Islam Agama Peradaban
Saat ini di Indonesia telah terjadi sikap beragama dan cara memahami agama yang makin menggerus nalar sehat kita. Daya intelektualitas diberangus dalam beragama, dan nalar kita mulai tumpul tatkala kita memahami teks-teks agama. Ada ketakutan akut di antara kita karena khawatir ada pelabelan bid’ah dan liberal yang akan disematkan kepada siapapun yang mencoba memahami teks agama dengan iman dan nalar. Parahnya, iman dikontraskan dengan nalar. Nalar dijauhkan dari umat dan kaum terpelajar. Wacana keislaman dibatasi soal bid’ah atau sunnah, sorga atau pun neraka. Bahkan, wacana keislaman hanya dipahami secara parsial dan ahistoris. Kini, Islam hanya dipahami sebagai agama ritual. Padahal Islam seharusnya dipahami sebagai agama peradaban. Kini, umat hanya disibukkan hanya pada tema soal-soal ritual. Kini, umat hanya disibukkan dengan pertentangan soal penerapan fiqh yang benar dan yang tidak benar. Upaya pelabelan Ahlus Sunnah dan Ahlul Bid’ah seakan menjadi tema emas yang senantiasa disemaikan di tengah-tengah umat tanpa batas. Umat pun mulai terprovokasi untuk mendakwa yang bukan kelompoknya sebagai pelaku bid’ah.
Kini umat hanya diarahkan dan berkutat pada soal ini sunnah atau bid’ah. Sebaliknya, umat tidak diarahkan dan dibekali dengan arahan untuk membangun peradaban Islam di masa depan. Parahnya, kejayaan peradaban Islam juga dilupakan seakan tak ada beban. Dan lebih parah lagi, kita diajarkan untuk memisahkan antara ilmu agama dan ilmu non-agama. Bahkan lisan kita pun terbiasa berhujjah dengan berkata: “Lebih baik kita konsentrasikan anak-anak kita shalat di shaf terdepan dari pada terdepan di olimpiade matematika atau sains lainnya.” Bukankah pola pikir seperti ini merupakan sebuah kemunduran? Bukankah ini sebuah pemahaman yang sekuler yang mencoba memisahkan antara agama dan sains? Bukankah kitab suci Al-Quran justru berkata: “Afala ta’qilun?” Apakah kalian tidak berakal? Bukankah gerakan Muhammadiyah sejak awal justru berslogan: “Islam berkemajuan.” Apakah kita telah melupakan amanat Quran dan slogan Muhammadiyah itu? Bukankah Quran itu spirit kita dan Muhammadiyah itu gerakan cara beragama kita dalam mengembangkan peradaban Islam? Kini, tradisi keilmuan mana yang akan kita kembangkan?
Dalam sejarahnya, tradisi keilmuan khas Saudi Arabia memang tidak pernah bersentuhan dengan sains. Sebaliknya, tradisi keilmuan khas Andalusia sangat familiar dan sejak awal senantiasa bersentuhan dengan sains. Kini, tradisi keilmuan khas Saudi Arabia amat menjamur di Indonesia, tapi tradisi keilmuan khas Andalusia sangat nihil dan tidak digubris perannya di Indonesia. Padahal karya-karya keulamaan yang dipelajari di pesantren Indonesia justru berakar dan berasal dari tradisi keulamaan Andalusia. Kita pasti tidak asing dengan kitab-kitab ini di Indonesia, misalnya kitab Alfiyah Ibn Malik, kitab al-Jurumiyah dan kitab Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Bukankah kitab-kitab itu semuanya diajarkan di pesantren-pesantren di Indonesia? Bukankah ini merupakan bukti secara de facto tentang adanya jaringan keulamaan antara Andalusia hingga Indonesia sejak masa lalu? Ini merupakan jejak tradisi akademik khas Andalusia di Indonesia yang tidak bisa dimarginalkan atau pun dilupakan oleh siapapun.
