Alkitab Berbahasa Arab dalam Tradisi Kekristenan Awal di Mesir

 

Pada 640 – 641 C. E. Mesir ditaklukkan oleh orang-orang Arab, di era Khalifah Umar ibn Khattab, dan tentu saja hal ini menandai adanya permulaan proses Arabisasi-nya di wilayah Mesir. Pada mulanya pemerintahan Muslim di Mesir menggunakan dwibahasa dalam persoalan administrasinya, di antaranya menggunakan bahasa Yunani dan Arab, atau bahasa Koptik dan Arab. Namun, bahasa Arab pada akhirnya segera menjadi bahasa utama administrasi yang menggantikan bahasa Yunani dan bahasa Koptik. Pada 780 M. bahasa Arab telah menjadi satu-satunya bahasa yang resmi di Mesir. Sejak saat itu, setiap orang Mesir yang ingin berkarir di bidang administrasi pemerintahan harus tahu bahasa Arab dengan sempurna.

Pada abad ke-19 orang-orang Kristen Koptik yang berpendidikan dipastikan menggunakan bahasa Arab sebagai lingua franca, dan mereka berbicara serta menulis dalam bahasa Arab. Akhirnya, bahasa Koptik semakin menghilang, setidaknya di kota-kota besar, kecuali hanya di wilayah pinggiran. Bahasa Arab menjadi bahasa bergengsi yang menandai strata sosial sebagai penanda identitas, sedangkan bahasa Koptik menjadi bahasa kelas pinggiran, dan termarginalkan1. Namun, akhirnya orang-orang Kristen Koptik mengembangkan peniscayaan identitas agama mereka melalui bahasa sebagai penanda identitas masyarakatnya, serta bagaimana mereka akhirnya harus mempertahankan iman mereka di era dominasi Islam di wilayah Mesir. Dalam konteks ini, mereka menciptakan identitas bahasa melalui penggunaan Alkitab berbahasa bahasa Arab. Itu artinya, Alkitab bahasa Arab di Mesir baru muncul era pasca-Islam; dan bukan muncul sejak era pra-Islam.

Saat ini orang-orang Kristen Koptik menggunakan otoritas Alkitab berbahasa Arab versi Van Dyck. Mereka menerbitkan edisi pertama edisi Arabic New Van Dyck Bible dengan referensi silang pada tahun 2013 yang disebut الكتاب المقدس با لشواهد الكتابيه (Alkitab al-Muqaddas bisy-Syawahid al-kitabiyah), yakni Alkitab dengan Referensi Silang), yang diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Mesir. Namun, Alkitab versi berbahasa Arab yang biasanya digunakan di gereja-gereja Koptik selama Abad Pertengahan justru mereka menggunakan Alkitab berbahasa Arab yang diproduksi oleh komunitas orang-orang Yahudi di Mesir, yakni karya Sa’id bin Yusuf al-Fayyumi, yang dikenal di kalangan Yahudi sebagai Rav Saadia Gaon (Rasag). Beliau sangat dikenal karena karya-karyanya berkaitan dengan Linguistik bahasa Ibrani, Halacha, dan filsafat khas Yahudi. Beliau adalah seorang rabi yang paling awal yang menuliskan karya-karyanya dalam bahasa Judeo-Arabic yang dikenal secara luas; dan dia kemudian dianggap sebagai peletak dasar kesastraan Yahudi berbahasa Arab dengan menggunakan aksara khas Judeo-Arabic.

Rav Saadia Gaon lahir di Mesir sekitar tahun 892 M. dan beliau meninggal di Irak pada tahun 942 M. Terjemahan kitab Torah dalam versi bahasa Arab yang disebut Targum Aravit dikerjakannya berdasarkan versi asli teks bahasa Ibrani Masoret dengan sedikit parafrase, yang kemudian Targum Aravit ini akhirnya diadopsi secara masif oleh seluruh gereja Koptik di Mesir, terutama pada Abad Pertengahan. Hal ini dapat dibuktikan adanya banyaknya manuskrip-manuskrip kuno yang disalin oleh para rahib dan orang-orang Kristen Koptik, yang berdasarkan pembuktian kekunoan manuskripnya ternyata justru berasal dari abad ke-13, dan manuskrip-manuskrip itu ternyata telah tersebar di seluruh dunia2.

