TAHUN BARU HIJRIYAH: Menalar Hijrah Sang Nabi SAW Bertepatan dengan Perayaan Yom Kippur


בסם אללה אלרחמן אלרחים

Teks kitab suci bukan sekedar dokumen pewahyuan dalam paradigma teologis yang bersifat sakral, tetapi teks tersebut dapat pula dibaca sebagai rekaman kolektif dalam ranah historis yang bersifat profan. Dalam konteks inilah kita harus berani melakukan ‘pembacaan ulang’ terhadap teks sakral itu berdasarkan pembuktian linguistik dan sejarah.

Bila kita membaca teks sakral ini ada kata kunci secara linguistik yakni istilah abna’ ( ابناء ) yang terkait dng klaim kenabian. Tatkala membahas Qs. Al-Baqarah 2:146 seorang Muslim berdarah Yahudi Aschenazim yang bernama Muhammad Asad, penulis the Message of the Qur’an menyatakan: “……. this refers more explicit predictions of the future advent of the Prophet Muhammad.” Istilah ابناء (abna’) dalam bahasa Arab ini sejajar dng istilah בני (b’ney) dalam bahasa Ibrani/ Hebrew. Jadi teks kenabian pada ayat yang terkait dng term tersebut bukan sekedar bermakna alegoris tapi justru berlatar biologis. Coba perhatikan ayat ini. 

الذين اءتينهم الكتاب يعرفونه كما يعرفون ابناءهم (البقرة 2:146)
אלה אשר נתנו להם את הספר מכירים אותו כפי שמכירים את בניכם  
( סורת אלבקרה 2:146)

Elleh asher natannu lachem et has-Sefer machchirim oto kefiy shemmachchirim et b’neychem

Orang-orang yang telah Kami anugerahkan Al-Kitab mengenalnya (Muhammad SAW) seperti mengenal anak-anak mereka sendiri

(Al-Baqarah 2:146).

Berdasarkan bukti historis dari catatan teks2 Tarikh Islam, ternyata Nabi Muhammad SAW memang bukan disebut sebagai orang Arab ‘Aribah (Arab asli) tapi dia disebut sebagai orang Arab Musta’ribah (bukan asli Arab). Sementara itu, berdasarkan teks-teks Rabbinic dalam bahasa Ibrani (Hebrew), terutama Sefer ha-Galui yang membicarakan tentang Resh Geluta kaum Exilarch di Arabia dan Babilonia (the Babylonian Exilarchs), ternyata garis darah matrilineal Nabi Muhammad SAW itu bukan asli keturunan Quraish. Anda terhenyak dengan fakta ini?

Hasyim putra Quraish menikah dengan Salma binti Amr, dan Amr berasal dari bani Najjar, kaum Yahudi Musta’ribah di Yatsrib/ Medinta. Bani Najjar ini adalah kaum Yahudi diaspora yang tinggal di kota Yatsrib. Orang-orang Arab pra-Islam menyebutnya kota Yatsrib, sedangkan orang-orang Yahudi Musta’ribah menyebutnya bukan dng sebutan Yatsrib tapi dengan sebutan Medinta, sebagaimana yang tercatat dalam Targum Onkelos yang tertulis dalam bahasa Judeo-Aramic sejak pada abad 1 M., era pra-Islam. Jadi nama Medinta telah populer 6 abad sebelum era Islam. Kaum Yahudi Musta’ribah yakni kaum Yahudi Sephardim dan Mizrachim tahu betul wilayah Medinta ini sebelum Islam ada. Belum ada data yang menjelaskan mengapa kaum Yahudi Musta’ribah ini mendiami wilayah Yatsrib ini secara masif dan bergenerasi berdasarkan alasan2 historis, politis, ekonomi, sosial, kultural atau pun agama. Namun yang perlu digarisbawahi adalah identitas bani Hashim (anak cucu/keturunan Hashim) itu sendiri yang sangat unik, karena hanya melalui bani Hashim saja darah Ishmael dan darah Israel bercampur dalam satu klen/qabilah, yang kemudian dalam Tarikh Islam disebut qabilah bani Hashim. Tentu saja dalam Tarikh Islam, terutama saat era kenabian juga ada catatan sejarah tentang penderitaan bani Hashim yang diboikot dan diasingkan/dibuang (exile) oleh suku2 Arab lain gara-gara tampilnya seorang Nabi dari kalangan bani Hashim. Mengapa bukan hanya seorang/sekelompok orang dari keturunan bani Hashim yang diboikot dan dibuang atau diasingkan (exile)? Bukankah pengasingan itu berlangsung selama bertahun2 secara ekonomi, politik dan sosial? Mengapa seluruh bani Hashim yang dibuang (exile) dan bukan hanya Sang Nabi saja yang dibuang? Mengapa seluruh bani Hashim harus menanggung derita akibat ‘ulah’ satu orang di antara mereka dan seluruh bani Hashim siap membelanya? Nampaknya peristiwa sejarah pembuangan (exile) yang menimpa bani Hashim ini terkait juga dng hadits Shahih Muslim.