Keseimbangan tradisi keilmuan khas Andalusia dan tradisi keilmuan khas Saudi Arabia di Indonesia itu perlu. Kini, biarlah keseimbangan itu terjadi secara alami. Silakan kita mengambil peran masing-masing. Bila saya mengambil peran utk menawarkan alternatif tradisi keilmuan khas Andalusia, maka itu sebuah pilihan. Bila Anda mengambil peran utk menawarkan tradisi keilmuan khas Saudi Arabia, itu pun juga sebuah pilihan. Namun, saya memilih langkah kongkrit itu sebagai sebuah upaya penyeimbang sekaligus sebagai pelengkap tradisi keilmuan Saudi Arabia yang telah mapan di Indonesia. Hal ini saya lakukan agar wacana peradaban Islam di Andalusia dapat menyebar atau pun bangkit di Indonesia dan Asia Tenggara sebagaimana zaman keemasan di Andalusia pada masa Abad Pertengahan. Dulu peradaban Eropa hanya menyibukkan diri dan hanya berkutat dengan ilmu skolastik teologia agama Kristiani semata, sains tak pernah mereka ketahui. Namun, di saat yang sama, kita di Asia Tenggara, justru berkutat dengan paduan ilmu agama dan sains Islam, maka lahirlah “Undang-undang Malaka” (Malaka Laws), “Arsitektur Jawa”, “Perubatan Melayu” (Malay Medicine), dan sebagainya. Kala itu, bahasa Latin dijadikan sebagai bahasa lingua franca di kawasan Eropa. Namun, pada saat yang sama, bahasa Jawi yang dikenal dengan aksara Arab-Melayu justru telah menjadi bahasa lingua franca di Asia Tenggara. Barat saat itu hanya paham agama dan tidak mengenal sains, sedangkan kita di Asia Tenggara telah memahami agama dan sains. Tidak salah bila dalam literatur Arab klasik, kita di Asia Tenggara disebut dengan sebutan sebagai اصحاب الجاوين (Ashab al-Jawiyyin). Apakah kita tidak bangga dengan prestasi kita ini? Apakah kita tidak bangga dengan sebutan khas yang disematkan oleh bangsa Arab kepada kita tersebut? Kita di Asia Tenggara telah mengalami zaman keemasan sebelum memasuki era penjajahan. Janganlah kita melupakan jati diri kita. Apalagi bila kita telah melupakan peranan serta spirit Islam Andalusia di Indonesia.
Ahmad Baso, penulis “Islam Nusantara: Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Indonesia” (2015) pernah berkata: “Islam Andalusia akhirnya bubar setelah nama besar Ibnu Rusyd, Ibnu Arabi dan Ibnu Khaldun dilupakan oleh umat Islam. Kaum Yahudi dan kaum Kristen di Andalusia justru melanjutkan untuk “ngaji” pemikiran dan membaca kitab-kitab tulisan Ibnu Rusyd. Akhirnya, Islam direbut oleh para politisi, hingga kalah dan terusir dari bumi Andalusia (Spanyol). Islam Indonesia bakal bernasib sama dengan Islam Andalusia ketika nama besar Wali Songo dilupakan oleh mereka. Penganut agama lain juga mulai “ngaji” warisan Wali Songo. Khazanah intelektual Islam di Nusantara yang brilian lalu dilupakan. Kemudian, berbicara Islam pun akhirnya direbut oleh para politisi.”
Politisi kini mulai berjubah agama, dan berbicara atas nama Islam dan tentang Islam. Islam dipolitisasi, dan kita tak mampu membedakan ini Islam itu sendiri atau tipuan atas nama Islam. Agamawan diinisiasi supaya hanya ahli dan berbicara hanya soal yang bid’ah dan yang syar’i. Peradaban Islam dilupakan dan dikebiri, dan akhirnya lambat laut Islam menjadi mati di bumi pertiwi, Indonesia sejati. Umat Islam pun banyak yang murtad akibat tidak merasa bangga dan mengenal sejatinya Islam Madani. Mungkinkah ini akan terjadi? Silakan Anda merenungkan sendiri.