Hal ini semakin jelas bahwa pada Abad Pertengahan, semua orang Kristen Koptik telah mengenal dan menggunakan Alkitab berbahasa Arab versi Saadia Gaon. Itu berarti bahwa orang-orang Kristen Koptik telah mengetahui dan mengenal keberadaan kota Mekah dan kota Madinah sesuai yang termaktub dalam Alkitab versi bahasa Arab karya Saadia Gaon. Dan berdasarkan teks Alkitab berbahasa Arab tersebut menyebutkan bahwa Makkah dan Medinah adalah wilayah milik Sem. Dengan kata lain, melalui pembacaan Alkitab berbahasa Arab karya Saadia Gaon, khususnya kelima kitab Musa (Torah) maka kaum Kristen Koptik telah mengenal Makkah dan Medinah. Nama wilayah Makkah dan Medinah sebagaimana tercatat dalam kitab Kejadian 10:30:

לשון הקודש: בראשית, י, ל: וַיְהִי מוֹשָׁבָם מִמֵּשָׁא בֹּאֲכָה סְפָרָה הַר הַקֶּדֶם

265 == תפסיר: ל) וכאן מסכנהם מן מכה. אלי’ אן תגי אלי’ אלמדינה אלי’ אלגבל אלשרקי

265 == ערבית: 30 وَكَانَ مَسْكَنُهُ مِنْ مَكَّةَ، إِلَى أَنْ تَجِيءَ إِلَى الْمَدِينَةِ إِلَى الجَبَلِ الشَّرْقِي

Nuh memiliki tiga putra: Sem, Ham dan Yafet. Kedua kota, yakni Makkah dan Medinah, adalah milik keturunan Sem saja, sebagaimana yang termaktub di bawah ini:

Noah – Shem – Arpachshad – Shelach – Eber – Yoktan – 13 keturunan; dan dari 13 generasi keturunan Yoktan ini telah menetap di banyak tempat termasuk wilayah yang disebut Mesha [= Mekah] dan Sefara [= Madinah]. Dengan kata lain, Makkah dan Medinah adalah milik keturunan Shem. Ham adalah ayah dari Kush, Mizraim (kakek dari Palestina), Phut and Canaan.

Wilayah Palestina ada di Sinai bagian utara. Wilayah Kanaan ada di tanah Israel. Di kawasan Mekkah dan Medinah ternyata ada 4 generasi yang mendiaminya dan mereka ada sebelum kelahiran Ismael, dan Ishmael adalah keturunan Sem dari pihak ayahnya  Avraham), dan merupakan keturunan Ham dari sisi ibunya  Hagar dari Mesir, putri Fir’aun).

Apakah Ismael termasuk keturunan Shem atau keturunan Ham? Jelas, Ismael putra Abraham telah mewarisi tanah warisan Sem di semenanjung Arabia.

Footnotes:

  1. Lihat Khalil Samir, SJ. Arabic Sources for Early Egyptian Christianity (Philadelphia: Fortress Press, 1992), p. 83.
  2. Lihat Khalil Samir, SJ. Arabic Sources for Early Egyptian Christianity (Philadelphia: Fortress Press, 1993), p. 87.

Arabic Bible in Early Egyptian Christianity

 

In 640 – 641 C.E. Egypt was conquered by the Arabs, in the era of Umar ibn Khattab the Caliph, and very early the process of its Arabization was initiated. In the beginning the Muslim administration was always bilingual, either Greek and Arabic, or Coptic and Arabic. But Arabic soon became the main language of the administration. In 780 C.E. it became the only recognized language. From that moment, any Egyptian wanting to make a career in administration had to know Arabic perfectly. By the ninth century most educated Copts spoke and wrote in Arabic. Coptic was progressively disappearing, at least in the cities1.  But the Copts then developed their religious identity and how they had to survive their faith in the era of domination of Islam in Egypt. In this context, they created the identity of language via using the Arabic Biblical version.

