KESEMPURNAAN QURAN ATAS KITAB SUCI AGAMA SAMAWI

B’rit Milah dan Millah Ibrahim: Relevansinya dengan Qurban Abraham dalam Quran

Kitab Hadits merupakan kitab sumber otoritas kedua setelah Quran dalam ajaran agama Islam, sebagaimana kitab Midrash Rabbah sebagai תורה שבעל-פה (Torah she be ‘alphe) merupakan kitab sumber otoritas kedua setelah kitab Chumash sebagai תורה שבכתב (Torah she bichtav) dalam agama Yahudi. Teks matan hadits versi Islam yang berkaitan dengan siapa yang akan dijadikan qurban memang disebutkan adanya 2 versi penyebutan nama, sebagaimana teks midrash agada versi Yahudi juga menyebutkan adanya 2 versi tentang usia sang putera, saat dia akan dijadikan qurban. Bahkan, ada 2 versi kitab Chumash (Torah she bichtav) yang menyebutkan adanya 2 versi nama lokasi atau tempat qurban yang berbeda, sebagaimana yang disebutkan antara versi teks kitab Torah Samaritan dan versi teks kitab Torah Masoret (Masorah).

Jadi, berkaitan dengan identitas nama sang putera yang dijadikan qurban oleh Abraham menurut teks matan hadits, memang ada 2 versi yakni disebutkan nama Ishmael dan nama Ishaq. Meskipun dalam kitab Chumash (Torah she bichtav) tertulis nama Ishaq, tetapi dalam teks midrash agada (Torah she be ‘alphe) ternyata juga disebutkan adanya 2 versi usia Ishaq saat dijadikan qurban, yakni usia 37 tahun dan usia 5 tahun. Bahkan, Torah she bichtav (the Chumash) menyebutkan adanya 2 versi nama lokasi atau nama tempat yang berbeda saat Ishaq akan dijadikan qurban oleh Abraham, yakni tanah Moreh dan tanah Moriah. Dengan kata lain, sebagaimana yang termaktub pada teks versi hadits, yang pertama menyebutkan nama Ishmael, dan yang kedua menyebutkan nama Ishaq. Jadi hadits menyebutkan tentang siapa yang akan dijadikan qurban oleh Abraham memang berbeda-beda, sebagaimana adanya kontroversi tentang umur (usia) Ishaq saat dijadikan qurban oleh Abraham juga berbeda-beda, dan bahkan identitas nama lokasi atau nama tempat saat Ishaq akan dijadikan qurban oleh Abraham juga berbeda-beda. Perbedaan mengenai identitas nama sang putera, keakuratan usia dan identitas nama lokasi terkait peristiwa qurban memang merupakan 3 hal yang amat kontroversial dalam teks kitab Hadits, kitab Chumash (Torah she bichtav) dan kitab Midrash Rabbah (Torah she be ‘alphe). Hal inilah yang tidak dipahami atau sengaja tidak diuraikan oleh Bambang Noersena dalam paparannya.

Bambang Noorsena, pendiri Institute for Syriac Christian Studies (ISCS) memang sengaja “menyerang” atau mempersoalkan sisi perbedaan teks matan hadits terkait dengan qurban, sebagaimana yang termaktub dalam kitab Hadits, tetapi Bambang Noersena sengaja “tidak menyerang” atau tidak mempersoalkan sisi perbedaan teks midrash agada terkait dengan qurban, sebagaimana yang termaktub dalam Midrash Rabbah. Bahkan, Bambang Noersena juga “tidak menyerang” atau tidak mempersoalkan sisi perbedaan teks Chumash (Torah she bichtav) terkait perbedaan qurban. Anda bisa melihat perbedaan teks Sefer Bereshit 22:2 antara teks Torah versi Masorah (Masoret) dan teks Torah versi Samaritan; versi pertama menyebut מריה (Moriah), sedangkan versi kedua menyebut מרה (Moreh). Torah versi Masorah menyebut מריה (Moriah) merujuk pada lokasi sakral di bukit Zion, di kota Yerusalem, wilayah Israel bagian selatan; sedangkan Torah versi Samaria menyebut מרה (Moreh) merujuk pada lokasi sakral di bukit Gerizim, di kota Nablus, wilayah Israel bagian utara. Keberadaan bukit Gerizim ini termaktub dalam Torah versi Samaria dan Torah versi Masorah, dan penyebutan nama kota Nablus di kawasan Moreh tersebut juga termaktub dalam Targum Aravit (Judeo-Arabic Targum), yakni sebuah Targum dan Tafsir tertua versi bhs Arab dalam tradisi agama Yahudi, sebuah karya “magnus opus” dari Rabbenu Saadia Gaon (Rasag). Padahal kota Sikhem dalam teks aslinya yang berbahasa Ibrani justru tertulis עיר שכם (‘ir Shechem), lit. “kota Sikhem.” Meskipun demikian, penyebutan kota Nablus itu merupakan bentuk Arabisasi dari nama kuno kota dari bhs Ibrani, yang disebut kota Sikhem. Lihatlah Targum Aravit karya Rasag, khususnya Sefer Bereshit 33:18 tertulis:

ת'ם ודכ'ל יעקוב סאלמא אלי קריה נאבלס אלתי פי אלבלד כנעאן

“tsumma dakhala Ya’kub saliman ila qaryah Nablus allati fi al-balad Kan’an.” (Kemudian Yakub memasuki dengan selamat menuju ke kota Nablus)

J. Derenbourg. Tafsir al-Tawrah bi Al-‘Arabiyyah: Version Arabe du Pentateuque de R. Saadia ben Iosef Al-Fayyoumi (Paris: Ernest Leroux, Editeour, 1893), pp. 54-55

Abu Al-Hasan Ishaq ash-Shuri, adalah seorang Kahin (Imam) dari agama Israel Samaritan, pemimpin tertinggi kaum Samaria. Abu Al-Hasan Ishaq ash-Shuri telah menerjemahkan kitab suci Torah Samaritan dari bahasa Ibrani ke bahasa Arab. Menurutnya, sebutan kota Nablus merupakan nama Arab dari kota Sechem versi teks Torah Samaritan. Lihat Sefer Bereshit 33:18 teksnya tertulis demikian.

جاء يعقوب سالما الى مدينة نابلس التي في ارض كنعان

“ja-a Ya’kub saliman ila madinah Nablus allati fi ardhi Kan’an.” (Yakub telah datang dengan aman menuju ke kota Nablus yang terletak di tanah Kanaan).

Al-Kahin as-Samiri Abu Al-Hasan Ishaq ash-Shuri. At-Tawrah as-Samiriyyah: Tarjamah min Al-‘Ibraniyyah ila Al-‘Arabiyyah (Al-Qahirah: Dar Al-Jil, 2007), p.68

Dengan demikian, nama kota Sechem dalam bahasa Ibrani memiliki nama Arab dengan sebutan Nablus. Hal ini bukanlah sebuah kesalahan terjemahan yang fatal dari sebuah interpretasi gegabah dari Rabbenu Saadia Gaon. Penyebutan versi Arab tersebut pasti merupakan ingatan kolektif yang diakui bersama yang berasal dari tradisi kaum Yahudi dan kaum Samaria. Bahkan, Imam tertinggi kaum Samaria juga telah memahami nama kota itu dengan sebutan yang sama. Bukti tekstual ini merupakan fakta yang tidak bisa dibantah oleh siapapun.

Kota שכם (Shechem) di kawasan מרה (Moreh) ini bukan hanya dikenal di zaman Yakub, tetapi kota שכם (Shechem) di kawasan מרה (Moreh) ini justru telah dikenal oleh Abraham sejak awal kedatangannya di wilayah Kanaan. Silakan Anda cermati teks Sefer Bereshit 12:6. Menariknya, Rabbenu Saadia Gaon dan Al-Kahin Abu Al-Hasan Ishaq ash-Shuri ternyata sama-sama menerjemahkan sebutan kota Shechem dengan nama Arabnya, yakni kota Nablus. Rabbi Saadia Gaon menerjemahkan demikian.

פטאף אברם פי אלבלד אלי מוצ'ע נאבלוס ואלי מרג' ממרה ואלכנעאני חיניד' כאן מקימא פי אלבלד

“fathafa Abram fi al-balad ila mawdhi’i Nablus wa ila marji mi-Moreh wa al-Kan’ani khinaidzin kana muqiman fi al-balad.” (Abram berjalan melalui negeri itu sampai ke suatu tempat dekat Sikhem, yakni pohon terbantin di Moreh. Waktu itu orang Kanaan diam di negeri itu).