Allah Berikan Rekam Jejak bahwa semua agama di Dunia asalnya satu
Dalam seminar “Menggalang Kesadaran Keagamaan dan Kebangsaan Menuju Indonesia Bersatu” yg dihelat di Hotel Bandung Permai, Kota Jember, Jawa Timur, pd 29 September 2018, Narasumber Utama : Ustad DR. Menachem Ali, SS, M.MA menyajikan bukti-bukti jika terdapat persamaan ayat-ayat dalam tiap kitab suci agama2 dunia, baik dalam Quran, Bible, Taurat, Bhagavad Gita, Wedha, Tripitaka hingga Kitab2 Kejawen, hal ini merupakan bukti rekam jejak yang bersumber dari 1 Tuhan yang sama yaitu Allah, dan hal ini adalah usaha dari Allah sendiri dalam memberikan ke esaan diriNYA,,, yang pada akhirnya ketiadaan dialog dari para umatnya serta tidak adanya keinginan untuk memahami agama umat2 lain secara benar dan proporsional membuat antar umat meyakini jika terdapat Tuhan yang berbeda2 dari masing2 agama. Ustad DR. Menachem Ali, SS, M.MA adalah pakar Sejarah, Bahasa dan Budaya semitik dan Sanskrit dari Universitas Airlangga Surabaya.
Beliau adalah juga mantan aktivis dan calon pendeta kristen KOS (Kenisah Orthodox Syiria) dan mantan kolega dari Abuna (Pendeta) Bambang Noorsena yg merupakan pendeta tertinggi KOS di indonesia, Nama sebelum Islam beliau adalah: Menachem Elijahu, sedangkan alasan beliau berpisah dgn Bambang Noorsena adalah karena dia sering melakukan kebohongan akademis demi mengikuti doktrin gereja yang jelas terbukti cacat sejarah dan cacat secara holy text serta sering melakukan Logical Fallacy (kekeliruan logika, membuat kekeliruan dengan sengaja pada suatu fakta sejarah atau logika, istilah akademisnya adalah Kebohongan Dialektika, Logical Fallacy merupakan suatu metode ilmu membalik nalar berdasarkan pada ilmu filsafat Platonis/ filsafat Yunani yg diajarkan di sekolah2 Theologi untuk menjadikan ajaran kristen sbg kebenaran, karena fakta jika ajaran kristen itu dibangun pd pondasi kebohongan yang sangat nyata untuk itu perlu ilmu membalikkan logika agar membuat ajaran Kristen menjadi ajaran yg benar2 dari Tuhan), dan semua risetnya justru mendukung kebenaran ajaran islam yang secara sengaja hendak dihilangkan keterkaitannya dalam akar ibrahim serta dgn sengaja pula memalsukan dokumen kuno agar sejarah kuno semitik mendukung doktrin gereja,,, Buku-buku hasil riset akademisnya terkait tentang dokumen kuno yahudi dan sanskrit telah diedarkan di berbagai negara di benua Amerika, Eropa dan Asia, penelitian dan risetnya banyak dilakukan di Israel, Marokko, Jordania & Azerbaijan,,,,
Karya2 Riset Akademis beliau:
- “Qumran Manuscript & Prophets of Islam Among The Messiahs” (2019 Airlangga University Press,Prologue by Prof.DR.Thomas McElwain, Hebrew & Semitic Studies Professor at University of Stockholm & University of Turku, Finland)
- “Aryo-Semitic Philology: the Semitization of Vedas & Sanskrit Elements in Hebrew and Abrahamic Texts” (Airlangga Press 2018, Prologue by Prof.Habib Zarbaliyev, Azerbaijan University of Language, Baku)
- “Ishmael dalam Mushaf Masorah Ben Asher dan Naskah Khirbet Qumran/ Ishmael in Masoret Ben Asher Manuscript & Khirbet Qumran Texts” (Airlangga Press 2015)
- “Discovering The Hebraic Roots of Islamic Messiah : A Study of Semitic Philology on The Hebrew Torah, The Jerusalem Talmud & The Midrash” (A.S.Noordeen-Canada 2009)
Islam Agama Peradaban Vs Agama Ritualistik
Akhir-akhir ini banyak anak-anak muda generasi milenial mulai terpaut hatinya dengan ISLAM. Fenomena ini menarik; mereka belajar Islam melalui Youtube atau medsos dan juga mengikuti ta’lim/ kajian eksklusif. Apakah ini salah? Tidak ada yang salah dalam hal ini.