Nowadays the Copts use the authority of Van Dyck’s Arabic Bible. They published the first edition of Arabic New Van Dyck Bible with cross references in 2013 which so-called الكتاب المقدس با لشواهد الكتابيه (the Holy Bible with Cross References), published by the Bible Society of Egypt. But, the Arabic version normally used in the Coptic church during the Middle Ages was the one produced by the Egyptian Jewish exegate Sa’id ibn Yusuf al-Fayyumi, known in Jewish circles as Saadia Gaon (Rasag). Known for his works on Hebrew linguistics, Halacha, and Jewish philosophy. He was the first important rabbinic figure to write extensively in Arabic, he was then considered the founder of Judeo-Arabic literature. He was born in Egypt about 892 and died in Iraq in 942 CE. His Arabic translation based on the Masoretic Hebrew text with a slight paraphrase was widely adopted by the Coptic church. This is clear from the numerous manuscripts copied by the Copts, which date back to the thirteenth century and which are spread today around the world2 .

The Copts, however, knew the existence of both Mecca and Medina belong to Shem, via reading the Arabic Bible as the work of Saadia Gaon on the Pentateuch. The work mentions the names of Macca and Medina as followed here (Genesis, chapter 10, verse 30):

לשון הקודש: בראשית, י, ל: וַיְהִי מוֹשָׁבָם מִמֵּשָׁא בֹּאֲכָה סְפָרָה הַר הַקֶּדֶם

265 == תפסיר: ל) וכאן מסכנהם מן מכה. אלי’ אן תגי אלי’ אלמדינה אלי’ אלגבל אלשרקי

265 == ערבית: 30 وَكَانَ مَسْكَنُهُ مِنْ مَكَّةَ، إِلَى أَنْ تَجِيءَ إِلَى الْمَدِينَةِ إِلَى الجَبَلِ الشَّرْقِي

Noah has three sons: Shem, Ham and Yafet. Both towns, Macca and Medina, belong to the descendants of Shem only, as below: Noah – Shem – Arpachshad – Shelach – Ebber – Yoktan – 13 childrens. These Yoktan’s 13 children have settled in many places including the place Mesha [= Mecca] and Sefara [= Medina]. In other words, Macca and Medina belong to Shem’s descendants. Ham is the father of Cush, Mizraim (the grandfather of the Palestinians), Phut and Canaan. The territory of the Palestinians is in North Sinai. The territory of Canaan is in the land of Israel. Mecca and Medina exist 4 generations before the birth of Ishmael, which is a descendant of Shem on his father’s side (=Avraham), and is a descendant of Ham on his mother’s side (=Hagar of Egypt, Paroah’s daughter). Does Ishmael belong to Shem’s descendants or to Ham’s descendants? Obviously, Ishmael the son of Abraham inherited the land of Shem’s descendants in the Hejaz, in Arabian peninsula.

Rabbi David Kimchi (Radak) also confirmed the existence of Mecca in the Sefer Bereshit (Genesis) 10:30 according to the statement of Rav Saadia Gaon in his Judeo-Arabic Targum. Radak (1160 – 1235 CE.) was a medieval rabbi, famous biblical commentator, philosopher and grammarian. He was the son of Rabbi Joseph Kimchi and the brother of Rabbi Moshe Kimchi, both biblical commentators and grammarians. Rabbi David Kimchi (Radak) however confirmed it and he said:

ומשא, תרגם רב סעדיה ז”ל מכא שהולכים הישמעאלים לחוג שם

u-Mesha, Targum Rav Saadia Gaon zichrono livracha Makka sheholachim ha-Yishmaelim le Chog shem.

(“Rav Saadia Gaon understands the meaning of the word Mesha as what is known nowadays as Mecca, the city to which the Ishmaelites make their pilgrimage, the Hajj”) 3,

The names of מכה (Makkah) and מדנת (Medinta) in the Saadia’s Targum are amazing terms in the light of rabbinic chains, intellectual genealogy (silsilah) and networks developed in Jerusalem, Babylonia and Yaman. The majority of rabbinic studies on the Jewish history in the Middle East have highlighted the grand rabbi, Rabban Yochanan ben Zakkai (1 – 8 CE.). Rabban Yochanan ben Zakkai had one student in the Galilee, Hanina ben Dosa who remained there after Yochanan returned to Jerusalem. Hanina ben Dosa was the most prominent Tannaim of the first century who studied with Yochanan ben Zakkai (1 – 8 CE.) 4, Thus, Rabbi Hanina ben Dosa is a scholar, and a pupil of Yochanan ben Zakkai (Ber. 34b). While he is reckoned among the Tanaim and is quoted in connection with a school and its disciples, no halachot but few haggadot are preserved as from him (Baraita of Rabbi Eliezer xxix, xxxi; Midr. Mishle x.2) 5.