ان الله اصطفى كنانة من ولد اسماعيل و اصطفى قريسا من كنانة واصطفى قريسا بني هاشم و اصطفى ني بني هاشم (صحيح مسلم )

Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya ALLH telah memilih Kinanah dari antara keturunan Ishmael, dan memilih Quraish dari antara keturunan Kinanah dan memilih bani Hashim dari antara keturunan Quraish dan memilih aku – kata Nabi SAW – dari antara bani Hashim

(H.R. Imam Muslim).

Hashim selain menikah dng wanita Yahudi Musta’ribah dari bani Najjar yang bernama Salma binti Amr, yang melahirkan Syaiba (Abdul Muthalib), ternyata Hashim juga beristri wanita lain yang bernama Qaylah yang melahirkan baginya seorang anak bernama Asad. Asad ibn Hashim menikah dengan Zahna, putri seorang Resh Geluta kaum Exilarch ke-32 dari Babilonia yang bernama Hofnai, dan di Babilonia tersebut kaum exilarch ini di bawah pimpinan Resh Geluta (pimpinan kaum buangan), dan Resh Galuta sendiri secara Halacha adalah keturunan Nabi Daud AS. 

Adik ipar Hushiel ben Hofnai yang bernama Asad ibn Hashim, yang menikah dng Hazna binti Hofnai putri Exilarch ke-32 ini melahirkan Fathimah binti Asad, yang kemudian dinikahi oleh Abu Thalib bin Abdul Muthalib ibn Hashim. Namun, mengapa Asad ibn Hashim menamai putrinya dng nama Fathimah? Apa hubungannya nama ini dng Hazna binti Hofnai putri Exilarch ke-32 dari Babilonia? Sepertinya ada campur tangan Hazna dalam penamaan putrinya ini yang merupakan ingatan kolektifnya utk mengenang kembali nama lelulur dari keluarga suaminya, yakni Asad bin Hashim, keturunan Ishmael. Penamaan ini juga sebenarnya merupakan bukti bahwa nama Fathimah (فاطمة) bukanlah nama asli Arab, tetapi nama khas Ibrani yang muncul dalam Targum Yonathan berbahasa Judeo-Aramaic yang ditulis pada abad ke-1 M. Ishmael dalam Tagum Yonathan beristri פטימא (Phetima) sesuai teks Targum Yonatahan, Sefer Bereshit 21:21 yang menyebut sbb:

ויתיב במדברא דפראן ונסיב אתחא ית עדישא ותרבה ונסיבת ליה אמיה ית פטימא אתהא מארעא דמצרים 

‘And he dwelt in the wilderness of Pharan and took for a wife Adisha, but put her away. And his mother took for him Phatima to wife from the land of Egypt. 

Jadi bani Hashim secara garis ibu (garis matrilineal) – seutuhnya berdarah Yahudi dan sekaligus keturunan langsung dari Nabi Daud AS, seorang b’nei Yisrael. Dengan demikian, menurut cara pandang bangsa Yahudi, nasab Sang Nabi SAW yang mengikuti garis perempuan (nenek) keturunan Yahudi, maka status Nabi Muhammad SAW adalah seorang Yahudi, dan bukan seorang Arab Quraish. Dalam hukum agama Yahudi yang disebut Halacha, seorang yang terlahir Yahudi akan selalu disebut Yahudi secara de jure, dan keyahudiannya itu diturunkan melalui garis keturunan ibu. Sebaliknya, menurut cara pandang bangsa Arab, nasab Sang Nabi SAW yang mengikuti garis laki-laki (kakek) keturunan Arab, maka status Nabi Muhammad SAW adalah seorang Arab Quraisy, dan bukan seorang Yahudi. Namun demikian, garis darah Sang Nabi SAW secara de facto ternyata mewakili 2 kecerdasan datuknya, yang juga sebagai keturunan 2 orang Nabi besar, yakni keturunan Ismalil AS dan juga keturunan Ishak AS. Jika Anda penasaran silakan membaca Jurnal terbitan Hebrew University berjudul ‘A Note on Early Marriage Links between Qurashis and Jewish Women’, (1)