Saya hanya memperingatkan kepada mereka bahwa Islam tidaklah sesederhana yang kita pahami; realitas pemahaman ulama tentang Islam telah ada dalam berbagai mazhab Islam, yang melintas batas zaman dan generasi. Pemahaman ulama tentang Islam begitu kaya dan beragam ijtihad, dan fakta ijtihad itu termaktub dalam berbagai kitab-kitab mazhab. Islam itu satu, sekaligus Islam itu beragam. Maksudnya, Islam itu satu manhaj, sekaligus beragam mazhab. Dengan kata lain “beda mazhab, satu Islam.” Ketika kita menyatakan bahwa “Islam tidak bermazhab”, maka pada saat itu kita telah membatasi Islam dan sekaligus menyatakan sebuah korpus tertutup sebagai “the other”, yakni sebuah “mazhab yang tanpa mazhab.”
Islam itu kaya dengan mazhab, ada mazhab Hanafi, ada mazhab Maliki, ada mazhab Syafi’i, dan ada mazhab Hambali, ke-4 mazhab inilah yang dapat disebut sebagai mazhab ortodoks; dan ada juga yang kini dikenal sebagai mazhab “tanpa mazhab.” Itulah yang disebut sebagai mazhab protestan, yang lebih mengedepankan pada gerakan puritan. Jadi tatkala kita menolak sebuah mazhab yang telah ada, dan sekaligus menihilkan sebuah mazhab, maka pada saat yang sama kita telah menciptakan sebuah mazhab baru, yakni “mazhab bi la mazhahib” (artinya: mazhab yang tak bermazhab), dan itulah yang disebut sebagai mazhab “tanpa mazhab” atau lebih tepatnya disebut mazhab protestan. Inilah fakta era sekarang dalam dunia Islam, tentang adanya keberagaman dalam bermazhab, bukan keseragaman dalam bermazhab. Adanya mazhab ortodoks dan adanya mazhab protestan dalam mengamalkan fiqh merupakan sebuah keniscayaan dalam bermazhab yang berdasar pada semangat ukhuwah (toleransi antarmazhab). Jangan Anda terkesima dengan sekedar jargon “Kembali pada Qur’an dan Sunnah”, dan yang lain dianggap salah; dan kemudian mencaci maki mazhab yang lain; atau mencaci mazhab ortodoks. Jangan Anda menguras energi dan membahas sebuah tema yang sudah “basi.” Jangan Anda mengulang-ulang perdebatan fiqh masa lalu, yang sebenarnya sudah disikapi secara toleran di antara berbagai ulama mazhab. Jangan Anda bertengkar soal anjing itu najis atau tidak najis, babi itu najis atau tidak najis. Dalam mazhab Maliki misalnya, “anjing itu suci dan tidak najis”, sebaliknya dalam mazhab Syafi’i pandangannya berbeda, “anjing itu najis.” Ini merupakan contoh kongkrit tentang adanya ikhtilaf yg sangat diametral di antara para ulama mazhab fiqih. Kita boleh saja berbeda dalam beberapa hal yang tidak kita sepakati. Namun, tidak bisakah kita bersaudara dalam banyak hal yang kita sepakati?
