WEDA MAHABHARATA DAN TORAH: Menalar Ulang Kuasa Teks Suci:

הרא קרישנה הרא קרישנה
קרישנה קרישנה הרא הרא
הרא רמה הרא רמה
רמה רמה הרא הרא

Hitungan kalendar Yahudi, sekarang ini adalah 5779, sejajar dng kalender Masehi yakni 2019 M. Hitungan kalendar Kristen sekarang adalah 2019, sedangkan hitungan kalender Budha sekarang ini adalah 2563. Jadi kelahiran Sang Budha lebih awal dan lebih tua dibanding kelahiran Sang Kristus, 2019 M. Bila Sang Budha sebagai avatara ke-9 maka Sri Krishna adalah avatara ke-8. Jadi berkaitan dengan kajian kesejarahan, maka Krishna tidak mungkin eranya sezaman dengan Kristus. Artinya, masa kehidupan Krishna jauh lebih terdahulu dibanding era kehidupan Kristus. Vyasa-deva sang kompilator kitab Mahabharata saja hidup sebelum era Sang Buddha. Itu berarti bahwa Krishna memang dilahirkan jauh sebelum era Sang Buddha.

Dalam kitab Srimad Baghavatam Purana I.3.24. disebutkan:

tatah kalau sampravrtte
sammohaya sura dvisam
Buddho namnanjaya sutah
kikatesu bhavisyati.

“then the beginning of Kali-yuga, the Lord will appear as Lord Buddha, the son of Anjana in Kikatesu – the province of Gaya (Bihar) just for the purpose of delucing those who are envious of the faithful theist.”

Hitungan kalender Yahudi dimulai sejak pasca banjir Nuh. Persoalannya: cerita mengenai banjir Nuh itu terkodifikasi dalam Torah yang diterima oleh Musa, dan jarak antara Nuh hingga masa Nabi Musa itu ratusan tahun. Jadi wajar bila kehidupan Krishna lebih dulu ada dibanding masa kehidupan Musa. Dengan demikian, amat wajar bila ada kesejajaran cerita (common narrative) antara kitab Torah dan kitab Mahabharata, similar but not exactly the same.

Di dalam kitab Torah disebutkan adanya tokoh yang bernama Kain yang membunuh Habel, dan kemudian akhirnya Kain dikutuk serta diusir oleh TUHAN, migrasi menuju wilayah Timur (lihat Sefer Bereshit/Genesis 4:11-16). Pada Sefer Bereshit 4:16 ayatnya berbunyi demikian: וישב בארץ נוד קדמת עדן – vayyesev be-eretz Nod qidmat Eden (“dan dia/Kain menetap di tanah Nod, di sebelah Timur Eden”). Kain memang pergi ke arah Timur – yang dalam bahasa Hebrew (Ibrani) disebut “qidmat” (קדמת), yang berasal dari akar kata “qedem” (קדם), dan wilayah Timur itu yakni menuju kawasan Nod (נוד). Rashi (Rabbi Shlomo ben Yitzhak) menyatakan Istilah nama wilayah Nod bermakna “wandering” – the land where exiles wander about …… Notably, the eastern region always forms a place of refuge for murderers.” [1] . Rashi menafsirkannya sebagai wilayah הרוצחים – ha’rotzechim (para pembunuh). Sementara itu, di dalam kitab Mahabharata disebutkan adanya tokoh yang bernama Aswattama yang membunuh keturunan Pandawa, dan kemudian akhirnya Aswattama dikutuk oleh Krishna dan diusir, serta migrasi menuju wilayah Barat. Berkaitan ttg tokoh Aswattama yg diusir Sri Krishna hingga ke wilayah Arva-sthan yang merupakan wilayah kaum Mleccha (non-Arya) ini amat penting dikaji. Dalam bhs Sanskrit, istilah Arva-sthan berasal dari gabungan 2 kata kunci yakni Arva (migrasi/berpindah) + sthan (wilayah), coba bandingkan dng sebutan “Hindu-sthan” dalam bahasa Urdu, yang bermakna “wilayah Hindu.” Istilah Hindusthan juga berasal dari gabungan 2 kata kunci yakni Hindu (lembah Hindu/Sindhu) + sthan (wilayah).

