim Chumash. Sefer Shemos (Brooklyn, New York: Mesorah Publications, Ltd., 2010), p. 517.
  5. See Rabbi Nosson Scherman. Ba’al ha-Turim Chumash (Broklyn, New York: Mesorah Publications, 2013), p. 261.
  6. see Rabbi Nosson Scherman. Ba’al ha-Turim Chumash. Bereshit (Brooklyn, New York: Mesorah Publications, Ltd., 2013), p. 321.
  7. JSAI 10 (Jerusalem: the Hebrew University of Jerusalem, 1987), pp. 24-29
  8. See Abraham S. Halkin. Moses Maimonides’ Epistle to Yemen: the Arabic Original and the Three Hebrew Versions. Edited from Manuscripts with Introduction and Notes (New York: American Academy for Jewish Research, 1952), p. 13.
  9. See David H. Stern. Jewish New Testament Commentary. A Companion Volume to the Jewish New Testament (Clarksville, Maryland: Jewish New Testament Publications, 1992), p. 281.
  10. See Pinchas Lapide. Israelis, Jews and Jesus (Garden City, New York: Doubleday & Company, Inc., 1979), p. 76
  11. See R.T. France. The Gospel of Matthew. The New International Commentary on the New Testament (Cambridge, UK: William B. Eerdmans Publishing Company, 2007), p. 31

The Qurbana Qadisha / ‘Idul Qurban / ‘Aqedah Yitzhaq

Shalom ‘aleychem
Assalamu ‘alaykum

The Quran (הקראן) and Torah (מקרא) are the heavenly texts of HASHEM. Both have the same episteme.

Mikra, Sefer Bereshit 12:10

ויהי רבע בארץ וירד אברם מצימה

Va yehi ra’av be eretz va yered Avram Mitzreyemah ….”

” There was a famine in the land, and Abram descended to Egypt …..”

Quran in Arabic, Al-Baqarah 2:61

اهبطوا مصرا فان لكم ما سالتم

” …. Ihbithu Mishra fa inna lakum ma sa’altum.”

” …. descend to Egypt and there you will find what you have asked for.”

Quran in Hebrew, Al-Baqarah 2:61

לכו ירד מצרימה ומצאתם שם את אשר שאלתם

” ….. lechu yered Mitzrayemah u-metzetem shem et asher she’elthem ….. ”

” … go down to Egypt and there you will find what you have asked for.”

The Quranic term اهبطوا (ihbithu), is a unique, meaning ” go down ” or ” dencend to.” This Arabic term is to refer to the geographical setting, from the upland to the lowland. And based on this verse, the word اهبطوا (ihbithu) is to migrate from the higher terrain of Canaan to the lowland as another place, Egypt.

Meanwhile, the Masoretic term ירד (yered) is exactly the same, indeed similar in Hebrew lexicon. The Hebrew term ירד ( yered) means ‘went down’ or ‘ descended to ‘ is the usual term used in the Torah for the pessage from the higher terrain of Canaan. The journey to Canaan is always referred to as עלה (‘oleh), meaning ” going up.” Thus, Egypt land is the lowland in the light of the Quran and the Torah.

Based on both Scriptures, I have to say to you all that Egypt is a lowland in an academic paradigm. Avraham avinu ‘alayv ha-shalom descended to Egypt, and Moshe rabbenu ‘alayv ha-shalom order to the b’ney Yisrael to descend to Egypt.

Baruch HASHEM

Photo: interfaith community (YIPC), discussing the Qurbana Qadisha (Christianity), ‘Idul Qurban (Islam), ‘Aqedah Yitzhaq (Judaism). All Abrahamic faiths celebrate the symbols, and to practise the symbols. August 4th 2017, Surabaya

TYI di Festival Naskah Nusantara

Dalam rangka memperingati Bulan Gemar Membaca dan Hari Kunjung Perpustakaan pada September ini, Perpustakaan Nasional (Perpusnas) menggandeng Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manasa) menggelar Festival Naskah Nusantara, tanggal 26 September hingga 29 September 2016 lalu.

Indonesia memiliki ribuan naskah kuno dengan beragam aksara dari berbagai daerah. Naskah kuno tersebut  merefleksikan peradaban dan kebudayaan lokal yang pernah digunakan oleh berbagai etnis dan suku bangsa di Indonesia.

Kita memiliki naskah kuno seperti Negarakertagama, Sutasoma, dan Serat Centini, serta memiliki ribuan naskah kuno dari berbagai daerah yang juga memiliki kandungan nilai luhur tentang jati diri bangsa Indonesia. Naskah kuno tersebut dapat disaksikan pada Festival Naskah Nusantara II, di Perpusnas yang beralamat di Jalan Salemba Raya Nomor 28A, Jakarta Pusat.

Kepala Perpusnas Muh Syarif Bando mengatakan, naskah-naskah kuno itu sangat penting untuk dilestarikan. Sebab, aksara-aksara dalam naskah kuno menjadi jembatan penghubung antara masa lalu, hari ini, dan era yang akan datang. Juga untuk melihat bagaimana sejarah bangsa Indonesia pada masa lampau.