In the “Sefer Ha-Galui” Rav Saadia Gaon writes that he belonged to the noble family of Shelah son of Jehudah the fourth son of Yacov (Genesis 46:12) and counted among his ancestors Rabbi Hanina ben Dosa (the first century CE.) 6. Therefore, Rav Saadia Gaon previously recognized and transmitted about the existence of the names of מכה (Makkah) and מדנת (Medinta) from his noble forefathers, and he really received and inherited his intellectual genealogy on the Midrash haggadot from Rabbi Hanina ben Dosa, a prominant student of Rabban Yochanan ben Zakkai (1-8 CE.), a famous pupil of Rabbi Hillel the Elder, the most prominent scholar of the Soferim era.

Meanwhile, where is Eden? The question of where Eden might have been rests on how we read Sefer Bereshit (Genesis) 2:10-14. Now the text looks like it is describing real geography, which its mention of rives, the land of Havilah and its gold and other stones. But what then the gold of Havilah? There is a known source of gold in Arabia, south of modern Medina, and from near those gold fields a now-dry river once arose, flowing toward the Persian Gulf through modern Kuwait 7.

The name of Mecca was derived from מכא (Makka) or מכה (Makkah), and Yamanite Jews called the town as מכה רבה (Makkah rabah), meaning “Makkah the Great” and this Yamanite Hebrew name was a famous city among the Yamanite Jews, so that why the Sabaeans previously knew the city as Makuraba. Amazingly, the Macoraba of Ptolemy cames from Sabaean term Makuraba, meaning “sanctuary.” Obviously, Ptolemy adopted the Sabaean name to refer to the ancient town in Greek as “Macoraba” in his work “Geography”, ed. Nobbe, Bk. VI, ch. 7, 32

Prof. Philip K. Hittti, a professor of Semitic Literature at Princeton University mentioned about the existence of both Mecca and Medina as the ancient towns in Arabian peninsula in his work. Prof. Philip K. Hitti said:

“The name Makkah, the Macoraba of Ptolemy, comes from Sabaean Makuraba, meaning sanctuary, which indicates that it owes its foundation to some religious association and therefore must have been a religious centre long before Muhammad was born… “Yathrib (Y-th-r-b of the Sabaean inscriptions, Jathrippa of Ptolemy)… In the hands of its Jewish inhabitants, the banu Nadir and banu Qurayzah, the town became a leading agricultural centre… It was possibly these Aramaic-speaking Jews who changed the name Yathrib into Aramaic Medinta, the explanation of the name al-Madinah (Medina) as “the town” (of the Prophet) being comparatively late one. The two leading non-Jewish tribes were the Aws and the Khazraj, who came originally from al-Yaman” 8.

Footnotes:

  1. See Khalil Samir, SJ. Arabic Sources for Early Egyptian Christianity (Philadelphia: Fortress Press, 1992), p. 83.
  2. See Khalil Samir, SJ. Arabic Sources for Early Egyptian Christianity (Philadelphia: Fortress Press, 1993), p. 87
  3. See Torat Chayim Chamisha Chumshe Torah (Yerusalem: Mossad Harav Kook, 1986), p. 139.
  4. See Jacob Neusner. “A Life of Rabban Yohanan ben Zakkai” (Leiden: EJ. Brill, 1962), p. 29.
  5. See Jacob Neusner. “The Dictionary of Ancient Rabbis. Selections from the Jewish Encyclopaedia (Massachusetts: Hendrickson Publishers, 2003), p. 182.
  6. See Rabbi Yomtov Chaim. “Torah The Hebrew Pentateuch: Original Commentary in Arabic by Rabbi Saadia Gaon 889-942 CE. (Jerusalem: Project Saadia Gaon, 2015), pp. iii-iv
  7. See C. John Collins. Genesis 1 – 4. A Linguistic, Literary and Theological Commentary (New Jersey: P & R Publishing, 2006), p. 120.
  8. See Philip K. Hitti. “History of the Arabs: from the Earliest Times to the Present” (New York: the Macmillan Company, 1951), pp. 103-104