Data sejarah membuktikan adanya jalur politik dan keagamaan antara kaum Exilarch di Baghdad – Babilonia (Irak) dan di Medinta (Saudi Arabia) serta di wilayah Yaman pada era pra-Islam. Hal ini bisa dibaca melalui kemapaman teks Targum Onkelos dalam bahasa Judeo-Aramaic yang tersebar di kalangan Yahudi yang bermukim di wilayah Yaman, wilayah Hijaz dan wilayah Babilonia, dan Targum Onkelos ini dibaca secara meluas oleh semua kaum Yahudi di wilayah tsb.(2)

Bahkan kemapanan hubungan ketiga wilayah penting dan strategis ini dapat pula terbaca melalui kemunculan Targum Saadia berbahasa Judeo-Arabic yang menyebut nama kawasan Al-Madinah, sehingga tidak salah bila kaum Yahudi yang berdiaspora ke wilayah itu justru mendahului kedatangannya sebelum terbukukannya Targum Saadia dalam bahasa Judeo-Arabic, yang dalam Targum Onkelos disebut Medinta. Jadi Rav Saadia Gaon hanya merekam ingatan kolektif bangsa Yahudi tentang keberadaan wilayah Medinta ini dengan bahasa Judeo-Arabic, yg disebutnya Al-Madinah. Itulah sebabnya tatkala Nabi SAW hijrah ke kota Yatsrib, maka seluruh kaum Yahudi Musta’ribah tidak kaget tatkala Nabi SAW mengubah dan menamai kota tsb dng sebutan Al-Madinah menurut lisan bhs Arabic, sedangkan kaum Yahudi Musta’ribah sejak era pra-Islam menyebutnya Medinta menurut lisan bahasa Judeo-Aramaic. 

Dengan demikian, nama khas Madinah memang bukanlah hal yang asing di kalangan komunitas Yahudi secara umum, dan khusus kaum Yahudi Musta’ribah di jazirah Arabia. Setidaknya nama Madinah telah disebutkan dalam Targum Onqelos berbahasa Aram dengan sebutan Medinta מדנת, dan fakta ini juga dikonfirmasi oleh Phillip K. Hitti dalam bukunya the History of the Arab. Jadi, sebelum Nabi SAW mengganti nama kuno Yatsrib menjadi المدينة (Madinah), sebenarnya komunitas Yahudi Musta’ribah telah lama mengenal nama kota itu dalam versi bhs Aram מדנת (Medinta) yang menunjuk pada lokasi yang saat itu disebut Yastrib. Menariknya, kitab suci Quran juga menyebut nama kuno Yatsrib (al-Ahzab 33:13), dan nama kuno itu tetap diabadikan sebagai penanda identitas peradaban Arab, dan juga nama barunya, yakni nama Al-Madinah, sebagai penanda identitas peradaban Islam, yang sebelumnya kaum Yahudi juga telah menyebut kota tersebut dengan nama kuno Medinta sebagai penanda identitas peradaban Yahudi. Oleh karena itu, perpindahan Nabi SAW dari Mekkah ke kota Yatsrib yang disebut Medinta oleh kaum Yahudi Musta’ribah ternyata tidak hanya dibaca terkait dng peristiwa Hijrah an sich, tapi sekaligus pula menandai dan melanjutkan peradaban leluhurnya di kota Yatsrib yang disebut Medinta, yang kemudian oleh Nabi SAW diteguhkannya kembali dng nama Al-Madinah. Bahkan, peristiwa hijrahnya Sang Nabi SAW ke Medinta tersebut bertepatan dengan perayaan kaum Yahudi, yang dikenal dengan sebutan Yom Kippur (Hari Penebusan dosa). Pada saat Yom Kippur inilah Setan tak dapat menguasainya, sebagaimana yang tertulis dalam kitab Talmud. Kitab Talmud telah mencatat bahwa dalam 1 tahun ada 365 hari, Setan memang mampu menguasai 364 hari seluruhnya, termasuk hari perayaan Paskah, sedangkan hari yang ke-365, Setan justru tak mampu menguasainya. Itulah yang disebut hari Yom Kippur. Itulah hari Ashura. Menariknya, Quran juga menyebutkan bahwa sebutan/ istilah يوم (“yaum”, lit. “a day”) disebutkan sebanyak 365 kali, dan tidak lebih dari itu. Pada hari istimewa tersebut, seluruh umat Yahudi berpuasa dan membaca doa shema’ Yisrael dan doa ratapan “ADONAI Selichot”, terutama saat mereka berziarah di Yerusalem, khususnya di kawasan tembok ratapan. 