J. Derenbourg. Tafsir al-Tawrah bi Al-‘Arabiyyah. Version Arabe du Pentateuque (Paris: Ernest Leroux, Editeur, 1893), p. 19

Bila dalam kitab Hadits, perbedaan teks merujuk pada perbedaan nama sang putera yang akan dijadikan qurban, justru dalam kitab Chumash (Torah she be bichtav), perbedaan teks merujuk pada perbedaan nama “maqam” atau lokasi atau nama tempat yang akan dijadikan qurban. Mengapa dalam konteks ini Bambang Noersena tidak berbicara secara fair? Bukankah perbedaan nama “maqam” atau nama lokasi tempat qurban lebih substansial utk diperdebatkan atau pun dikritisi dibanding perbedaan nama sang putera Abraham yang akan dijadikan qurban? Perbedaan nama “maqam” tempat qurban Abraham justru menjadi pemicu dan menjadi sebab perbedaan qiblat sebagai arah sembahyang antara kaum Samaria dan kaum Yahudi, dan sekaligus menjadi penyebab perbedaan tempat pelaksanaan qurban sembelihan perayaan Paskah antara kaum Yahudi dan kaum Samaria. Bukankah mereka sama-sama merujuk pada kitab suci yang sama yakni kitab Torah? Bukankah konsekuensi perbedaan nama “maqam” ini lebih fatal dibanding perbedaan nama sang putera Abraham yang akan menjadi qurban? Umat Islam sejak dulu hingga kini memiliki qiblat yang sama, berhaji di tempat yang sama, dan ber-qurban di hari yang sama, dan merujuk pada kitab suci Quran yang sama, meskipun dalam hadits ada penyebutan nama putera Abraham yang berbeda sebagai sang putera yang akan dijadikan qurban. Dengan demikian, hal ini semakin jelas. Umat Islam mentradisikan ibadah qurban di tempat yang sama meskipun nama putera Abraham yang di-qurban-kan disebutkan nama yang berbeda. Sebaliknya, umat Israel mentradisikan ibadah qurban di tempat yang berbeda karena nama “maqam” tempat qurban Abraham disebutkan nama yang berbeda pula, meskipun nama putera Abraham yang di-qurban-kan itu disebutkan nama yang sama. Inilah fakta yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun. Bukankah kitab suci Chumash merupakan bagian dari kitab suci Perjanjian Lama (the Old Testament) bagi agama Kristiani? Mengapa perbedaan teks mengenai identitas nama lokasi atau nama tempat qurban Abraham antara kitab suci Perjanjian Lama dengan kitab suci Chumash (Torah Samaritan) tidak dibedah secara adil dalam pembahasannya kepada publik? Kejujuran merupakan modal intelektual yang niscaya sebagai seorang akademisi.

Ulasan Rabbi Bachya ben Asher dalam Tafsir-nya מדרש רבינו בחיי על חמשה חומשי תורה (Midrash Rabbenu Bachya ‘al Chamisha Chumshe Torah) menjelaskan bahwa tatkala dijadikan qurban, Ishaq telah berusia 37 tahun, dan saat itu dia disebut sebagai הנער (ha-na’ar). Meskipun berdasarkan narasi teks midrash agada ditemukan adanya perbedaan usia tatkala Ishaq dijadikan qurban, tetapi Rabbi Bachya melalui proses selektif, justru lebih condong memilih teks midrash agada yang menjelaskan adanya penyebutan usia Ishaq tatkala dijadikan qurban oleh Abraham, yaitu usia 37 tahun, dibanding usia 5 tahun. Rabbi Bachya dalam hal ini lebih condong pada nas yang termaktub dalam teks Midrash Bereshit Rabbah 56:11, dan Rabbi Bachya juga merujuk pada kitab tafsir tertua berbahasa Ibrani atas kitab Bereshit, ditulis oleh Rabbi Eliezer pada Abad ke-1, dan karyanya kemudian dikenal dengan judul Pirke Rabbi Eliezer. Silakan Anda memeriksa kitab Pirke Rabbi Eliezer pasal 31 (Yerushlayim: Eschol, hlm. קד).