 

Hindeya-raba (הנדיא רבא) dan Makah-raba (מכה רבא) dalam Targum dan Tradisi Yahudi.

שלום עליכם
السلام عليكم

Dalam riset linguistic, Prof. James Barr, Ph.D., penulis buku “Comparative Philology and the Text of the Old Testament” (Oxford: The Clarendon Press, 1968) menyebutkan adanya hegemoni loanwords and words of non-Semitic origin dalam teks Perjanjian Lama (Biblical Hebrew Texts). Begitu juga Prof. Mats Eskhult, Ph.D., telah menulis tentang “the Importance of Loanwords for Dating Biblical Hebrew Texts” (London-New York: T & T Clark International, 2003). Prof. Mats Eskhult adalah seorang linguist dari Department of Asian and African Languages, Uppsala University (Swedan). Dalam tulisannya beliau memaparkan bahwa bahasa-bahasa dominan yang berpengaruh dan jejaknya terekam dalam teks TaNaKH (Perjanjian Lama) meliputi 4 bahasa utama, yakni bahasa Akkadia, bahasa Aramaic, bahasa Koptik (Ancient Egytian) dan bahasa Persia.

Riset yang dilakukan oleh Prof. James Barr, Ph.D. dan Prof. Mats Eskhult, Ph.D. keduanya membuktikan adanya pengaruh/dominasi loanwords of non-Semitic origin. Ini membuktikan bahwa teks Hebrew Bible (Perjanjian Lama) tidak pernah ‘menjadi’ sebagai teks suci secara steril dan terasing dari bahasa-bahasa lain yang mengitarinya.

Berdasarkan pembuktian filologis, saya mencoba meriset adanya istilah “Hoddu” sebagai “Hebraized-Sanskrit term dalam Biblical Hebrew. Begitu juga adanya istilah “Hindeya-raba” (הנדיא רבא) sebagai Aramo-Sanskrit term dalam Targum kitab Esther. Hal ini telah saya jelaskan dalam karya saya berjudul “Aryo-Semitic Philology: The Semitization of Vedas and Sanskrit Elements in Hebrew and Abrahamic Texts” (Surabaya: Airlangga University Press, 2018). Riset ini sebagai alternatif bacaan kepada para pembaca tentang adanya pengaruh kosakata asing non-Hebrew di antaranya hegemoni bahasa Sanskrit dalam korpus rumpun linguistik Arya, sebagaimana yang termaktub dalam teks Perjanjian Lama. Hegemoni bahasa Sanskrit merupakan bahasa utama dalam tradisi Arya; dan bahasa tersebut ternyata jejaknya amat dominan dalam bahasa Ibrani Masoret (Biblical Hebrew). Dalam hal ini, bahasa Sanskrit justru dominan menaklukkan (‘conquer’) bahasa Ibrani Biblikal, yang jejaknya termaktub dalam teks Perjanjian Lama.

Sebagaimana yang saya jelaskan bahwa dalam Aramaic Targum kitab Esther disebutkan istilah Hindeya-raba (הנדיא רבא) yang bermakna “India the Great.” Dalam kitab Mikraot Gedolot, Chamesh Megillot, Sefer Esther 8:9 tertulis demikian.

ולות אסטרטילוסין והפרכין ורברבנין דמתמנן ארכונין על פלכיא דמן הנדיא רבא ועד כוש …

“… u-l’wat istharthilosyn we hefarchiyn we ravrebaniyn d’mitmanan archuniyn ‘al pilchaya d’min Hindeya rabba we ‘ad Kush …”

“… dan kepada para wakil pemerintah, para bupati, dan para pembesar daerah, dari India sampai Etiopia ….”