“Pelestarian ini penting untuk melihat bagaimana menciptakan sejarah hari ini untuk kita bisa pelajari pada hari esok. Dan, tidak ada yang bisa menceritakan tentang perjalanan panjang sejarah kecuali melalui naskah yang tercipta pada zamannya. Jadi, filosofinya bahwa kalau Anda mau berdiri tegak hari ini, maka Anda tidak bisa tidak ditopang dengan sejarah masa lalu. Begitu juga kalau Anda mau sukses pada masa datang, Anda tidak akan melupakan hari ini,” kata Syarif, usai membuka acara Festival Naskah Nusantara 2016 bertema Aksara Identitas Bangsa: Meneguhkan Jatidiri Kebhinnekaan Indonesia, di Gedung Perpusnas, Jalan Salemba Raya 28 A Jakarta Pusat, Senin, 26 September 2016.

Begitu berharganya naskah kuno, Syarif mengibaratkannya seperti harta karun yang harus dilestarikan dan diperkenalkan kepada masayarakat. Sebab, di dalam naskah kuno terkandung pesan moral, ajaran, dan nilai-nilai luhur ketimuran bangsa Indonesia yang diakui di seluruh dunia.

“Ketika hari ini kita diserbu media sosial yang kemudian generasi kita menjadi sangat dangkal daya analisisnya, maka potensi terjadinya benturan, perpecahan, bahkan perbedaan pendapat untuk saling hujat, saling fitnah di media sosial itu sangat mungkin. Oleh karena itu, kita berharap, dengan pameran ini kita  kembali instropeksi, bagaimana leluhur kita membangun suatu kekuatan dengan ajaran-ajaran yang mengandung nilai sangat tinggi,” ujar Syarif.


Proses digitalisasi naskah kuno dapat disaksikan pada Festival Naskah Nusantara II, di Perpusnas (Foto:Metrotvnews.com/Pelangi Karismakristi)

Menilik pentingnya naskah kuno, Perpusnas hingga saat ini masih terus menelusuri dan mengumpulkan naskah kuno yang tersebar di seluruh nusantara. Bahkan berada di luar negeri, seperti Belanda, Inggris dan Prancis. Ada juga yang disimpan menjadi koleksi pribadi. Keberadaan manuskrip tersebut terancam punah karena tidak dirawat dengan baik oleh pemiliknya, maupun faktor lingkungan seperti bencana alam.

“Maka dari itu di kami (Perpusnas) akan memaksimalkan upaya untuk menelusuri naskah-naskah yang masih ada di masyarakat dan berusaha untuk memperolehnya. Baik melalui pertukaran, pembelian, atau reproduksi. Usaha pelestarian naskah kuno dilakukan juga melalui alih Bahasa dan alih aksara. Tujuan kami agar  naskah itu  tidak punah oleh berjalannya waktu,” kata Syarif menjelaskan.
menachem-aliPentingnya melestarikan naskah kuno juga diamini oleh Menachem Ali, seorang filolog (ahli bahasa, kebudayaan, pranata, dan sejarah  bangsa yang terdapat dalam bahan tertulis) yang juga pendiri komunitas The Yeshiva Institute. Ali menyadari kondisi manuskrip itu kuno dan tidak banyak orang yang berminat mempelajarinya. Hal ini berkaitan erat dengan keterbatasan aksara dan bahasa yang tidak semua orang bisa memahaminya.
“Ini merupakan masalah besar. Sementara, pengetahuan nenek moyang kita dalam berbagai hal sudah tersimpan rapi dalam sebuah dokumen yang disebut manuskrip. Kalau tidak dimanfaatkan, maka  akan kehilangan jati diri kita sebagai bangsa,” tutur Ali, yang gemar berburu manuskrip dan buku langka sejak 2009.


Naskah kuno dipamerkan pada Festival Naskah Nusantara II di Perpusnas (Foto:Metrotvnews.com/Pelangi Karismakristi)

Dalam naskah kuno banyak nilai-nilai penting yang bila dipelajari, dapat diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa. Misalnya, tentang konsep kepemimpinan pada zaman kerajaan, panduan kepemimpinan, bagaimana kaitan agama dengan politik, bahkan bidang farmasi pun dapat ditemukan dalam naskah kuno.

“Festival Naskah Nusantara sebetulnya sarana awal untuk memperkenalkan kepada publik, bagaimana kita memahami diri melalui manuskrip, supaya kita bisa mengembangkan peradaban kita. Ini sebetulnya peradaban yang sudah terpendam tapi diungkap kembali, supaya kita bisa berjalan ke depan menyusuri sejarah yang akan kita buat, dalam rangka meperkokoh jati diri bangsa. Terutama pengenalan sebagai bangsa yang akrab dengan tradisi literasi,” ujar Ali.