Istilah “Arva” ini sepadan dengan istilah bahasa-bahasa rumpun Semit, terutama bahasa Arab dan Ibrani. Dalam bahasa Arab misalnya, muncul kata عرب (‘Arab) dan dalam bahasa Ibrani (Hebrew) muncul juga kata עבר (‘Ever/ ‘Eber) yang kedua istilah Semitic tersebut bermakna “nomad”, “berpindah”, “migrasi” dan “menyeberang.” Intinya istilah Arva atau Arva(n) terkait dng tradisi masyarakat Urban yang meniscayakan komunitas migrasi. Dan dalam kamus bahasa Sanskrit karya Vaman Shivram Apte ‘The Practical Sanskrit – English Dictionary’ (New Delhi: Motilal Banarsidas, 1987) atau pun karya Sir Monier Monier-Williams berjudul “A Sanskrit English Dictionary: Etymologically and Philologically Arranged with Special Reference to Cognate Indo-European Languages” (New Delhi: Motilal Banarsidas Publishers, 2011) ternyata dijelaskan bahwa istilah Arva(n) juga bermakna: “kejam”, “kasar”, “pembunuh.” Hal ini juga dibenarkan oleh pakar embriologi bhs Sanskrit, Made Harimbawa. Jadi Arva-sthan adalah wilayah Arva(n) yakni wilayah “para pembunuh.” Itulah sebabnya Aswattama telah migrasi ke wilayah Arvasthan dan memulai peradaban dan agama baru di sana. Bahkan Aswattama dikutuk hidup sangat lama (chiranjivi) utk memperbaiki kesalahannya dan menuntun anak keturunannya di wilayah “para pembunuh.” Begitu juga sang tokoh dari tradisi Semit yang bernama Kain, dia dikutuk hidup sangat lama utk memperbaiki kesalahannya dan agar dapat menuntun keturunannya di wilayah “para pembunuh.” Cerita yg sangat paralel ini sangat menarik. Kajian teks ini tentu saja akan menjembatani relasi kajian kesastraan yang berkaitan dengan analisis teks dari segi kebahasaan. Dalam konteks ideologi kepengarangan yang berbasis narasi pengisahan ini, apakah sang tokoh yang bernama Kain itu yang menyebarkan teks Semit ke wilayah Arya? Atau sebaliknya, justru sang tokoh yang bernama Aswatama itulah yang menyebarkan teks Arya ke wilayah Semit? Persoalan migrasi teks suci tersebut tergantung dari sudut pandang iman masing-masing.

Berdasarkan pembuktian manuskrip, kitab Mahabharata faktanya memang lebih tua dibanding kitab Torah (Pentateuch). Tulisan tangan tertua dari Taurat itu abad ke-2 SM., yakni manuskrip the Dead Sea Scrolls (naskah Laut Mati), sedangkan manuskrip yang berisi kutipan-kutipan bacaan teks kitab Mahabharata yang termaktub dalam buku gramatika bahasa Sanskrit karya Panini itu ternyata telah ditulis pada abad ke-4 SM. Jadi pastinya teks Mahabharata justru jauh lebih tua atau lebih kuno dari pada teks Torah (Pentateuch/ the Old Testament) karena secara de facto teks Panini ditulis pada abad ke-4 SM.

Bila Abraham lahir sekitar tahun 2165 SM., maka Sri Krishna telah lahir 4000 tahun SM. Jadi dengan demikian agama Hindu lebih tua dibanding agama Yahudi, dan Sri Krishna telah ada sebelum Abraham dilahirkan. Bahkan agama Hindu (Brahmanic religion) telah eksis sebelum kelahiran agama-agama Abrahamik yang disebut Abrahamic religions: Yahudi, Kristen dan Islam. Apalagi fakta membuktikan bahwa cerita mengenai Abraham justru termaktub dalam kitab Torah, kitab yang ditulis oleh Musa yang mana jarak antara Abraham dan Musa sendiri itu ratusan tahun. Jadi penentuan tahun kelahiran Abraham masih spekulatif. Satu-satunya alat bukti yang valid adalah menggunakan analisis terhadap teks TaNaKH (the Old Testaments) itu sendiri melalui kajian linguistik komparatif (filologis), yaitu dengan cara melacak adanya pengaruh kosakata Vedic Sanskrit dan Persia (Arya) dalam bahasa Ibrani Masoret (Semit). Silakan Anda pelajari karya Prof. James Barr dalam karyanya yang berjudul “Comparative Philology and the Text of the Old Testaments (Oxford: Clarendon Press, 1968), khususnya pada hlm. 101 – 111 beliau secara khusus membahas tentang subtema: “Loanwords and Words of non-Semitic Origin.”

