Menalar Ulang Kuasa Teks Suci: Veda Mahabharata dan Sefer Torah

הרא קרישנה הרא קרישנה
קרישנה קרישנה הרא הרא
הרא רמה הרא רמה
רמה רמה הרא הרא

Hitungan kalendar Yahudi, sekarang ini adalah 5778, sejajar dng kalender Masehi yakni 2018 M. Hitungan kalendar Kristen sekarang adalah 2018, sedangkan hitungan kalender Budha sekarang ini adalah 2562. Jadi kelahiran Sang Budha lebih awal dan lebih tua dibanding kelahiran Sang Kristus, 2018 M. Bila Sang Budha sebagai avatara ke-9 maka Sri Krishna adalah avatara ke-8. Jadi berkaitan dengan kajian kesejarahan, maka Krishna tidak mungkin eranya sezaman dengan Kristus. Artinya, masa kehidupan Krishna jauh lebih terdahulu dibanding era kehidupan Kristus. Vyasa-deva sang kompilator kitab Mahabharata saja hidup sebelum era Sang Buddha. Itu berarti bahwa Krishna memang dilahirkan jauh sebelum era Sang Buddha.

Dalam kitab Srimad Baghavatam Purana I.3.24. disebutkan:

tatah kalau sampravrtte
sammohaya sura dvisam
Buddho namnanjaya sutah
kikatesu bhavisyati.

“then the beginning of Kali-yuga, the Lord will appear as Lord Buddha, the son of Anjana in Kikatesu – the province of Gaya (Bihar) just for the purpose of delucing those who are envious of the faithful theist.”

Hitungan kalender Yahudi dimulai sejak pasca banjir Nuh. Persoalannya: cerita mengenai banjir Nuh itu terkodifikasi dalam Torah yang diterima oleh Musa, dan jarak antara Nuh hingga masa Nabi Musa itu ratusan tahun. Jadi wajar bila kehidupan Krishna lebih dulu ada dibanding masa kehidupan Musa. Dengan demikian, amat wajar bila ada kesejajaran cerita (common narrative) antara kitab Torah dan kitab Mahabharata, similar but not exactly the same.

Di dalam kitab Torah disebutkan adanya tokoh yang bernama Kain yang membunuh Habel, dan kemudian akhirnya Kain dikutuk serta diusir oleh TUHAN, migrasi menuju wilayah Timur (lihat Sefer Bereshit/Genesis 4:11-16). Pada Sefer Bereshit 4:16 ayatnya berbunyi demikian: וישב בארץ נוד קדמת עדן – vayyesev be-eretz Nod qidmat Eden (“dan dia/Kain menetap di tanah Nod, di sebelah Timur Eden”). Kain memang pergi ke arah Timur – yang dalam bahasa Hebrew (Ibrani) disebut “qidmat” (קדמת), yang berasal dari akar kata “qedem” (קדם), dan wilayah Timur itu yakni menuju kawasan Nod (נוד). Rashi (Rabbi Shlomo ben Yitzhak) menyatakan Istilah nama wilayah Nod bermakna “wandering” – the land where exiles wander about …… Notably, the eastern region always forms a place of refuge for murderers.” (Sefer Bereshit/Genesis: A New Translation With A Commentary Anthologized from Talmudic, Midrashic and Rabbinic Sources, Brooklyn: Mesorah Publications, 2009:158). Rashi menafsirkannya sebagai wilayah הרוצחים – ha’rotzechim (para pembunuh). Sementara itu, di dalam kitab Mahabharata disebutkan adanya tokoh yang bernama Aswattama yang membunuh keturunan Pandawa, dan kemudian akhirnya Aswattama dikutuk oleh Krishna dan diusir, serta migrasi menuju wilayah Barat. Berkaitan ttg tokoh Aswattama yg diusir Sri Krishna hingga ke wilayah Arva-sthan yang merupakan wilayah kaum Mleccha (non-Arya) ini amat penting dikaji. Dalam bhs Sanskrit, istilah Arva-sthan berasal dari gabungan 2 kata kunci yakni Arva (migrasi/berpindah) + sthan (wilayah), coba bandingkan dng sebutan “Hindu-sthan” dalam bahasa Urdu, yang bermakna “wilayah Hindu.” Istilah Hindusthan juga berasal dari gabungan 2 kata kunci yakni Hindu (lembah Hindu/Sindhu) + sthan (wilayah).