Istilah “Hindeya-raba” (הנדיא רבא) merupakan kosakata Aramaic yang termaktub dalam Targum. Istilah הדו (Hoddu) dalam kitab TaNaKH (Torah Neviem ve Khetuvim) berbahasa Ibrani, sebagaimana yang termaktub dalam kitab Esther (Sefer Esther) yang ditulis di wilayah tradisi Arya, ternyata term הדו (Hoddu) asalnya merupakan istilah kosakata Sanskrit yang ter-Ibrani-kan atau Hebraized-Sanskrit term. Dengan kata lain, istilah הדו (Hoddu) merupakan kosakata Judeo-Sanskrit sebagai bentuk Ibranisasi dari kosakata khas keagamaan Hindu dari tradisi Arya yang kemudian diadopsi dalam bahasa Ibrani Masoret (Biblical Hebrew).

Begitu juga istilah “Macoraba” dalam peta kuno karya Ptolemy merupakan istilah Aram populer era pra-Islam, yakni מבה רבא (Makah-raba), yang bermakna “Mecca the Great”, yang dikenal di kalangan masyarakat Yahudi Yamanite (Yahudi Te

Hagra Makkah Hijr

manim). Wilayah Makah-raba (Macoraba) ini terletak di selatannnya wilayah Yatsrib (Iathrippha), dan wilayah Yatsrib (Iathrippa) ini juga terletak di selatannya wilayah Hagra (Egra) sebagaimana peta kuno karya Ptolemy era pra-Kristen. Ptolemy menyebutkan nama Macoraba, Iathrippa dan Egra yang ketiga wilayah itu terletak di kawasan Hijaz. Nama wilayah Egra yang terletak di kawasan Hijaz ini juga dibenarka

n dalam Targum Onkelos, yang dalam istilah Aramaic tersebut ternyata Onkelos menyebutnya dengan nama Hagra. Nama wilayah Hagra ini juga dibenarkan pula oleh Rav Saadia Gaon dengan menyebutnya sebagai wilayah Hijr di kawasan Al-Hijaz.

Bila Ptolemy menyebut Egra dalam istilah Yunani, maka Onkelos menyebutnya dengan nama Hagra dalam bahasa Aramaic. Bila Onkelos menyebutnya Hagra dalam Targum bhs Aramaic, maka Saadia Gaon menyebutnya dengan nama Hijr yang terletak di kawasan Al-Hijaz. Itulah sebabnya Rabbi Saadia Gaon dalam Targum bhs Arabic menyebut kawasan tersebut dengan sebutan Hijr Al-Hijaz.

Dengan demikian, wilayah Egra menurut Ptolemy memang terletak di kawasan Hejaz. Peta kuno karya Ptolemy ini ditulis pada era pra-Kristen. Begitu pula wilayah Hijr menurut Rabbi Saadia Gaon juga terletak di kawasan Al-Hijaz. Targum Arabic karya Saadia Gaon ini ditulis pada era Islam. Menurut Targum Aramaic karya Onkelos yang ditulis pada era Kristen itu sebenarnya dimana letak wilayah Hagra tersebut? Dalam kamus berjudul “A Dictionary of the Targumim, the Talmud Babli and Yerushalmi and the Midrashic Literature” yang dikompilasi oleh Marcus Jastrow, Ph.D., D. Litt. disebutkan penjelasan demikian:

חגרה, חגרא ch. pr.n. Hagra, 1) a town and province in the desert of Shur. Targ. O. Gen. 16:14 (h. text. ברד) Ib. 7 (h. text. שור). Targ. Gen. 20:1. Targ. O. Gen. 25:18 (v. חלוצא) – 2) Petra. Tosef. Shebi. 4.

Ortografi penulisan nama Hagra dalam dokumen teks-teks Rabbinic memang ada 2 model,

  1. חגרא,
  2. חגרה.

Begitu juga ortografi penulisan nama Makah dalam dokumen teks-teks Rabbinic ada 2 model,

  1. מכא,
  2. מכה.