Dalam buku saya berjudul “Aryo-Semitic Philology: the Semitization of Vedas and Sanskrit Elements in Hebrew and Abrahamic Texts (Surabaya: Airlangga University Press, 2018) terdapat kajian yang patut dipertimbangkan. Dalam karya riset saya ini hanya sekedar melanjutkan dan memperdalam kajian Prof. James Barr, Ph.D. yang saya fokuskan tentang adanya Sanskrit Loanwords dalam Biblical Hebrew sebagaimana yang termaktub dalam The Old Testaments (Perjanjian Lama). Hal ini semakin mempertegas validitas adanya migrasi teks Arya ke wilayah Semit.

Istilah הדו (Hoddu) dalam kitab TaNaKH (Torah Neviem ve Khetuvim) berbahasa Ibrani, sebagaimana yang termaktub dalam kitab Esther (Sefer Esther) yang ditulis di wilayah tradisi Arya, ternyata term הדו (Hoddu) merupakan istilah kosakata Sanskrit yang ter-Ibrani-kan atau Hebraized Sanskrit term. Dengan kata lain, istilah הדו (Hoddu) merupakan kosakata Judeo-Sanskrit sebagai bentuk Ibranisasi dari kosakata khas keagamaan Hindu dari tradisi Arya yang kemudian diadopsi dalam bahasa Ibrani Masoret (Biblical Hebrew).

Teks keagamaan Hindu bertradisi Arya ini migrasi ke wilayah Semit, maka muncullah kosakata “Hoddu” dalam bahasa Ibrani, yang berasal dari kata “Hindhu” dalam bahasa Sanskrit. Dan, istilah “Hindhu” dalam bahasa Sanskrit itu ternyata juga sepadan dng sebutan “Hindustan” dalam bahasa Urdu. Begitu pula munculnya istilah Ibrani תוכיים (tukiyyim, “parrots”) dalam Perjanjian Lama (the Old Testament) yang termaktub dalam kitab Raja2 (the book of Kings) dan kitab Tawarikh (the book of Chronicles) ternyata asalnya merupakan adopsi dari kosakata Tamil “tukiyyim” (parrots), dan istilah ini ternyata berasal dari kosakata bahasa Sanskrit yakni “sukim” (parrots). Menariknya, dalam kitab Talmud, Bava Batra 15.a.2 disebutkan:

 וירמיה כתב ספרו וספר מלכים וקינות 

(ve Yermiyahu katav sefero ve sefer Melachim ve Qinot – Jeremias scripsit librum suum et librum Regum et Threnos), yang artinya: “dan Nabi Yeremiyah sendiri yang telah menulis kitab Yeremiyah, begitu juga kitab Raja-raja dan kitab Ratapan.”

Dan fakta historis membuktikan bahwa Nabi Yeremiyah menulis kitab-kitab tersebut di wilayah yang terhegemoni tradisi Arya. Dengan demikian, tidaklah mengherankan bila istilah תוכיים (tukiyyim) merupakan bentuk Ibranisasi dari kosakata Sanskrit (“sukim”) yang bisa disebut sebagai Hebraized-Sanskrit term. Amazing.

Kajian berdasarkan analitis sejarah, linguistik, filologi, sastra, inskripsi, dan agama memang amat menarik untuk ditindaklanjuti. Itulah kewajiban kita para akademisi untuk jujur pada disiplin keilmuan masing-masing.

Footnotes

  1. (Sefer Bereshit/Genesis: A New Translation With A Commentary Anthologized from Talmudic, Midrashic and Rabbinic Sources, Brooklyn: Mesorah Publications, 2009:158)

YUDHISTHIRA DAN ELIA NAIK KE SORGA

Yudistira.jpg

Elia dan Musa memiliki mukjizat yang sama dengan Krishna. Bila Elia membelah sungai Yordan dengan jubahnya yang dipukulkan ke permukaan air sungai tersebut (II Raja-raja 2:7-8), dan Musa membelah laut Merah dengan mengulurkan tangannya ke arah permukaan air laut tersebut (Keluaran 14:21-22), maka dalam kitab suci Mahabharata dikisahkan bahwa Krishna membelah sungai Yamuna dengan mengulurkan telapak kakinya di permukaan air tersebut demi menyelamatkan Arjuna dan Subadra.