Pemahaman mazhab fiqh Maliki yang memandang anjing itu tidak najis, ini merupakan pengalaman langsung saat saya dulu di Rabat, Marocco tahun 2014. Apakah Anda tidak mau shalat berjamaah dengan seorang Muslim dari kalangan mazhab Maliki karena mereka menurut Anda telah “terkena najis anjing” bertahun-tahun? Sejak dulu kenajisan anjing telah diperselisihkan oleh para ulama mazhab, sedangkan mengedepankan keluhuran akhlak telah disepakati oleh seluruh ulama mazhab. Anda jangan egois mazhab, dan tidak perlu saling mencela, yang penting kita arif bijaksana. Orang Eropa kebanyakan bermazhab Maliki, karena kebiasaan orang Eropa memelihara anjing dan sangat dekat dengan anjing. Pada bulan Mei – Juni 2019 kemarin, saya ada di Tokyo, Jepang. Orang di sana sangat hemat air tatkala berwudhu, dan kaki dibasuh dengan sedikit air, kemudian diusap dengan handuk, atau cukup kaos kaki diusap saja; tidak seperti di sini, air kran mengucur deras. Mungkin ini pengaruh mazhab Hanafi dan mazhab Maliki yang kebanyakan orang Turki, Pakistan dan Marocco yang tinggal di Jepang. Persoalan perbedaan pandangan fiqh begini sudah tuntas dibahas oleh ulama-ulama kita terdahulu. Anda tinggal membaca kitab-kitab lintas mazhab di berbagai perpustakaan. Justru yang bermasalah itu Anda sendiri, karena memang sebenarnya Anda memang tidak suka membaca. Tradisi literasi Anda benar-benar lemah, tradisi iqra’ Anda benar-benar “parah”, dan wajar bila Anda mudah marah ketika pemahaman orang lain berbeda arah dengan Anda. Pondok pesantren GONTOR saja mengajarkan fiqh lintas mazhab, dan kitab-kitab fiqh berbagai mazhab tersedia di perpustakaan GONTOR. Sekali lagi, jangan membuat orang lain tertawa atas kegaduhan di antara kita, yang sebenarnya pertengkaran itu merupakan tema klasik yang sudah dibahas tuntas oleh para ulama mazhab. Kini kita sekarang bukan hidup di zaman purba, tetapi kini kita hidup di zaman milenium yang berhadap-hadapan dengan melejitnya sains. Bacalah misalnya kitabnya Ibnu Rushd (Averroes) yang berjudul ” Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid”, Anda akan menemukan berbagai macam jawaban atas tema klasik perbedaan mazhab itu; dan tidak perlu tema usang itu diulang-ulang lagi di Youtube, seakan ini merupakan tema fresh dan baru; padahal tema usang yang mengandung banyak alternatif jawaban. Inilah justru penyebab kegaduhan karena tanpa alternatif jawaban. Persoalan kesadaran pemahaman lintas mazhab ini penting; dan fenomena ini baru pada tahapan sederhana, yakni ISLAM pada tataran fiqh, tataran ritualistik; ISLAM sebagai agama ritualistik.
Kini saatnya Anda berubah. Belajarlah Islam secara benar. ISLAM sebagai agama peradaban; bukan hanya belajar Islam sebagai agama ritualistik. Camkanlah bahwa peradaban Barat mengakui bahwa ternyata Islam itu benar-benar sebagai “Agama Peradaban”, yang mengguncang kesadaran Barat pada kesadaran sains; tanpa Islam maka mereka tidak mengenal apa-apa.
Tahukah Anda, mengapa huruf “x” digunakan untuk sesuatu yang tidak diketahui? Tahukah Anda, mengapa karya Jabir ibn Hayyan – seorang ulama sekaligus ilmuwan – diterbitkan di Roma pada tahun 1490 M. oleh E. Sieber? Versi berbahasa Latin dari karya Jabir ibn Hayyan baru terbit pada tahun 1668 M., dengan judul “Gebri Arabis Chimia sive Traditio Summae Perfectionis et Investigatio Magisterii.” Karya tersebut diterbitkan kembali pada tahun 1928 M. oleh E.J. Holmyrad dengan judul “Great Arab Alchemist from Seville.”
Silakan di-share thread ini kepada siapapun, terutama para pendidik (guru/dosen), agar informasi ini dapat diteruskan kepada anak-anak kita. Mudah2an mereka akan menjadi generasi toleran lintas mazhab, dan dapat mengembangkan sains demi kemuliaan Islam ke depan. Amin.