“Ashura is Yom Kippur, and as Ashura carries with it all the theological assumptions of Yom Kippur. In the Rabbinic typology, the Yom Kippur is the Day of Resurrection. Then Ashura – Yom Kippur must fall in the 7th month (see 1 Kings 8:2), considering when the Prophet SAW arrived to Madina. If Ashura was the Yom Kippur in the Jewish month of Tishrei (lit. “fall”), it was Muharam the first month in 622 CE according to the modern Hijri calendar.”

عَنِ الشَّعْبِيِّ، أَنَّه قَالَ: أَرَّخَ بَنُو إِسْمَاعِيلَ مِنْ نَارِ إِبْرَاهِيمَ، ثُمَّ أَرَّخُوا مِنْ بُنْيَانِ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ الْبَيْتَ، ثُمَّ أَرَّخُوا مِنْ مَوْتِ كَعْبِ بْنِ لُؤَيٍّ، ثُمَّ أَرَّخُوا مِنَ الْفِيلِ، ثُمَّ أَرَّخَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ مِنَ الْهِجْرَةِ، وَذَلِكَ سَنَةَ سَبْعَ عَشْرَةَ أَوْ ثَمَانِيَ عَشْرَةَ

وَرَوَى مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، وَعَنْ مُحَمَّدِ بْنِ صَالِحٍ، 

Bani Ishmael telah menetapkan kalender berdasarkan peristiwa-peristiwa penting: 

1. Ibrahim AS selamat dari api Namrud.
2. Ibrahim dan Ishmael membangun pondasi Ka’bah.
3. Wafatnya Ka’ab bin Lu’ay.
4. Kedatangan Abrahah bersama pasukan bergajah.
5. Hijrah Nabi SAW ke Madinah. 

(Lihat kitab “Bidayah al-Nihayah”, bab “Tarikh al-Islam fil Hijriyah”).

Berkaitan dng peristiwa hijrah Sang Nabi SAW menuju kota leluhur, yang saat itu disebut מדנת (Medinta), tatkala memasuki kota bersejarah tersebut ternyata Sang Nabi mengendarai seekor onta. Dan berkaitan dng hal ini, dalam suratnya yang disebut אגרת תימן (Iggeret Teyman), Rabbi Moshe ben Maimon (Rambam) menjelaskan kepada komunitas Yahudi Temanim di wilayah Yaman tentang nas yang termaktub dalam Yesaya 21:7 sbb.

שרכב חמור - הוא המשיה שנאמר בו (זכריה ט:ט). עני ורוכב על חמור ועל עיר בן אתנות. ובא תכף - עמידת רוכב על גמל והוא מלך ערב. 

She’rokev hamor hu ham-Moshiah shenne’emar bo (Zecharyah 9:9). ‘Ani ve rochev ‘al hamor ve ‘al ‘ayyir ben atonot, u vo techef – ’emidat rochev ‘al gamal, ve hu melech ‘Arab. 

Now the rider on donkey is Mashiah who is described as humble, riding on a donkey (Zachariah 9:9). He will come soon after the rise of the man riding a camel. That is the Arab empire/ the king of Arab.”

Bahkan, tatkala menjelaskan nas Tehillim 120:5 kepada komunitas Yahudi Temanim di Yaman, Rambam juga menjelaskan sbb:

וראו איך דכר קדר משאר בני ישמעאל - לפי שהאש הוא מבני קדר. 

U re’u iych zechar Qedar missear b’nei Yishmael lefiy she ha-ish hu mi b’nei Qedar. 