Istilah “Arva” ini sepadan dengan istilah bahasa-bahasa rumpun Semit, terutama bahasa Arab dan Ibrani. Dalam bahasa Arab misalnya, muncul kata عرب (‘Arab) dan dalam bahasa Ibrani (Hebrew) muncul juga kata עבר (‘Ever/ ‘Eber) yang kedua istilah Semitic tersebut bermakna “nomad”, “berpindah”, “migrasi” dan “menyeberang.” Intinya istilah Arva atau Arva(n) terkait dng tradisi masyarakat Urban yang meniscayakan komunitas migrasi. Dan dalam kamus bahasa Sanskrit karya Vaman Shivram Apte ‘The Practical Sanskrit – English Dictionary’ (New Delhi: Motilal Banarsidas, 1987) ternyata dijelaskan bahwa istilah Arva(n) juga bermakna: “kejam”, “kasar”, “pembunuh.” Hal ini juga dibenarkan oleh pakar embriologi bhs Sanskrit, Made Harimbawa. Jadi Arva-sthan adalah wilayah Arva(n) yakni wilayah “para pembunuh.” Itulah sebabnya Aswattama telah migrasi ke wilayah Arvasthan dan memulai peradaban dan agama baru di sana. Bahkan Aswattama dikutuk hidup sangat lama (chiranjivi) utk memperbaiki kesalahannya dan menuntun anak keturunannya di wilayah “para pembunuh.” Begitu juga sang tokoh dari tradisi Semit yang bernama Kain, dia dikutuk hidup sangat lama utk memperbaiki kesalahannya dan agar dapat menuntun keturunannya di wilayah “para pembunuh.” Cerita yg sangat paralel ini sangat menarik. Kajian teks ini tentu saja akan menjembatani relasi kajian kesastraan yang berkaitan dengan analisis teks dari segi kebahasaan. Dalam konteks ideologi kepengarangan yang berbasis narasi pengisahan ini, apakah sang tokoh yang bernama Kain itu yang menyebarkan teks Semit ke wilayah Arya? Atau sebaliknya, justru sang tokoh yang bernama Aswatama itulah yang menyebarkan teks Arya ke wilayah Semit? Persoalan migrasi teks suci tersebut tergantung dari sudut pandang iman masing-masing.

Berdasarkan pembuktian manuskrip, kitab Mahabharata faktanya memang lebih tua dibanding kitab Torah (Pentateuch). Tulisan tangan tertua dari Taurat itu abad ke-2 SM., yakni manuskrip the Dead Sea Scrolls (naskah Laut Mati), sedangkan manuskrip yang berisi kutipan-kutipan bacaan teks kitab Mahabharata yang termaktub dalam buku gramatika bahasa Sanskrit karya Panini itu ternyata telah ditulis pada abad ke-4 SM. Jadi pastinya teks Mahabharata justru jauh lebih tua atau lebih kuno dari pada teks Torah (Pentateuch/ the Old Testament) karena secara de facto teks Panini ditulis pada abad ke-4 SM.