Quran Warsh, Quran Hafsh: Mengapa Alquran Tanpa Footnote?
Banyak orang yang belum tahu soal Appatus Criticus, Quran Warsh dan Quran Hafs
Kemarin hari Sabtu, kami tidak sengaja bertemu dengan seseorang dari Jakarta yang datang ke De’ Museum Cafe, Malang. Saat itu saya juga di sana. Beliau melihat-lihat berbagai cetakan kitab suci yang terpajang di sebuah etalase berkaca, di antaranya Alkitab Ibrani (Biblia Hebraica Stuutgartensia) dengan versi bacaan yang berupa footnote; teks PB (perjanjian Baru) Yunani dengan varian bacaan juga disertai footnote. Dan yang mengherankan dia, ternyata juga di sana terpajang Qur’an Warsh dan Qur’an Hafsh di etalase tersebut. Namun, teks Quran Warsh dan Quran Hafsh itu tanpa disertai footnote.
Dia melihat-lihat teks tersebut dengan serius, tetapi juga penasaran. Kami berkenalan, dan dia pun menyempatkan bertanya kepada saya. Akhirnya dia bertanya kepada saya tentang hal yang sangat penting kepada saya: “Mengapa ada Quran Warsh dan Quran Hafsh, dan apa bedanya? Padahal pada cetakan Quran tersebut tidak ada varian bacaan yang berupa footnote?”
Maka, saya pun menjelaskan bahwa memang kenyataannya Quran tidak mengenal adanya varian bacaan yang dianggap salah ataupun varian bacaan yang diduga benar. Itulah sebabnya sejak dulu hingga sekarang, cetakan-cetakan Quran tdk mengenal adanya footnote atau “appatus criticus.”

Jadi, varian bacaan berupa “apparatus criticus” pada penerbitan Alkitab Ibrani maupun PB yang terletak pada footnote merupakan fakta tekstual adanya pengakuan tentang “human error” dalam penyalinan teksnya. Namun sebaliknya, meskipun ditemukan adanya varian bacaan pada teks Quran, tetapi varian bacaan itu bukanlah “human error” dalam penyalinan teksnya.
Itulah sebabnya, sejak awal ternyata varian bacaan teks Quran itu tidak dianggap sebagai “apparatus criticus”, yang dicatat pada Mushaf sebagai “footnote.” Artinya, varian bacaan teks Quran itu bukanlah “human error” dalam penyalinan teksnya. Dan inilah sebabnya semua umat Islam hafal semua varian bacaan teks Quran itu serta membenarkannya sebagai teks pewahyuan yang dibenarkan oleh Nabi SAW.
Yang unik, saat beliau kesulitan membedakan ortografi antara huruf waw dan fa’ – dan juga kesulitan membedakan antara ortografi huruf fa’ dan huruf qof dalam teks Quran Warsh.
Akhirnya beliau pun paham, dan sekaligus ingin belajar membaca Quran Warsh yang saya punya, yang saat itu sebenarnya saya bawa utk agenda pertemuan antara murid-murid dan Syekh Imran N Hosein di Jember nantinya.

Kisah ‘The Quran Of Sanaa’

Quran terbukti sejak dulu hingga sekarang tidak mengalami perubahan apapun.
Meskipun buku berjudul “The Sanaa Palimpsest: the Transmission of the Qur’an in the First Centuries AH (Oxford University Press, 2017) ini saya beli di toko buku di kota Tokyo – Jepang dengan harga ¥ 19.800, tetapi hal ini tetap membahagiakanku.
Mengapa? Buku akademik ini karya seorang akademisi papan atas jebolan dari l’Ecole Pratique des Hautes Etudes, Paris, yang membahas keotentikan Quran berdasarkan manuskrip-manuskrip kuno Abad ke-1 H. Buku ini kajiannya sangat filologis banget. Itu berarti teks Quran sejak dulu hingga sekarang tidak mengalami perubahan apapun.