Note how the verse sets apart Kedar from the other children of Ishmael. This is done because as everyone knows that the man is a descendant of the people of Kedar. 

Berkaitan dng peristiwa hijrah Sang Nabi SAW menuju kota leluhur, yang saat itu disebut מדנת (Medinta), tatkala memasuki kota bersejarah tersebut ternyata Sang Nabi mengendarai seekor onta dan bertepatan dengan perayaan Yom Kippur? Dan berkaitan dng hal ini, dalam suratnya yang disebut אגרת תימן (Iggeret Teyman), Rabbi Moshe ben Maimon (Rambam) menjelaskan kepada komunitas Yahudi Temanim di wilayah Yaman tentang nas yang termaktub dalam Yesaya 21:7 sbb.

שרכב חמור - הוא המשיה שנאמר בו (זכריה ט:ט). עני ורוכב על חמור ועל עיר בן אתנות. ובא תכף - עמידת רוכב על גמל והוא מלך ערב. 

She’rokev hamor hu ham-Moshiah shenne’emar bo (Zecharyah 9:9). ‘Ani ve rochev ‘al hamor ve ‘al ‘ayyir ben atonot, u vo techef – ’emidat rochev ‘al gamal, ve hu melech ‘Arab. 

Now the rider on donkey is Mashiah who is described as humble, riding on a donkey (Zachariah 9:9). He will come soon after the rise of the man riding a camel. That is the Arab empire/ the king of Arab.”

Bahkan, tatkala menjelaskan nas Tehillim 120:5 kepada komunitas Yahudi Temanim di Yaman, Rambam juga menjelaskan sbb:

וראו איך דכר קדר משאר בני ישמעאל - לפי שהאש הוא מבני קדר. 

U re’u iych zechar Qedar missear b’nei Yishmael lefiy she ha-ish hu mi b’nei Qedar. 

Note how the verse sets apart Kedar from the other children of Ishmael. This is done because as everyone knows that the man is a descendant of the people of Kedar. 

Penjelasan dan ulasan Rabbi Moshe ben Maimon (Rambam) justru merupakan pernyataan teologis dan sekaligus pernyataan historis. Dalam konteks pernyataan teologis, Rambam hanya menyebut Muhammad SAW sebagai האש ha-Ish (Orang itu), tidak menyebutnya הנביא ha-Neviyya (Sang Nabi itu). Memang dalam hal ini Rambam tidak mengakui Muhammad SAW sebagai seorang Nabi karena ini menyangkut persoalan eksklusivitas pengakuan iman keagamaannya. Namun, dalam konteks pernyataan historis, Rambam mengakui bahwa Muhammad SAW adalah keturunan Kedar, keturunan Ishmael. Dan ini pernyataan dalam dokumen non-Islam, yang tidak ada kaitannya dng klaim keagamaan Islam yang menyatakan bahwa Muhammad SAW adalah seorang Nabi. Inilah fakta historis yang bisa dianggap sebagai dokumen pembanding.

Baruch HASHEM.

Footnotes

  1. See Jerusalem Studies in Arabic and Islam vol.10 (1987), references to Jewish ladies of “Noble Birth” are descended from the Exilarch.
  2. Silakan membaca buku The Targum of Onkelos to Genesis: A Critical Enquiry into the Value of the Text Exhibited by Yemen Mss. Compared with that of the European Recensian Together with Some Specimen Chapters of the Oriental Text (Henry Barnstein, 1896).

Arabic Bible in Early Egyptian Christianity

 

In 640 – 641 C.E. Egypt was conquered by the Arabs, in the era of Umar ibn Khattab the Caliph, and very early the process of its Arabization was initiated. In the beginning the Muslim administration was always bilingual, either Greek and Arabic, or Coptic and Arabic. But Arabic soon became the main language of the administration. In 780 C.E. it became the only recognized language. From that moment, any Egyptian wanting to make a career in administration had to know Arabic perfectly. By the ninth century most educated Copts spoke and wrote in Arabic. Coptic was progressively disappearing, at least in the cities1.  But the Copts then developed their religious identity and how they had to survive their faith in the era of domination of Islam in Egypt. In this context, they created the identity of language via using the Arabic Biblical version.