Pada Festival Naskah Nusantara tahun ini, Perpusnas memamerkan naskah dalam berbagai aksara dan bahasa, serta menggelar workshop pembuatan kertas tradisional dari daluwang dan lontar, konservasi naskah, penulisan aksara kuno nusantara, pertunjukan musik tradisional, lomba pembuatan film animasi berdasarkan naskah Negarakertagama, Babad Diponegoro, dan Cerita Panji. Ada juga symposium  internasional pernaskahan nusantara dengan menghadirkan pembicara ahli dari British Library, Leiden University, Cologne University, Hamburg University, EFEO Paris, UI, UGM dan PPIM-UIN.

Sementara, naskah yang dipamerkan selain Negarakertagama dan Sutasoma, ada Babad Diponegoro, Maulid Nabi, La Galigo, Babad Blambangan, Bomakawya, Pustaha Laklak, Panji Angraeni, Babad Tanah Jawi, Arjunawiwaha, Lontarak Pabura, Surek Baweng, Naskah Batak, Sanghyang Siksa Kandang Karesian, dan lainnya.


Pengunjung praktik menulis di atas lontar (Foto:Metrotvnews.com/Pelangi Karismakristi)

Ada yang menarik perhatian banyak pengunjung, yakni di booth workshop penulisan naskah dengan lontar. Di sana, pengunjung juga bisa langsung mempraktekkan menulis di atas lontar dan hasil tulisannya pun boleh dibawa pulang. Caranya cukup mudah, dan jangan takut salah sebab sudah ada pemandu yang akan mengarahkan pengunjung yang penasaran ingin menjajalnya.

“Cukup dengan menulis menggunakan alat yang disebut pangrupa, kemudian agar bisa terlihat, nanti akan dioles menggunakan kemiri yang dibakar kemudian dibersihkan dengan tisu. Setelah itu, baru lontar akan dijalin dengan benang yang dikaitkan dengan penjepit,” jelas pemandu Dwi Mahendra Putra yang mengaku bisa menulis di atas lontar dengan akasara Bali sejak duduk di bangku SD.

Lontar yang Dwi miliki, didapatkan dari para perajin di tempat tinggalnya, Denpasar, Bali. Menurutnya, hingga kini tradisi menulis lontar ini masih dilakukan di Pulau Dewata. “Tradisi lontar masih hidup sampai sekarang. Kita generasi muda yang bisa dilakukan ya menghidupkan kembali dan kita terus belajar,” ucap pria yang kental dengan logat Balinya ini.


Pengunjung Festival Naskah Nusantara II di Perpusnas (Foto:Metrotvnews.com/Pelangi Karismakristi)

Festival Naskah Kuno ini mendapat apresiasi dari masyarakat, seperti halnya Wening Pawestri dan Fari yang datang dari luar Jakarta. Mereka mengaku senang bisa melihat dan mengunjungi langsung acara ini, keduanya pun merasa mendapat manfaat, yakni bisa mengetahui betapa kaya kebudayaan dan warisan Indonesia yang ditunjukkan melalui naskah kuno.

“Saya baru tahu adanya naskah kuno setelah kuliah,  ternyata banyak sekali nilai-nilai di dalamnya dan bagus banget. Naskah kuno bisa untuk membangun kembali jati diri bangsa dan mengungkap pemikiran-pemikiran leluhur. Sekarang keadaan politik semakin terpuruk, kalau bisa lebih baik lagi diambil dari ilmu-ilmu yang ada di dalam naskah itu,” ucap Wening, mahasiswa pascasarjana Filologi Unpad.

“Saya ingin belajar banyak aksara yang ada di Indonesia, di sini kita bisa banyak tahu tentang aksara nusantara. Bahkan saya tadi dapat penjelasan kalau penemu kertas itu sebanarnya dari nusantara, bukan Cina. Jadi tambah bangga saja, semakin tambah ‘nguri-uri’ kebudayaan. Ini sangat berguna, kalau bisa setiap tahun ada dan jangan cuma di Jakarta,” ucap Fari, pengunjung dari Magelang, Jawa Tengah.

Sumber: MetroTVNews

Paulus mengajarkan: "Yesus memiliki Allah", jelas dipahami bukan…

jesus prostration

Dalam surat nya 1 Korintus 11 Paulus berkata bahwa pimpinan Yesus adalah  Allah: wa raa’isul Masiihi Huwa-Allah

٣. ولكن اريد ان تعلموا ان راس كل رجل هو المسيح. واما راس المرأة فهو الرجل. وراس المسيح هو الله

3. Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah Allah. (TB)

Continue reading

Historian: No real evidence that Jesus thought he was God

Encyclopedia Americana:

“Christianity derived from Judaism and Judaism was strictly Unitarian [believing that God is one person]. The road which led from Jerusalem to Nicea was scarcely a straight one. Fourth century Trinitarianism did not reflect accurately early Christian teaching regarding the nature of God; it was, on the contrary, a deviation from this teaching.”-(1956), Vol. XXVII, p. 294L.

In Proto Q Source–historically the most accurate source–Mark 12: 28-32 Jesus affirms Jewish Unitarian Monotheism by agreeing with the Jewish Rabbi and proclaiming the Shema Yisrael the Unitarian Creed. Regardless of Muhammad (ص) Historians maintain that Jesus and his disciples were Fundamentalist Unitarians and did not preach, believe or accept the Trinity. Case Closed.

Continue reading