MESIAS YANG ILAHI DAN INSANI

Kalau kita membaca TaNaKH (Torah Neviem ve Khetuvim) yang berkaitan dengan “kelahiran” dan “penciptaan” sesuatu, ternyata memang tidak dikenal adanya konsep “dilahirkan” tapi “tidak diciptakan”, dan dalam hal “kelahiran” atau pun “penciptaan” juga tidak dikenal adanya paduan kodrat ganda pada sesuatu, yakni adanya kodrat keilahian sekaligus kodrat kemanusiaan (kodrat kemakhlukan).

Quran menegaskan bahwa Isa Al-Masih itu hanya sebagai الكلمة (al-Kalimah) yakni Sang Firman sebagai mufrad, bukan كلام (Kalam), dan Quran menegaskan bahwa الكلة (al-Kalimah) yakni Sang Firman itu sebagai ciptaan, BUKAN yang menjadi penyebab/sumber ciptaan.

Pernyataan Quran bahwa Isa Al-Masih yakni Sang Firman (al-Kalimah) sebagai CIPTAAN dan bukan sebagai SUMBER ciptaan, juga dibenarkan oleh tradisi Yahudi mengenai Mesias yang juga sebagai CIPTAAN karena memang Messiah itu diciptakan, BUKAN tidak diciptakan.

“Three things were created on the basis of the name of the Holy One: the Righteous, the Messiah and Jerusalem.”. “Ada 3 yang diciptakan, salah satunya adalah Messiah1.

Inilah benang merah antara dokumen Islam dan dokumen Yahudi. Bila menurut Torah/TaNaKH, TUHAN sejak semula menciptakan (BARA: “mencipta) langit dan bumi, dan TUHAN sejak semula membentuk (‘ASYA: “membentuk”) langit dan bumi, dan sejak semula langit dan bumi ada proses kelahiran (TOLEDOTH – תולדות : “kelahiran/birth”), lihat Sefer Bereshit 2:4; maka hal ini membuktikan bahwa langit dan bumi itu sebenarnya “dilahirkan dan diciptakan” (gennenthenta kai poiethenta) BUKAN “dilahirkan tapi tidak diciptakan” (gennenthenta ou poiethenta). Hal ini juga membuktikan bahwa langit dan bumi sebenarnya “dilahirkan” dan “diciptakan” tanpa ada kodrat ganda, atau pun hanya memiliki kodrat keilahian. Namun justru hanya menegaskan adanya kodrat kemakhlukan saja. Uniknya Sefer Bereshit (Genesis) 2:4 dalam teksnya ternyata juga digunakan 2 kata kunci utama yang muncul bersamaan dengan maksud yang sama, yakni ילד (YELED) lit. “lahir” dan ברא (BARA), lit. “cipta” yang keduanya merujuk pada makna yang sama. Jadi “dilahirkan” itu sepadan dengan “diciptakan”, dan yang “diciptakan” itu maksudnya sama dengan “dilahirkan.” Dengan demikian, “kelahiran” langit dan bumi tidak ada kaitannya dengan adanya kodrat keilahian. Begitu juga Mesias itu ada proses תולדות (kelahiran) yang juga tanpa ada kodrat keilahian.

Talmud Bavli, maskehet Baba Bathra 75b menyebutkan bahwa Messiah itu dilahirkan dan diciptakan. Tidak ada pernyataan di dalam Talmud bahwa Messiah itu “dilahirkan tapi “tidak diciptakan” atau pun “dilahirkan bukan diciptakan” (English: begotten not created; Latin: genitum non factum, Yunani: gennethenta pro panton; Arab: مولود غير مخلوق – mawlud ghayr makhluq).

Thread ini tidak berbicara mengenai דעת יה (Da’at HASHEM), חכמה (Hochmah), דבר (Davar) atau pun מימרא (Meimra). Justru thread ini hanya fokus pada apa sebenarnya makna ילד dan ברא dalam teks Masoret Ibrani atau pun teks Qumran, yang ternyata kedua istilah tersebut tidak ada indikasi kuat yang berfungsi sebagai pembeda makna, tidak ada indikasi bahwa istilah ילד merujuk pada makna “kelahiran” dengan kodrat keilahian, sedangkan istilah ברא merujuk pada makna “penciptaan” dengan kodrat kemakhlukan. Silakan Anda cermati teks Sefer Bereshit 2:4 ternyata terkait penciptaan langit dan bumi meskipun menggunakan istilah ילד (birth) dan ברא (created); dan tentunya istilah ילד (birth) lit. “kelahiran” tidak membuktikan bahwa langit dan bumi tersebut dilahirkan dalam kodrat keilahian.