Buku “The Sanaa Palimpsest: the Transmission of the Quran in the First Centuries AH” (Oxford University Press, 2017) tersebut sangat penting untuk mengimbangi kajian karya Keith Small, berjudul “Textual Criticism and Qur’an Manuscripts (Lexington Books, 2012). Mengapa? Ternyata buku karya Keith Small tersebut menjadi salah satu buku yang “diobok-obok” oleh Asma Hilali dalam karya akademiknya “The Sanaa Palimsest” tersebut.
Karya Keith Small itu merupakan buku yang secara khusus membahas “Textual Criticism” atas teks dan kodeks berdasar berbagai manuskrip Quran, termasuk manuskrip Sanaa. Keith Small membandingkan belasan manuscript Quran awal dgn Quran masa kini Mesir Edition 1924 dan menemukan adanya perbedaan signifikan, dalam studi kasus QS 14:35–41.
Namun, dengan metode “Textual Criticism” yang sama, Asma Hilali justru menemukan adanya kecacatan analisis temuan Keith Small tentang adanya perbedaan signifikan pada teks Quran – yang menurut Asma Hilali – asumsi Keith Small tersebut akibat kesalahan baca (misreading) terkait teks Quran kuno dari tataran ortografi hingga kajian semantik.
Teks-teks Quran yang fragmentaris yang dikaji oleh Asma Hilali berdasarkan temuan manuskrip-manuskrip Sanaa tersebut dapat dikatakan sebagai “penjungkirbalikan” atas analisis data “misreading” dari Keith Small. Anggapan Keith Small tentang adanya perbedaan signifikan pada teks Quran itu pada akhirnya runtuh dengan adanya analisis filologis yang bersifat pembanding, gagasan Asma Hilali. Analisis filologis itu tentu saja atas penemuan teks-teks kuno Quran di Sanaa, yang dalam konteks ini bisa disebut sebagai “the manuscripts of Quran in the Qumran of Islam.”
Since its discovery in 1972, the manuscript 01 – 27.1 from the Dar al-Makhtutat, Sanaa has raised more and more interest, both among scholars of the Quran as well as in the media.
(Sejak ditemukan pada tahun 1972, manuskrip 01 – 27.1 dari Dar al-Makhtutat, Sanaa telah membangkitkan minat yang semakin meningkat, baik di kalangan sarjana Al-Quran maupun di media).
JIHAD YANG BENAR
Banyak orang yang salah memahami kehidupan Nabi ﷺ dalam hal jihad. Mereka mengira bahwa Sang Nabi ﷺ itu suka berperang dan membunuh. Pernyataan ini sangat ahistoris dan penuh tuduhan yang tak bernalar.
Nabi Muhammad ﷺ itu seperti Sri Krishna, keduanya berada di medan perang, tetapi tak 1 pun darah manusia yang tertumpah dari tangan mereka berdua. Tiada 1 pun manusia dari kalangan Kurawa yang tertumpah akibat senjata cakra dari Sri Krishna; dan tiada 1 pun manusia dari kalangan Quraisy yang tertumpah akibat senjata pedang dari Sang Nabi ﷺ . Sang Krishna berperang didampingi muridnya, yakni Arjuna; dialah yang membasmi adharma di medan perang dengan senjatanya. Begitu juga Sang Nabi ﷺ berperang didampingi muridnya, yakni Ali bin Abi Thalib; dialah yang membasmi adharma di medan perang dengan senjatanya.