Bila Abraham lahir sekitar tahun 2165 SM., maka Sri Krishna telah lahir 4000 tahun SM. Jadi dengan demikian agama Hindu lebih tua dibanding agama Yahudi, dan Sri Krishna telah ada sebelum Abraham dilahirkan. Bahkan agama Hindu (Brahmanic religion) telah eksis sebelum kelahiran agama-agama Abrahamik yang disebut Abrahamic religions: Yahudi, Kristen dan Islam. Apalagi fakta membuktikan bahwa cerita mengenai Abraham justru termaktub dalam kitab Torah, kitab yang ditulis oleh Musa yang mana jarak antara Abraham dan Musa sendiri itu ratusan tahun. Jadi penentuan tahun kelahiran Abraham masih spekulatif. Satu-satunya alat bukti yang valid adalah menggunakan analisis terhadap teks TaNaKH (the Old Testaments) itu sendiri melalui kajian linguistik komparatif (filologis), yaitu dengan cara melacak adanya pengaruh kosakata Vedic Sanskrit dan Persia (Arya) dalam bahasa Ibrani Masoret (Semit). Silakan Anda pelajari karya Prof. James Barr dalam karyanya yang berjudul “Comparative Philology and the Text of the Old Testaments (Oxford: Clarendon Press, 1968), khususnya pada hlm. 101 – 111 beliau secara khusus membahas tentang subtema: “Loanwords and Words of non-Semitic Origin.”

Dalam buku saya berjudul “Aryo-Semitic Philology: the Semitization of Vedas and Sanskrit Elements in Hebrew and Abrahamic Texts (Surabaya: Airlangga University Press, 2018) terdapat kajian yang patut dipertimbangkan. Dalam karya riset saya ini hanya sekedar melanjutkan dan memperdalam kajian Prof. James Barr, Ph.D. yang saya fokuskan tentang adanya Sanskrit Loanwords dalam Biblical Hebrew sebagaimana yang termaktub dalam The Old Testaments (Perjanjian Lama). Hal ini semakin mempertegas validitas adanya migrasi teks Arya ke wilayah Semit.

Istilah הדו (Hoddu) dalam kitab TaNaKH (Torah Neviem ve Khetuvim) berbahasa Ibrani, sebagaimana yang termaktub dalam kitab Esther (Sefer Esther) yang ditulis di wilayah tradisi Arya, ternyata term הדו (Hoddu) merupakan istilah kosakata Sanskrit yang ter-Ibrani-kan atau Hebraized Sanskrit term. Dengan kata lain, istilah הדו (Hoddu) merupakan kosakata Judeo-Sanskrit sebagai bentuk Ibranisasi dari kosakata khas keagamaan Hindu dari tradisi Arya yang kemudian diadopsi dalam bahasa Ibrani Masoret (Biblical Hebrew).

Teks keagamaan Hindu bertradisi Arya ini migrasi ke wilayah Semit, maka muncullah kosakata “Hoddu” dalam bahasa Ibrani, yang berasal dari kata “Hindhu” dalam bahasa Sanskrit. Dan, istilah “Hindhu” dalam bahasa Sanskrit itu ternyata juga sepadan dng sebutan “Hindustan” dalam bahasa Urdu. Begitu pula munculnya istilah Ibrani תוכיים (tukiyyim, “parrots”) dalam Perjanjian Lama (the Old Testament) yang termaktub dalam kitab Raja2 (the book of Kings) dan kitab Tawarikh (the book of Chronicles) ternyata asalnya merupakan adopsi dari kosakata Tamil “tukiyyim” (parrots), dan istilah ini ternyata berasal dari kosakata bahasa Sanskrit yakni “sukim” (parrots). Menariknya, dalam kitab Talmud, Bava Batra 15.a.2 disebutkan: וירמיה כתב ספרו וספר מלכים וקינות (ve Yermiyahu katav sefero ve sefer Melachim ve Qinot – Jeremias scripsit librum suum et librum Regum et Threnos), yang artinya: “dan Nabi Yeremiyah sendiri yang telah menulis kitab Yeremiyah, begitu juga kitab Raja-raja dan kitab Ratapan.” Dan fakta historis membuktikan bahwa Nabi Yeremiyah menulis kitab-kitab tersebut di wilayah yang terhegemoni tradisi Arya. Dengan demikian, tidaklah mengherankan bila istilah תוכיים (tukiyyim) merupakan bentuk Ibranisasi dari kosakata Sanskrit (“sukim“) yang bisa disebut sebagai Hebraized-Sanskrit term. Amazing.