Bila teks Talmud menyebutkan istilah ילד (birth) yang ditujukan kepada Mesias, maka jelas hal itu membuktikan tidak adanya makna lain selain makna penciptaan, dan tidak ada kaitannya dengan kodrat keilahian, tapi justru hanya merujuk pada kodrat kemakhlukan. Begitu juga teks Qumran yang menggunakan istilah ילד (birth) untuk Mesias juga tdk ada kaitannya dng kodrat keilahian. Kesejajaran penggunaan istilah ילד (birth) dalam teks Masoret Ibrani (abad ke-8 M), teks Qumran (abad ke-3 SM.) misalnya 1Qsa 2:12 dan teks Talmud (abad 5 M.) misalnya Talmud Bavli masekhet Baba Bathra 75b ternyata ada konsistensi pesan yang mengacu pada makna kodrat kemanusian ataupun kemakhlukan, dan bukan merujuk pada makna kodrat keilahian. Intinya, Mesias itu dilahirkan dalam makna kodrat kemanusiaan (ciptaan), bukan dilahirkan dalam makna kodrat keilahian.

Masalahnya menjadi lain, tatkala adanya Konsili Gereja di kota Nicea tahun 325 M. yang konsepnya menyebal dari tradisi linguistic Hebraic yang kemudian menetapkan istilah ילד (lahir) sebagai kodrat keilahian yang berbeda dengan istilah ברא (cipta), sehingga muncul rumusan kredo “dilahirkan bukan diciptakan” (genitum non factum).

Perbedaan makna ילד (lahir) dan makna ברא (cipta) yang dikontraskan ini justru mengkristal saat terjadi perumusan Kredo (Syahadat Iman) Nicea yang formulanya dirumuskan pada thn 325 CE. Kredo tersebut menyatakan:

Credo in unum Denum, Patrem omnipotentem, factorem caeli et terrae, visibilium omnium et invisibilium.
(Aku percaya akan satu Allah, Bapa yang MahaKuasa, Pencipta langit dan bumi dan segala sesuatu yang kelihatan dan yang tdk kelihatan).

Et in unum Dominum Jesum Christum, Filium Dei unigenitum. Et ex Patre natum ante omnia saecula. Deum de Deo, lumen de lumine, Deum verum de Deo vero.GENITUM non FACTUM …..
(Dan akan satu Tuhan Yesus Kristus, Putera Allah yang tunggal. Dia keluar dari Bapa sebelum segala abad, Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah yang benar dari Allah yang benar. DIA DILAHIRKAN bukan DICIPTAKAN …”).

Jadi Gereja menyatakan secara tegas bahwa Bapa itu PENCIPTA langit dan bumi, artinya Sang Bapa tidak MELAHIRKAN langit dan bumi, tetapi Sang Bapa telah MELAHIRKAN Sang Putera saja. Dengan demikian, Yesus itu DILAHIRKAN, bukan DICIPTAKAN oleh Sang Bapa. Penjungkirbalikan makna ילד (“birth”) tersebut memang inkonsisten dalam ranah kajian linguistik Ibrani.

1. Allah Bapa itu Patrem FACTOREM caeli et terae (PENCIPTA langit dan bumi).
2. Kristus itu GENITUM NON FACTUM (DILAHIRKAN bukan DICIPTAKAN).

KESIMPULAN

Sebagai sebuah refleksi, Mesias itu memang diciptakan sebagaimana teks yang termaktub dalam dokumen Talmud Bavli dan Torah/TaNaKH dan teks Qumran. Hal itu adalah memang sangat BENAR demikian, karena Mesias memang diyakini oleh teks suci Yahudi sebagai “Anak Manusia”, sehingga tentu saja pada diri-nya HANYA memiliki “kodrat kemanusiaan” dan tidak memiliki kodrat keilahian, dan sebagai konsekwensinya maka dia (Mesias) adalah HANYA semata-mata ciptaan.

Semoga mencerahkan kepada para pembaca.

 

Footnotes:

  1. (Talmud Bavli, masekhet Baba Bathra 75b.)

YUDHISTHIRA DAN ELIA NAIK KE SORGA

Yudistira.jpg

Elia dan Musa memiliki mukjizat yang sama dengan Krishna. Bila Elia membelah sungai Yordan dengan jubahnya yang dipukulkan ke permukaan air sungai tersebut (II Raja-raja 2:7-8), dan Musa membelah laut Merah dengan mengulurkan tangannya ke arah permukaan air laut tersebut (Keluaran 14:21-22), maka dalam kitab suci Mahabharata dikisahkan bahwa Krishna membelah sungai Yamuna dengan mengulurkan telapak kakinya di permukaan air tersebut demi menyelamatkan Arjuna dan Subadra.