בן שבע ושלשים שנה היה יצחק בלכתו אל הר המוריה

“Ben sheba’ u-sheloshim shanah hayah Yitzhaq belachto el har ha-Moriyyah …. “

“Sang putera yakni Ishaq telah berusia 37 tahun tatkala dia pergi ke puncak gunung Moria …”

Sebaliknya, Rabbi Ibn Ezra dalam kitab tafsirnya atas kitab Torah sangatlah menarik. Dia justru menolak otoritas kedua narasi dari teks midrash agada terkait usia Ishaq tatkala dia dijadikan qurban oleh Abraham. Rabbi Ibn Ezra mengatakan:

“Our sages, of blessed memory, say that Isaac was 37 years old at the time of binding. If this be a tradition, we will accept it. However, from a strictly logical point of view it is unacceptable. If Isaac was an adult at that time, then his piety should have been revealed in Scripture and his reward should be double that of his father for willingly having submitted himself to be sacrificed. Yet Scripture says nothing concerning Isaac’s great self-sacrifice. Others say that Isaac was 5 years old at the time of his binding. This, too, is unacceptable, since Isaac carried the wood for the sacrificial pyre. A child of five would be unable to carry that much wood. It thus appears logical to assume that Isaac was close to 13 years old and that Abraham overpowered him and bound him against his will. Proof of this can be seen from the fact that Abraham hid his intention from Isaac and told him, “God will provide Himself the lamb for a burnt-offering, my son (Bereshit 22:8). Abraham knew that if he said: “You are to be the burnt-offering,” Isaac would quite possibly have fled”

Bereshit 22:4

Dengan demikian, penjelasan teks midrash agada terkait versi usia Ishaq 37 tahun atau pun versi usia Ishaq 5 tahun, keduanya ternyata ditolak oleh Ibn Ezra sebagai teks midrash agada yang shahih. Dia mengatakan bahwa anak yang akan dijadikan qurban itu pasti usia 13 tahun dan ini terkait dengan nalar yang valid. Faktanya, semua kitab Miqraot Gedolot le-Chumash, pasti memuat Tafsir Rashi dan Tafsir Ibn Ezra, dan kitab Tafsir Ibn Ezra ini dijadikan rujukan otoritatif oleh semua komunitas Yahudi Aschenazim. Bahkan, komunitas Yahudi Sephardim menganggap kitab Tafsir Ibn Ezra sebagai kitab tafsir yang otoritatif dan kitab ini juga dianggap sebagai kitab tafsir tertua atas kitab Chumash (Torah she bichtav), tentu saja berdampingan dengan kitab Tafsir Rasag. Bagi kaum Yahudi Aschenazim, mereka merujuk pada kitab Tafsir Rashi dan kitab Tafsir Ibn Ezra, sedangkan bagi komunitas Yahudi Sephardim, mereka merujuk pada kitab Tafsir Rasag dan kitab Tafsir Ibn Ezra. Dengan demikian, kitab Tafsir Ibn Ezra memiliki posisi amat penting dalam pemikiran Rabbinik bagi semua komunitas Yahudi.

Ada hal yang sangat menarik berkaitan dengan pentingnya usia 5 tahun dan usia 13 tahun dalam tradisi Yahudi, sehingga signifikansi usia tersebut termaktub dalam kitab Torah (Bible), kitab Midrash Bereshit Rabbah, dan kitab Talmud. Dalam kitab Talmud disebutkan demikian:

“Jehudah ben Tama used to say: “At the age of 5 one is ready to study the Bible, at 10 to study the Mishnah, at 13 to observe the Commandments (Mitzvoth), at 15 to study the Talmud, at 18 to get married, at 20 to start earning a livelihood, at 30 to enter into one’s full strength, at 40 to show discernment, at 50 to give counsel, at 60 to start feeling old, at 70 to turn white, at 80 for travail and trouble, at 90 for senility; and at 100 … for death”

Lewis Browne. The Wisdom of Israel: An Anthology (New York: the Modern Library, 1945), p. 184

Sefer Bereshit 17:25-26 menyebutkan demikian:

“Dan Ishmael, anaknya, berumur 13 tahun ketika dikerat kulit khatannya. Pada hari itu juga Abraham dan Ishmael, anaknya, disunat.”