Berdasarkan penjelasan tersebut, nama Hagra bisa merujuk pada 2 kemungkinan. Pertama, Hagra adalah nama lain dari Petra yang terletak di wilayah Yordania. Kedua, Hagra adalah wilayah yang ada di kawasan Shur. Persoalannya apakah nama lain kawasan Shur itu adalah Al-Hijaz (Hejaz) sebagaimana yang dipahami oleh Ptolemy dan Rabbi Saadia Gaon? Apa batasan wilayah Shur atau wilayah Al-Hijaz itu? Apakah Shur itu kawasan yang berhadapan dengan Mesir? Apakah Al-Hijaz itu juga kawasan yang berhadapan dengan Mesir? Apakah itu kawasan yang ada bukti arkeologisnya? Bila Hagra yang dimaksud dalam Targum Onkelos itu terletak di kawasan Shur dan hanya merujuk pada kawasan Semenanjung Sinai (padang gurun Sinai di Mesir), maka di sana tidak ada bukti arkeologis apapun. Namun, bila yang disebut sebagai wilayah Hagra itu bukan merujuk pada kawasan Semenanjung Sinai tetapi justru merujuk pada kawasan Semenanjung Arab (padang gurun Al-Hijaz di Saudi Arabia), maka di lokasi tersebut ditemukan banyak data arkeologi. Jadi pernyataan Rabbi Saadia Gaon yang menyebut Hijr sebagai padanan Hagra yang terletak di kawasan Al-Hijaz ini sepadan dengan bukti peta kuno era pra-Kristen, karya Ptolemy.

Dengan demikian, Egra yang dimaksud oleh Ptolemy memang berada di Semenanjung Arab, yakni Hejaz. Hijr yang dimaksud oleh Rav Saadia Gaon juga berada di Semenanjung Arab, yakni Al-Hijaz. Kedua tokoh ini mewakili era pra-Kristen dan era Islam. Tidak ada satu pun tokoh era pra-Kristen yang menyebutkan adanya Egra di kawasan Semenanjung Sinai. Itu berarti membuktikan bahwa lokasi Hijr yang dimaksud oleh Saadia Gaon, dan lokasi Hagra yang dimaksud oleh Onqelos maksudnya sama, yakni suatu lokasi yang berada di kawasan Semenanjung Arab yakni Al-Hijaz, yang nama lainnya adalah Shur. Kawasan Semenanjung Arab (Arab Saudi) kaya peradaban dan bukti arkeologi, yang berbeda dengan kawasan Semenanjung Sinai (Mesir) yang hampa peradaban dan ketiadaan fakta arkeologi.

Ada bukti yang tak terbantahkan bahwa Rabbi Saadia Gaon sebenarnya sangat paham teks Hebrew yang tertulis istilah הדו (Hoddu) dalam teks Masoret, dan teks Aramaic yang tertulis הנדיא (Hindeya) dalam Targum kitab Esther 8:9. Itulah sebabnya Rav Saadia Gaon dalam teks Chamesh Megillot versi Judeo-Arabic menyebutnya אלהנדי (Al-Hindi). Rav Saadia Gaon juga sangat paham teks Hebrew yang tertulis dengan istilah שור (Shur) dalam naskah Masoret dan teks Aramaic yang tertulis dengan istilah חגרא (Hagra) dalam Targum Onqelos. Itulah sebabnya Rav Saadia Gaon dalam teks Chamisha Chumshe Torah versi Judeo-Arabic menyebutkan nama Hijr yang ada di kawasan Al-Hijaz. Bahkan berdasarkan kajian validitas manuskrip kuno terhadap peta Ptolemy, yang dibuat pada Abad ke-3 SM., ternyata peta Ptolemy menyebutkan nama Egra yang ada di kawasan Hejaz (Semenanjung Arabia). Hal ini sepadan dengan Targum Onqelos yang ditulis pada Abad ke-2 M., yang menyebutkan nama Hagra. Dan teks Targum Onqelos yang menyebutkan nama חגרא (Hagra) ternyata merupakan penjelasan atas munculnya nama שור (Shur) yang termaktub dalam manuskrip tertua, yakni “the Dead Sea Scrolls” (Naskah Laut Mati) yang berdasarkan uji corban C-14 faktanya ditulis pada Abad ke-2 SM. Ini merupakan upaya pelacakan teks berdasarkan validitas kekunoan manuskrip tertua melalui uji carbon C-14 yang amat penting dengan pendekatan ilmu filologi, tekstologi dan kodikologi. Faktanya, lokasi Egra, Hagra, dan Hijr telah terlacak dengan sendirinya, dan ternyata terletak di kawasan Al-Hijaz (Semenanjung Arabia).