Kajian berdasarkan analitis sejarah, linguistik, filologi, sastra, inskripsi, dan agama memang amat menarik untuk ditindaklanjuti. Itulah kewajiban kita para akademisi untuk jujur pada disiplin keilmuan masing-masing.

Screen Shot 2018-06-21 at 14.34.14

Menalar Agama Langit: Glorifikasi Mukjizat Kristus dan Krishna.

שלום עליכם
السلام عليكم

Screen Shot 2018-06-21 at 14.34.14.png

Karya saya berupa riset akademik yang berjudul “Aryo-Semitic Philology: the Semitization of Vedas and Sanskrit Elements in Hebrew and Abrahamic Texts” (Surabaya: Airlangga University Press, 2018) yang menggunakan berbagai referensi langka tsb, diharapkan nantinya akan menghapus stigma negatif atas ajaran Hindu yang berdasar pada teks suci Weda, dan juga ajaran Zoroastrian yang berdasar pada teks suci Avesta. Namun kini, ironisnya keduanya justru dijustifikasi sebagai ‘agama bumi’ (earthly religions) oleh para pseudo-scholars. Padahal secara de facto keduanya merupakan tradisi keagamaan tertua, yakni tradisi keagamaan Brahmanic yang justru memiliki kesinambungan dengan tradisi keagamaan Abrahamic. Anehnya lagi, tradisi keagamaan Abrahamic secara de jure hanya dibatasi pada 3 agama utama: yakni agama Yahudi, Kristen, dan Islam yang kemudian secara teologis justru diklaim sebagai the heavenly religions (agama langit).

Namun, berdasarkan dominasi pengaruh bhs Sanskrit dan Persian yang muncul dalam teks2 suci berbahasa Hebrew, Syriac dan Arabic sebagaimana yang termaktub dalam teks Torah, Bible dan Quran justru membuktikan adanya pengaruh Vedic yang amat kuat dalam teks ketiga agama tersebut. Hasilnya, dapat disimpulkan bahwa teks Weda dan teks Avesta yang disebut sebagai tradisi keagamaan Brahmanic secara tektual ternyata teksnya lebih kuno dibanding tradisi keagamaan Abrahamic, dan itu berarti agama Hindu sebenarnya adalah the heavenly religion, dan tidak tepat bila disebut sebagai earthly religion.

Ini semata2 kajian akademik, yang tentu saja banyak orang yang tidak siap menerima kenyataan ini. Dan pasti buku ini sangat kontroversial; tapi sebagai peneliti dalam bidang philology (comparative linguistics), sudah sepatutnya saya siap menerima kritik dari para ahli.

Dalam hal ini, tentu saja seorang agamawan juga pasti sangat sukar untuk menerima kenyataan ini. Namun, bagaimanapun juga , ini adalah kajian akademis yang berujung pada fakta linguistik, fakta tekstual sastrawi, dan fakta historis yang menandakan adanya penanda migrasi teks dari tradisi Arya ke tradisi Semit. Adanya migrasi teks ini tentu saja akan mengabrasi klaim sepihak tentang dikotomisasi antara agama langit dan agama bumi. Dan hanya mereka yang berpikiran terbuka, berwawasan luas serta padat literatur yang mungkin bisa menjadikan karya ini sebagai bahan referensi untuk bernalar akan kesinambungan sejarah tradisi agama2 besar dunia beserta kitab sucinya.

Adanya kesinambungan sejarah tradisi agama rumpun Brahmanic (Arya) dengan rumpun Abrahamic (Semit), kita dapat membaca teks yang termaktub dalam kitab suci Mahabharata dan kitab Srimad Bhagavatam Purana yang amat penting dipelajari oleh para pengkaji. Kitab Mahabharata terdiri atas 9 jilid besar dan kitab Srimad Bhagavatam Purana juga ada 44 jilid besar. Mengapa keduanya patut dipelajari? Alasannya sederhana, kitab Mahabharata ibarat “the Gospel of Krishna” bagi komunitas Hindu, sedangkan kitab Srimad Bhagavatam Purana ibarat Apostolic Letters (Perjanjian Baru/New Testament).