Kitab Sefer Bereshit 17:25 menyatakan bahwa Ishmael mendapatkan ברית מילה (B’rit Milah) melalui kewajiban sunat saat dia berumur 13 tahun, dan pada saat usia 13 tahun itulah Ishmael mulai disebut sebagai “son of the Commandments” yang dalam bahasa Ibrani disebut בר מצוה (bar Mitzvah), yang menunjukkan usia kematangan keagamaan sang putera. Dalam agama Yahudi mengenal adanya 613 mitzvoth, dan dalam Sefer Hachinuch, mitzvoth urutan yang ke-2 adalah kewajiban bersunat, yakni מצות מילה (mitzvoth Milah). Dalam konteks ini, Ishmael disunat oleh Abraham dengan tangannya sendiri, sesuai kesaksian nas kitab suci (Sefer Bereshit 17:23). Jadi usia 13 tahun bukanlah usia yang tidak memiliki makna apapun, tapi justru ketepatan usia 13 tahun bagi Ishmael merupakan usia “penanda” yang sangat signifikan menurut midrash halacha, sebagaimana penjelasan yang termaktub dalam kitab Talmud. B’rit Milah sebagai mitzvoth ke-2 ini juga merupakan penanda adanya relasi pewarisan ملة ابراهيم Millah Ibrahim (B’rit Milah Avraham) dengan risalah Islam, sebagaimana nas yang termaktub dalam Qs. Ali Imran 3:68.

Dalam teks Sefer Bereshit (Genesis) 18:7 juga disebutkan nas yang demikian:

“Lalu berlarilah Abraham kepada lembu sapinya, dia mengambil seekor anak lembu yang empuk dan baik dagingnya dan diserahkan kepada bujangnya , lalu orang ini segera mengolahnya.”

Istilah “bujangnya” dalam versi Alkitab terjemahan bahasa Indonesia terkait teks Sefer Bereshit 18:7 memang bermasalah. Alkitab versi berbahasa Ibrani, teks aslinya tertulis אל הנער (el ha-na’ar). Rashi menjelaskan זה ישמעעאל (zeh Yishmael), lit. “ini adalah Ishmael”, לחנכו במצות (le hannecho be mitzvoth), lit. “Instruct him in performance of religious Commandments.” Rashi dalam hal ini mengutip teks midrash agada yang shahih, sebagaimana yang termaktub dalam Midrash Bereshit Rabbah 48:13. Dalam hal ini, mengapa Rashi dalam penjelasannya mengaitkan Ishmael dengan mitzvoth (commandments)? Apakah ini juga terkait dengan penanda usia Ishmael yang saat itu berumur 13 tahun, yang disebut sebagai “bar-mitzvah”? Silakan Anda merenungkannya.

Menariknya lagi, berdasarkan pada nas Sefer Bereshit 18:7 tersebut, Rasag (Rabbi Saadia Gaon) juga memahami frase אל הנער (el ha-na’ar) dalam bahasa Ibrani tersebut diterjemahkan menjadi אלי אלג’לאם (ila al-ghulam), sebagaimana yang tertulis dalam Targum Aravit-nya, yakni Judeo-Arabic Targum. Mengapa Rasag menyebut dengan sebutan אלג’לאם (al-ghulam) terkait ayat yang termaktub dalam Sefer Bereshit 18:7 tersebut? Ini merupakan fakta tekstual bahwa Rasag memang benar-benar memahami sosok yang dimaksud pada ayat ini merujuk kepada Ishmael, meskipun teks bahasa Ibraninya menyebut dengan istilah הנער (ha-na’ar). Rasag juga pasti telah membaca dua kitab utama dalam tradisi agama Yahudi, yakni kitab Midrash Bereshit Rabbah dan kitab Pirke Rabbi Eliezer yang menjelaskan siapa sebenarnya הנער (ha-na’ar) yang dimaksud pada ayat tersebut. Itulah sebabnya, Rabbi Saadia Gaon menggunakan istilah אלג’לאם (al-ghulam), yang bermakna “sang putra” (sang anak) pada teks Sefer Bereshit 18:7.

Dengan demikian, Rabbi Eliezer, Rabbenu Saadia Gaon, Rashi, dan Rabbenu Ibnu Ezra semuanya telah sepakat mengenai sosok yang dimaksud pada ayat Sefer Bereshit 18:7 ternyata mengacu kepada Ishmael, dan bukan kepada anak yang lain, apalagi mengacu kepada orang lain. Itulah sebabnya Abraham tidak menyembelihnya sendiri anak lembu tersebut, tetapi menyerahkannya kepada Ishmael, sang puteranya sendiri, utk menyembelihnya. Hal ini bertujuan agar Ishmael dapat melaksanakan mitzvoth ke-5 dari antara 613 mitzvoth, yakni kewajiban מצות שחיטת (mitzvoth Sechithot), menyembelih binatang sebagai seorang Suchat sesuai aturan hukum.