Dalam kitab suci Mahabharata, khususnya bagian Svargarohanika Parva juga dikisahkan tentang Yudhisthira yang naik ke sorga dengan kereta. Svargarohanika Parva merupakan parva terakhir dari 18 parva kitab suci Mahabharata, yang terdiri dari enam bab dan 209 bait sloka, yang sangat kecil jika dibandingkan keseluruhan bait sloka kitab Mahabharata yang berjumlah lebih dari 100.000 sloka. Adapun masalah yang diceritakan dalam parva ini berkaitan dengan pengalaman Raja Yudhisthira dengan badan kasarnya naik ke sorga dengan menggunakan kereta yang terbuat dari api, milik dewa Indra.

“Indra menyuruh Yudhisthira naik ke atas kereta kendaraannya. Tetapi apa jawab Yidhisthira: “Semua saudara-saudara hamba telah gugur di sini. Tanpa mereka hamba tidak mau pergi ke sorga…. Sakra menjawab: “Nanda dapat menjumpai saudara-saudara Anda di alam sorga. Mereka sebenarnya telah sampai di sana terlebih dahulu. Mereka semua telah tiba di sana bersama-sama dengan Krishna. Jangan bersedih wahai raja wangsa Bharata. Setelah meninggalkan jasadnya masing-masing, mereka telah sampai di sorga. Tetapi Anda akan menuju ke sana dengan jasad yang lengkap seperti keadaan sekarang ini… Dengan menumpang kereta dewata, dalam sekejab Yudisthira sampai ke alam sorga”,

See I Wayan Maswinara. Svarga Rohanika Parva: Mahabharata (Surabaya: Paramita, 1999), pp. 10-19.

Dalam kitab suci TaNaKH – kitab suci agama Yahudi maupun Alkitab Kristen, khususnya ayat yang termaktub dalam II Raja-raja 2:9-11 juga dikisahkan narasi yang sejajar dengan kisah Yudhisthira.

“Dan sesudah mereka sampai di seberang, berkatalah Elia kepada Elisa: “Mintalah apa yang hendak kulakukan kepadamu, sebelum aku terangkat dari padamu.” Jawab Elisa: “Biarlah kiranya aku mendapat 2 bagian dari rohmu.” Berkatalah Elia: “Yang kauminta itu adalah sukar. Tetapi jika engkau dapat melihat aku terangkat dari padamu, akan terjadilah kepadamu seperti yang demikian, dan jika tidak, tidak akan terjadi.” Sedang mereka berjalan terus sambil berkata-kata, tiba-tiba datanglah kereta berapi dengan kuda berapi memisahkan keduanya, lalu naiklah Elia ke sorga dalam angin badai”, Alkitab (Jakarta: LAI, 2001), p. 401.

Fakta teks “kisah” tersebut di atas dapat dijadikan pijakan untuk membuktikan adanya kesejajaran ayat suci ketiga agama besar, sebagaimana yang termaktub dalam dokumen kitab suci agama Hindu, agama Yahudi dan agama Kristen. Salah satunya berkaitan dengan kisah Yudhistira dan Elijah, yang sama-sama tidak mengalami kematian, sama-sama terangkat ke sorga, sama-sama naik ke sorga dengan menggunakaan kereta, dan kereta keduanya sama-sama terbuat dari api. Jadi Yudisthira dan Elijah sama-sama naik ke sorga dengan kereta yang terbuat dari api; bukan naik kereta api.

Apakah kisah Yudhisthira dan Elia tersebut keduanya merupakan sejarah/ history yang kebenarannya dapat dikonfirmasi dengan bukti faktual arkeologis melalui kajian historis-kritis, atau keduanya hanya merupakan legenda yang kebenarannya hanya dapat dikorfirmasi melalui teks dokumen kitab suci, atau keduanya hanya merupakan mitos, sesuai dengan “his story” komunitas keagamaan yang telah meyakininya?

Berkaitan dengan iman yang bernalar, maka tidak mungkin seseorang menjustifikasi kisah Yudhisthira sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci Mahabharata tersebut dianggap sebagai mitos (myth), sedangkan kisah Elia sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci TaNaKH dan Bible (Alkitab) dianggap sebagai sejarah. Bukankah kitab Mahabharata, kitab TaNaKH dan kitab Bible ketiganya merupakan kitab suci 3 agama besar yang berpijak pada teks dokumen suci keagamaan? Cobalah jujur pada diri sendiri untuk menjawabnya.