Nabi Muhammad ﷺ itu seperti Sang Kristus, keduanya memerintahkan sahabat-sahabatnya membawa pedang utk jihad defensif. Bukankah Kristus sendiri memerintahkan murid-muridnya untuk membeli pedang? Bukankah di taman Getsemani murid-murid Sang Kristus melawan serdadu Romawi dengan pedang yang terhunus di tangannya dan memotong telinga seorang di antara mereka tersebut? Apakah mungkin Sang Kristus memerintahkan murid-muridnya membeli pedang untuk memotong sayuran atau justru untuk jihad defensif? Nabi ﷺ memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk perang defensif tanpa memerintahkan utk membeli pedang. Begitu juga Sang Kristus, dia memerintahkan murid-muridnya utk membeli pedang tanpa memerintahkan utk berperang (Lukas 22:36); dan pedang inilah yang kemudian dipakai murid-muridnya untuk menyerang dan melawan. Simon Petrus, murid Sang Kristus yang menghunus pedangnya dan menebas telinga kanan Malkus (Lukas 22:49-5; Yohanes 18:10). Berperang atau menyerang itu membutuhkan pedang, dan Sang Kristus memerintahkan utk membeli pedang bukan utk memotong ranting dan dahan, apalagi utk memotong sayuran. Meskipun Sang Nabi ﷺ dan Sang Kristus memerintahkan berperang atau membeli pedang, tetapi fakta sejarah membuktikan bahwa tak 1 pun darah tertumpah dari tangan Sang Kristus atau pun tangan Sang Nabi ﷺ ; meskipun keduanya menyuruh sahabat2nya atau pun murid2nya untuk jihad defensif.
Nabi Muhammad ﷺ itu seperti Musa AS. Keduanya memimpin perang, tetapi tak 1 pun darah manusia yang tertumpah melalui senjata keduanya. Justru keduanya berdoa syafaat sambil menadahkan tangan di medan perang, agar diberikan kemenangan.

Manuskrip kuno yang berisi surat Nabi SAW kepada Chanina dan kaum Yahudi Khaibar
Shalom ‘aleychem
Assalamu ‘alaykum
Ini merupakan fakta yang mengejutkan banyak orang, amazing for the scholars. Ternyata bukti filologis berdasarkan manuskrip kuno yang berisi surat Nabi SAW kepada Chanina dan kaum Yahudi Khaibar kini telah ditemukan, dan ditulis dalam bahasa Judeo-Arabic, yakni teks berbahasa Arab dengan menggunakan aksara Ibrani. Manuskrip tersebut telah dilaporkan dalam sebuah jurnal akademik Jewish quarterly di ISRAEL.
Laporan tersebut juga dimuat dalam sebuah tulisan akademik karya Dr. Muhammad Hamidullah dalam karyanya yang berjudul:
كتاب مجموعة الوثائق السياسية للعهد النبوي والخلافة الراشدة
Karya ini berisi kompilasi piagam-piagam diplomasi sejak zaman Nabi SAW hingga era Khulafa’ al-Rasyidin yang disajikan secara detail dan menakjubkan. Lebih menarik lagi, banyak temuan karya-karya Rabbinik yang ditulis sejak era Rabbi Saadia ben Yosef Gaon al-Fayyumi (RASAG) hingga era Rabbi Yehuda ha-Levi, termasuk RAMBAM (Maimonides), yang ternyata karya-karya mereka juga ditulis dengan menggunakan aksara Judeo-Arabic. Mereka menulis karya tersebut di kawasan Baghdad (Mesopotamia) – kawasan Spanyol (Andalusia) hingga kawasan Yaman (Teyman).
Jadi, bahasa Judeo Arabic ini juga familiar di kalangan Yahudi Teymani (Yemenite Jews) sejak era pra-Islam. Itulah sebabnya Nabi SAW sendiri di Medina mengirim surat ke Khaibar dengan menggunakan aksara Judeo-Arabic yang masyhur dipakai di kalangan Yahudi Sephardi dan komunitas Yahudi Teymani. Ini tentu juga berkaitan dng persebaran tradisi tulis antara wilayah Yaman dan Hijaz. Bahkan aksara Arab Nabatean dan aksara Judeo-Arabic keduanya dipakai di kawasan Yaman dan Hijaz.
Hal ini juga merupakan fakta historis bahwa kaum Yahudi Teymani – יהדות תימנים (Yahadut Teymanim) menyebar ke Medina sejak era pra-Islam. Bahkan the great grand mother dari bani Hashim sendiri juga seorang perempuan Yahudi Teymani, yakni Salma binti Amr, istri Hashim. Tahukah Anda fakta ini? Mayoritas banyak yang tidak tahu.