Dalam kitab suci Mahabharata, khususnya bagian Svargarohanika Parva juga dikisahkan tentang Yudhisthira yang naik ke sorga dengan kereta. Svargarohanika Parva merupakan parva terakhir dari 18 parva kitab suci Mahabharata, yang terdiri dari enam bab dan 209 bait sloka, yang sangat kecil jika dibandingkan keseluruhan bait sloka kitab Mahabharata yang berjumlah lebih dari 100.000 sloka. Adapun masalah yang diceritakan dalam parva ini berkaitan dengan pengalaman Raja Yudhisthira dengan badan kasarnya naik ke sorga dengan menggunakan kereta yang terbuat dari api, milik dewa Indra.

“Indra menyuruh Yudhisthira naik ke atas kereta kendaraannya. Tetapi apa jawab Yidhisthira: “Semua saudara-saudara hamba telah gugur di sini. Tanpa mereka hamba tidak mau pergi ke sorga…. Sakra menjawab: “Nanda dapat menjumpai saudara-saudara Anda di alam sorga. Mereka sebenarnya telah sampai di sana terlebih dahulu. Mereka semua telah tiba di sana bersama-sama dengan Krishna. Jangan bersedih wahai raja wangsa Bharata. Setelah meninggalkan jasadnya masing-masing, mereka telah sampai di sorga. Tetapi Anda akan menuju ke sana dengan jasad yang lengkap seperti keadaan sekarang ini… Dengan menumpang kereta dewata, dalam sekejab Yudisthira sampai ke alam sorga”,

See I Wayan Maswinara. Svarga Rohanika Parva: Mahabharata (Surabaya: Paramita, 1999), pp. 10-19.

Dalam kitab suci TaNaKH – kitab suci agama Yahudi maupun Alkitab Kristen, khususnya ayat yang termaktub dalam II Raja-raja 2:9-11 juga dikisahkan narasi yang sejajar dengan kisah Yudhisthira.

“Dan sesudah mereka sampai di seberang, berkatalah Elia kepada Elisa: “Mintalah apa yang hendak kulakukan kepadamu, sebelum aku terangkat dari padamu.” Jawab Elisa: “Biarlah kiranya aku mendapat 2 bagian dari rohmu.” Berkatalah Elia: “Yang kauminta itu adalah sukar. Tetapi jika engkau dapat melihat aku terangkat dari padamu, akan terjadilah kepadamu seperti yang demikian, dan jika tidak, tidak akan terjadi.” Sedang mereka berjalan terus sambil berkata-kata, tiba-tiba datanglah kereta berapi dengan kuda berapi memisahkan keduanya, lalu naiklah Elia ke sorga dalam angin badai”, Alkitab (Jakarta: LAI, 2001), p. 401.

Fakta teks “kisah” tersebut di atas dapat dijadikan pijakan untuk membuktikan adanya kesejajaran ayat suci ketiga agama besar, sebagaimana yang termaktub dalam dokumen kitab suci agama Hindu, agama Yahudi dan agama Kristen. Salah satunya berkaitan dengan kisah Yudhistira dan Elijah, yang sama-sama tidak mengalami kematian, sama-sama terangkat ke sorga, sama-sama naik ke sorga dengan menggunakaan kereta, dan kereta keduanya sama-sama terbuat dari api. Jadi Yudisthira dan Elijah sama-sama naik ke sorga dengan kereta yang terbuat dari api; bukan naik kereta api.

Apakah kisah Yudhisthira dan Elia tersebut keduanya merupakan sejarah/ history yang kebenarannya dapat dikonfirmasi dengan bukti faktual arkeologis melalui kajian historis-kritis, atau keduanya hanya merupakan legenda yang kebenarannya hanya dapat dikorfirmasi melalui teks dokumen kitab suci, atau keduanya hanya merupakan mitos, sesuai dengan “his story” komunitas keagamaan yang telah meyakininya?

Berkaitan dengan iman yang bernalar, maka tidak mungkin seseorang menjustifikasi kisah Yudhisthira sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci Mahabharata tersebut dianggap sebagai mitos (myth), sedangkan kisah Elia sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci TaNaKH dan Bible (Alkitab) dianggap sebagai sejarah. Bukankah kitab Mahabharata, kitab TaNaKH dan kitab Bible ketiganya merupakan kitab suci 3 agama besar yang berpijak pada teks dokumen suci keagamaan? Cobalah jujur pada diri sendiri untuk menjawabnya.