Nowadays the Copts use the authority of Van Dyck’s Arabic Bible. They published the first edition of Arabic New Van Dyck Bible with cross references in 2013 which so-called الكتاب المقدس با لشواهد الكتابيه (the Holy Bible with Cross References), published by the Bible Society of Egypt. But, the Arabic version normally used in the Coptic church during the Middle Ages was the one produced by the Egyptian Jewish exegate Sa’id ibn Yusuf al-Fayyumi, known in Jewish circles as Saadia Gaon (Rasag). Known for his works on Hebrew linguistics, Halacha, and Jewish philosophy. He was the first important rabbinic figure to write extensively in Arabic, he was then considered the founder of Judeo-Arabic literature. He was born in Egypt about 892 and died in Iraq in 942 CE. His Arabic translation based on the Masoretic Hebrew text with a slight paraphrase was widely adopted by the Coptic church. This is clear from the numerous manuscripts copied by the Copts, which date back to the thirteenth century and which are spread today around the world2 .

The Copts, however, knew the existence of both Mecca and Medina belong to Shem, via reading the Arabic Bible as the work of Saadia Gaon on the Pentateuch. The work mentions the names of Macca and Medina as followed here (Genesis, chapter 10, verse 30):

לשון הקודש: בראשית, י, ל: וַיְהִי מוֹשָׁבָם מִמֵּשָׁא בֹּאֲכָה סְפָרָה הַר הַקֶּדֶם

265 == תפסיר: ל) וכאן מסכנהם מן מכה. אלי’ אן תגי אלי’ אלמדינה אלי’ אלגבל אלשרקי

265 == ערבית: 30 وَكَانَ مَسْكَنُهُ مِنْ مَكَّةَ، إِلَى أَنْ تَجِيءَ إِلَى الْمَدِينَةِ إِلَى الجَبَلِ الشَّرْقِي

Noah has three sons: Shem, Ham and Yafet. Both towns, Macca and Medina, belong to the descendants of Shem only, as below: Noah – Shem – Arpachshad – Shelach – Ebber – Yoktan – 13 childrens. These Yoktan’s 13 children have settled in many places including the place Mesha [= Mecca] and Sefara [= Medina]. In other words, Macca and Medina belong to Shem’s descendants. Ham is the father of Cush, Mizraim (the grandfather of the Palestinians), Phut and Canaan. The territory of the Palestinians is in North Sinai. The territory of Canaan is in the land of Israel. Mecca and Medina exist 4 generations before the birth of Ishmael, which is a descendant of Shem on his father’s side (=Avraham), and is a descendant of Ham on his mother’s side (=Hagar of Egypt, Paroah’s daughter). Does Ishmael belong to Shem’s descendants or to Ham’s descendants? Obviously, Ishmael the son of Abraham inherited the land of Shem’s descendants in the Hejaz, in Arabian peninsula.

Rabbi David Kimchi (Radak) also confirmed the existence of Mecca in the Sefer Bereshit (Genesis) 10:30 according to the statement of Rav Saadia Gaon in his Judeo-Arabic Targum. Radak (1160 – 1235 CE.) was a medieval rabbi, famous biblical commentator, philosopher and grammarian. He was the son of Rabbi Joseph Kimchi and the brother of Rabbi Moshe Kimchi, both biblical commentators and grammarians. Rabbi David Kimchi (Radak) however confirmed it and he said:

ומשא, תרגם רב סעדיה ז”ל מכא שהולכים הישמעאלים לחוג שם

u-Mesha, Targum Rav Saadia Gaon zichrono livracha Makka sheholachim ha-Yishmaelim le Chog shem.

(“Rav Saadia Gaon understands the meaning of the word Mesha as what is known nowadays as Mecca, the city to which the Ishmaelites make their pilgrimage, the Hajj”) 3,

The names of מכה (Makkah) and מדנת (Medinta) in the Saadia’s Targum are amazing terms in the light of rabbinic chains, intellectual genealogy (silsilah) and networks developed in Jerusalem, Babylonia and Yaman. The majority of rabbinic studies on the Jewish history in the Middle East have highlighted the grand rabbi, Rabban Yochanan ben Zakkai (1 – 8 CE.). Rabban Yochanan ben Zakkai had one student in the Galilee, Hanina ben Dosa who remained there after Yochanan returned to Jerusalem. Hanina ben Dosa was the most prominent Tannaim of the first century who studied with Yochanan ben Zakkai (1 – 8 CE.) 4, Thus, Rabbi Hanina ben Dosa is a scholar, and a pupil of Yochanan ben Zakkai (Ber. 34b). While he is reckoned among the Tanaim and is quoted in connection with a school and its disciples, no halachot but few haggadot are preserved as from him (Baraita of Rabbi Eliezer xxix, xxxi; Midr. Mishle x.2) 5.