Di dalam kedua kitab itu memuat banyak mukjizat Krishna.

  1. Krishna berjalan di atas air dan tidak tenggelam.
  2. Krishna menyembuhkan orang buta sehingga orang tersebut bisa melihat, hanya dng sentuhan kakinya.
  3. Krishna melipatgandakan makanan menjadi banyak sehingga para brahmana semuanya dapat makan hingga kenyang.
  4. Krishna membelah lautan sehingga kering, hingga Arjuna dan Subadra tidak tenggelam.
  5. Krishna menghentikan matahari dari hukum alam sehingga tidak bergeser dari tempatnya.
  6. Masih banyak mukjizat lain yang dilakukan Krishna.

Mukjizat yang dilakukan Krishna ternyata 100% ada kesejajaran dng mukjizat yang dilakukan Kristus dan Musa. Sejarah itu berulang, dan hal ini menjadi bukti bahwa narasi teks keagamaan Brahmanic bertradisi Arya ternyata juga migrasi menjadi narasi teks keagamaan Abrahamic bertradisi Semit. The Gospel of Krishna lebih kuno dibanding the Gospel of Christ. Amazing.

Di antara komunitas agama sering kali melakukan semacam selected judgment. Mukjizat yang dilakukan Kristus dianggap sebagai “sejarah” karena agama Kristen diklaim sebagai “agama langit.” Sementara itu, mukjizat yang dilakukan Krishna dianggap sebagai “legenda” atau “dongeng” karena agama Hindu dijustifikasi sebagai “agama bumi.” Ini merupakan tindakan yang tidak jujur dan pseudo-akademik.

Bila seorang Kristiani terlalu berani dan gegabah menjustifikasi bahwa teks “The Gospel” (Injil) atau pun “The New Testament” (Perjanjian Baru) dianggap lebih tua dibanding teks Veda Mahabharata, maka sebaiknya mereka merenungkan pernyataan S.N. Dasgupta, Ph.D. dalam karyanya “A History of Sanskrit Literature: Classical Period” (Calcutta: University of Calcutta, 1947), hlm. xlix sebagai berikut.

“Though the Mahabharata underwent probably more than one recension and though there have been many interpolations of stories and episodes yet it was probably substantially in a well-formed condition even before the Christian era.”

Bila seorang Kristiani berani dan terlalu gegabah menjustifikasi kisah kehidupan dan mukjizat Krishna hanya dianggap sebagai “dongeng”, maka sebaiknya mereka juga merenungkan pernyataan Christopher Isherwood dalam karyanya “The Upanishads”, hlm. 28 beliau berkata:

“Sri Krishna has been called the Christ of India. There are in facts, some striking parallels between the life of Krishna as related in the Bhagavatam and elsewhere and the life of Jesus of Nazareth. In both cases legend and fact mingle.”

(Sri Krishna disebut juga sebagai Kristus dari India. Adanya fakta kesejajaran yang amat mencolok antara kehidupan Krishna dengan kehidupan Kristus dari Nazaret – sebagaimana catatan yang termaktub dalam kitab Srimad Bhagavatam dan kitab2 lainnya. Dalam kasus keduanya, Kristus van Indie dan Kristus van Nazareth, legenda dan fakta telah bercampur aduk).

Jadi berdasarkan pada pernyataan S.N. Dasgupta, maka teks Veda Mahabharata adalah teks tertua dibanding teks Injil atau pun teks Perjanjian Baru. Bahkan berdasarkan pernyataan Christopher Isherwood tersebut, maka bisa dibuktikan bahwa dalam dokumen teks suci kedua agama ini (Hindu dan Kristen) ternyata kita dapat menemukan adanya upaya glorifikasi atas historisitas sang tokoh yang kemudian bergeser menjadi meta-historis. Itulah sebabnya kita harus bijaksana menghargai perbedaan dan keunikan iman siapapun. Belajar mengenai sesuatu, apalagi berkaitan dengan iman – maka itu suatu keniscayaan yang semakin mencerdaskan iman kita sendiri.