Yg jelas dalam salah satu kamus bahasa Inggris tertulis demikian: “If you describe a belief or explantion as a myth, you mean that many people believe it but it is actually untrue.

Begitu juga Louis Ginzberg juga menyatakan: “the word ‘legend’ is derived from the Latin ‘legenda’ meaning

‘to be read’, the term originally applied to narratives of the Middle Ages such as lives of of the saints, which had ‘to be read’ as a religious duty”, see Louis Ginzberg. Legends of the Bible (New York: the Jewish Publications Society of America, 1956), p. xi

Bila Anda mengatakan bahwa kisah Yudhisthira yang naik ke sorga sebagai mitos, maka orang lain juga akan berkata kepada Anda bahwa kisah Elia yang naik ke sorga juga sebagai mitos.

Kisah Yudhisthira yang naik ke sorga dengan kereta berapi merupakan kisah keagamaan yang lebih tua dibanding kisah Elia yang juga naik ke sorga dengan kereta yang terbuat dari api. Kisah Yudhisthira yang naik ke sorga merupakan teks keagamaan bertradisi Arya. Teks keagamaan bertradisi Arya secara historis telah migrasi ke wilayah Persia dan Babilonia. Itulah sebabnya ditemukan inskripsi Boghazkoi berbahasa Akkadia yang justru memuat nama dewa-dewa Hindu bertradisi Arya, termasuk nama dewa Indra. Selain itu, ketokohan Yudhisthira yang naik ke sorga tanpa melalui proses kematian ternyata terkait juga dengan kereta yang terbuat dari api, milik dewa Indra, dan dewa Indra sendiri yang berperan sebagai kusirnya, sebagaimana kisahnya yang termaktub dalam kitab suci Mahabharata, khususnya parva terakhir yakni Svargarohanika Parva. Menariknya, peran penting figur dewa Indra ternyata namanya juga sudah tercantum dalam inskripsi Boghazkoi, yakni dengan sebutan “In-da-ra” yang ditulis dalam bahasa Akkadia, salah satu cabang bahasa Semit, see E.F. Weidner, et.al (ed.). Keilschrifttexte aus Boghazkoi (Leipzig: J.C. Hinrichs’sche Buchhandlung, 1916).

Jadi, fakta adanya migrasi teks Arya ke wilayah Semit tersebut membuktikan adanya kontak budaya dan kontak bahasa antara tradisi Arya dengan tradisi Semit yang justru meniscayakan adanya perjumpaan teologis, yang juga meniscayakan pula terjadinya pengaruh teks Arya pada domain keagamaan di wilayah Babilonia. Dan dalam konteks ini, tatkala Yeremiyah mengalami pengasingan di wilayah Babilonia, maka muncullah kisah Elia dalam kitab Raja-raja. Siapakah sebenarnya penulis kitab Raja-raja? Havernick menyatakan bahwa Yeremiyah sendiri yang menulis kitab Raja-raja.

Havernick dengan mengutip teks Talmud, Baba Bathra fol. 15.1 beliau berkata: “Jeremias scripsit librum suum et librum Regum et Threnos (Jeremiyah sendiri yang menulis kitabnya, juga kitab Raja-raja, dan juga kitab Ratapan), see Keil and Delitzsch. Commentary on the Old Testaments, vol III. 1 and 2 Kings, 1 and 2 Chronicles (Massachusetts: Hendeickson Publishers, 2006), p. 9. Begitu juga sebagaimana teks sumber Judaism dalam teks Talmud Bavli, fourth order Neziqin, Baba Bathra 15a.2. disebutkan hal yang sama terkait siapa sebenarnya penulis teks kitab Raja-raja. Teks Talmud menyebutkan demikian: וירמיה כתב ספרו וספר מלכים וקינות (ve Yermiyahu katav sefero ve sefer Melachim ve Qinot), see Davidson and Rabbi Addin Steinsaltz. Noe Koren Talmud Bavli (Jerusalem: Koren Publishers).

Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa kitab Raja-raja yang memuat kisah Elia yang naik ke sorga dengan kereta yang terbuat dari api merupakan kisah yang baru muncul belakangan yang ditulis oleh Yeremiyah di Babilonia, yang bisa jadi bersumber dari tradisi keagamaan Arya yang migrasi di wilayah Babilonia.