In the “Sefer Ha-Galui” Rav Saadia Gaon writes that he belonged to the noble family of Shelah son of Jehudah the fourth son of Yacov (Genesis 46:12) and counted among his ancestors Rabbi Hanina ben Dosa (the first century CE.) 6. Therefore, Rav Saadia Gaon previously recognized and transmitted about the existence of the names of מכה (Makkah) and מדנת (Medinta) from his noble forefathers, and he really received and inherited his intellectual genealogy on the Midrash haggadot from Rabbi Hanina ben Dosa, a prominant student of Rabban Yochanan ben Zakkai (1-8 CE.), a famous pupil of Rabbi Hillel the Elder, the most prominent scholar of the Soferim era.

Meanwhile, where is Eden? The question of where Eden might have been rests on how we read Sefer Bereshit (Genesis) 2:10-14. Now the text looks like it is describing real geography, which its mention of rives, the land of Havilah and its gold and other stones. But what then the gold of Havilah? There is a known source of gold in Arabia, south of modern Medina, and from near those gold fields a now-dry river once arose, flowing toward the Persian Gulf through modern Kuwait 7.

The name of Mecca was derived from מכא (Makka) or מכה (Makkah), and Yamanite Jews called the town as מכה רבה (Makkah rabah), meaning “Makkah the Great” and this Yamanite Hebrew name was a famous city among the Yamanite Jews, so that why the Sabaeans previously knew the city as Makuraba. Amazingly, the Macoraba of Ptolemy cames from Sabaean term Makuraba, meaning “sanctuary.” Obviously, Ptolemy adopted the Sabaean name to refer to the ancient town in Greek as “Macoraba” in his work “Geography”, ed. Nobbe, Bk. VI, ch. 7, 32

Prof. Philip K. Hittti, a professor of Semitic Literature at Princeton University mentioned about the existence of both Mecca and Medina as the ancient towns in Arabian peninsula in his work. Prof. Philip K. Hitti said:

“The name Makkah, the Macoraba of Ptolemy, comes from Sabaean Makuraba, meaning sanctuary, which indicates that it owes its foundation to some religious association and therefore must have been a religious centre long before Muhammad was born… “Yathrib (Y-th-r-b of the Sabaean inscriptions, Jathrippa of Ptolemy)… In the hands of its Jewish inhabitants, the banu Nadir and banu Qurayzah, the town became a leading agricultural centre… It was possibly these Aramaic-speaking Jews who changed the name Yathrib into Aramaic Medinta, the explanation of the name al-Madinah (Medina) as “the town” (of the Prophet) being comparatively late one. The two leading non-Jewish tribes were the Aws and the Khazraj, who came originally from al-Yaman” 8.

Footnotes:

  1. See Khalil Samir, SJ. Arabic Sources for Early Egyptian Christianity (Philadelphia: Fortress Press, 1992), p. 83.
  2. See Khalil Samir, SJ. Arabic Sources for Early Egyptian Christianity (Philadelphia: Fortress Press, 1993), p. 87
  3. See Torat Chayim Chamisha Chumshe Torah (Yerusalem: Mossad Harav Kook, 1986), p. 139.
  4. See Jacob Neusner. “A Life of Rabban Yohanan ben Zakkai” (Leiden: EJ. Brill, 1962), p. 29.
  5. See Jacob Neusner. “The Dictionary of Ancient Rabbis. Selections from the Jewish Encyclopaedia (Massachusetts: Hendrickson Publishers, 2003), p. 182.
  6. See Rabbi Yomtov Chaim. “Torah The Hebrew Pentateuch: Original Commentary in Arabic by Rabbi Saadia Gaon 889-942 CE. (Jerusalem: Project Saadia Gaon, 2015), pp. iii-iv
  7. See C. John Collins. Genesis 1 – 4. A Linguistic, Literary and Theological Commentary (New Jersey: P & R Publishing, 2006), p. 120.
  8. See Philip K. Hitti. “History of the Arabs: from the Earliest Times to the Present” (New York: the Macmillan Company, 1951), pp. 103-104