Yg jelas dalam salah satu kamus bahasa Inggris tertulis demikian: “If you describe a belief or explantion as a myth, you mean that many people believe it but it is actually untrue.

Begitu juga Louis Ginzberg juga menyatakan: “the word ‘legend’ is derived from the Latin ‘legenda’ meaning

‘to be read’, the term originally applied to narratives of the Middle Ages such as lives of of the saints, which had ‘to be read’ as a religious duty”, see Louis Ginzberg. Legends of the Bible (New York: the Jewish Publications Society of America, 1956), p. xi

Bila Anda mengatakan bahwa kisah Yudhisthira yang naik ke sorga sebagai mitos, maka orang lain juga akan berkata kepada Anda bahwa kisah Elia yang naik ke sorga juga sebagai mitos.

Kisah Yudhisthira yang naik ke sorga dengan kereta berapi merupakan kisah keagamaan yang lebih tua dibanding kisah Elia yang juga naik ke sorga dengan kereta yang terbuat dari api. Kisah Yudhisthira yang naik ke sorga merupakan teks keagamaan bertradisi Arya. Teks keagamaan bertradisi Arya secara historis telah migrasi ke wilayah Persia dan Babilonia. Itulah sebabnya ditemukan inskripsi Boghazkoi berbahasa Akkadia yang justru memuat nama dewa-dewa Hindu bertradisi Arya, termasuk nama dewa Indra. Selain itu, ketokohan Yudhisthira yang naik ke sorga tanpa melalui proses kematian ternyata terkait juga dengan kereta yang terbuat dari api, milik dewa Indra, dan dewa Indra sendiri yang berperan sebagai kusirnya, sebagaimana kisahnya yang termaktub dalam kitab suci Mahabharata, khususnya parva terakhir yakni Svargarohanika Parva. Menariknya, peran penting figur dewa Indra ternyata namanya juga sudah tercantum dalam inskripsi Boghazkoi, yakni dengan sebutan “In-da-ra” yang ditulis dalam bahasa Akkadia, salah satu cabang bahasa Semit, see E.F. Weidner, et.al (ed.). Keilschrifttexte aus Boghazkoi (Leipzig: J.C. Hinrichs’sche Buchhandlung, 1916).

Jadi, fakta adanya migrasi teks Arya ke wilayah Semit tersebut membuktikan adanya kontak budaya dan kontak bahasa antara tradisi Arya dengan tradisi Semit yang justru meniscayakan adanya perjumpaan teologis, yang juga meniscayakan pula terjadinya pengaruh teks Arya pada domain keagamaan di wilayah Babilonia. Dan dalam konteks ini, tatkala Yeremiyah mengalami pengasingan di wilayah Babilonia, maka muncullah kisah Elia dalam kitab Raja-raja. Siapakah sebenarnya penulis kitab Raja-raja? Havernick menyatakan bahwa Yeremiyah sendiri yang menulis kitab Raja-raja.

Havernick dengan mengutip teks Talmud, Baba Bathra fol. 15.1 beliau berkata: “Jeremias scripsit librum suum et librum Regum et Threnos (Jeremiyah sendiri yang menulis kitabnya, juga kitab Raja-raja, dan juga kitab Ratapan), see Keil and Delitzsch. Commentary on the Old Testaments, vol III. 1 and 2 Kings, 1 and 2 Chronicles (Massachusetts: Hendeickson Publishers, 2006), p. 9. Begitu juga sebagaimana teks sumber Judaism dalam teks Talmud Bavli, fourth order Neziqin, Baba Bathra 15a.2. disebutkan hal yang sama terkait siapa sebenarnya penulis teks kitab Raja-raja. Teks Talmud menyebutkan demikian: וירמיה כתב ספרו וספר מלכים וקינות (ve Yermiyahu katav sefero ve sefer Melachim ve Qinot), see Davidson and Rabbi Addin Steinsaltz. Noe Koren Talmud Bavli (Jerusalem: Koren Publishers).

Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa kitab Raja-raja yang memuat kisah Elia yang naik ke sorga dengan kereta yang terbuat dari api merupakan kisah yang baru muncul belakangan yang ditulis oleh Yeremiyah di Babilonia, yang bisa jadi bersumber dari tradisi keagamaan Arya yang migrasi di wilayah Babilonia.