Selain itu, pada peta kuno tersebut, Ptolemy menyebutkan nama Macoraba yang terletak di kawasan Semenanjung Arab, bukan di kawasan Semenanjung Sinai. Bila Ptolemy menyebut Macoraba dalam istilah Yunani, maka Onkelos mempertahankan istilah Ibrani משה (Mesha) untuk menyebut wilayah tersebut, yang sebenarnya wilayah tersebut disebut מכה רבא (Makah-raba), yakni “Mecca the Great” dalam tuturan bahasa Aramaic kaum Yahudi Yaman sebagaimana yang dicatat oleh Prof. Philip K. Hitti dalam karyanya “History of the Arab: from the Earliest Times to the Present.” (New York: the Macmillan Company, 1951). Itulah sebabnya Rabbi Saadia Gaon secara gamblang menyebut kawasan tersebut dengan nama מבה (Makah) yang terletak di kawasan Semenanjung Arabia. Itulah sebabnya rabbi-rabbi otoritatif yang pernyataannya termaktub dalam kitab Mikraot Gedolot maupun Torat Chaim seperti Rabbi David Kimchi (Radak), Rabbi Bachye ben Asher dan Rabbi Ibn Ezra tidak menyangkal pernyataan Rabbi Saadia Gaon.

Rabbi Saadia Gaon menyebut dengan sebutan מכה (Makah) dalam Targum Arabic nas Sefer Bereshit 10:30 dalam Chamisha Chumshe Torah, sebagaimana beliau juga menyebut dengan sebutan אלהנדי (Al-Hindi) dalam Targum Arabic nas Sefer Esther 8:9 dalam Chamesh Megillot. Begitu pula Al-Biruni juga menyebut wilayah tersebut dengan sebutan الهند (al-Hindi) dalam kitabnya yang berjudul Tarikh Al-Hindi. Lebih detail persoalan penyebutan “India” dalam berbagai dokumen, misalnya dokumen berbahasa Sanskrit (Sindhu), Persian (Hendhu), Urdu (Hendustan), Greek (Indikes), Latin (Indie), Ibrani (Hoddu), Aramaic (Hindeya) dan Arabic (Al-Hindi) sebagaimana yang tercatat dalam dokumen-dokumen agama Hindu, agama Yahudi, agama Kristen dan agama Islam, maka Anda dapat membaca karya saya berjudul “Aryo-Semitic Philology: the Semitization of Vedas and Sanskrit Elements in Hebrew and Abrahamic Texts (Surabaya: Airlangga University Press, 2018).

Renungan

  1. Tidak ada satu pun data era pra-Kristen yang menyatakan bahwa Egra dan Macoraba terletak di Semenanjung Sinai. Dan tidak ada satu pun data era Abad Pertengahan yang menyebutkan bahwa Egra dan Macoraba ada di kawasan Semenanjung Sinai. Justru sebalinya, semua data era pra-Kristen dan data era Abad Pertengahan semuanya menyebutkan bahwa Egra dan Macoraba berada di kawasan Semenanjung Arabia.
  2. Pembahasan mengenai Egra dalam dokumen Yunani tidak dapat dipisahkan dengan pembahasan mengenai Hagra dalam dokumen Aramaic. Data mengenai kawasan Egra dan Hagra merupakan poin awal sebelum membahas mengenai Macoraba.
  3. Pembahasan mengenai הנדיא (Hindeya raba) dan חגרא (Hagra) dalam pemikiran para Targumim dalam Targum Judeo-Aramaic juga tidak bisa dipisahkan, sebagaimana pembahasan mengenai אלהנדי (Al-Hindi) dan חגר אלחגאז (Hijr Al-Hijaz) dalam pemikiran (episteme) Rav Saadia Gaon dalam Targum Judeo-Arabic.