Selain itu, ada hal yang lebih penting lagi terkait dengan qurban Abraham, yang menurut saya sangat serius utk diperbincangkan dalam ranah lintas iman. Pada Sefer Bereshit 22:3 ternyata Abraham membawa 2 bujangnya. Siapakah yang dimaksud kedua bujang Abraham tersebut? Kitab utama dalam tradisi agama Yahudi, yakni kitab Midrash Bereshit Rabbah dan kitab Tafsir Rabbi Eliezer ternyata menyebut 2 nama, yakni Eliezer dan Ishmael. Ringkasnya, kitab Tafsir Rabbi Eliezer sebagai kitab tafsir tertua dalam tradisi agama Yahudi, ternyata menyebutkan nama Ishmael sebagai sosok yang juga dibawa serta oleh Abraham untuk melaksanakan perintah qurban tersebut. Menariknya, Rabbi Saadia Gaon ben Yosef menerjemahkan ג’לאמיה (ghulamayhi), lit. “dua anaknya.” Ini merupakan fakta penting yang tidak dapat ditolak oleh akademisi manapun bahwa istilah “bujang” pada versi Alkitab terjemahan bahasa Indonesia yang merujuk pada nas Sefer Bereshit 22:3 itu justru mengacu kepada Ishmael yang disebut sebagai “ghulam” (anak) oleh Rabbenu Saadia Gaon. Jadi, Ishmael adalah pribadi istimewa yang juga terlibat dalam peristiwa qurban Abraham tersebut.

Menariknya, Rabbenu Saadia Gaon menyebut Ishaq dengan sebutan אבנה (ibnahu), lit. “anaknya”, bukan dengan sebutan ג’לאמה (ghulamahu), lit. “anaknya”, lihat Targum Aravit 22:3. Yang lebih menarik lagi, QS. ash-Shaffat 37:2 ayatnya berbunyi:

فبشرنه بغلام حليم

“maka Kami berikan kabar gembira kepadanya atas kelahiran ghulam (anak) yang penyantun.”

Dengan demikian, Tafsir Rasag atas teks Bereshit 22:3 yang menyebut dengan sebutan ג’לאם (ghulam) kepada Ishmael, ternyata ada kesejajaran dengan sebutan غلام (ghulam) yang merujuk kepada anak yang akan dijadikan sebagai qurban oleh Abraham menurut teks Quran, lihat QS. ash-Shaffat 37:2.

Dengan demikian, jika Rabbi Ibn Ezra lebih condong pada batasan usia 13 tahun tatkala sang putera dijadikan qurban, ini merupakan indikasi kuat bahwa peristiwa qurban itu sebenarnya tertuju kepada Ishmael saat usianya mencapai usia bar Mitzvah, yakni usia 13 tahun; dan peristiwa ini pasti terjadi sebelum Ishaq dilahirkan. Ketepatan usia sebagai “bar Mitzvah” sangat penting bila dikaitkan dengan peristiwa qurban, karena Ishmael disuruh Abraham menyembelih anak lembu ternyata Ishmael saat itu juga berumur 13 tahun, dan sesuai catatan kitab suci, saat itu Ishaq faktanya belum dilahirkan (Sefer Bereshit 18:7-15).

  1. Ishmael disunat usia 13 tahun.
  2. Ishmael disembelih usia 13 tahun.
  3. Ishmael menyembelih usia 13 tahun.

Tafsir al-Jalalayn juga menyebutkan batas minimal usia بلغ (balagha) itu 13 tahun, dan pada usia 13 tahun inilah sang putera akan dijadikan qurban. Hal itu sebagaimana pembahasan QS. ash-Shaffat 37:102 yang memuat penafsiran ayat فلما بلغ معه السعي (fa lamma balagha ma’ahu as-sa’ya), khususnya membahas makna kata بلغ (balagha): قيل سبع سنين وقيل ثلاث عشرة سنة (qila sab’a sinin wa qila stalasta ‘ashrah shanah), lit. “dikatakan: 27 tahun dan 13 tahun.” Jadi, pengertian بلغ (balagha) dalam Tafsir al-Jalalayn itu ada yang merujuk pada batas usia 13 tahun, dan ada juga yang merujuk pada batas usia 27 tahun.

Berkaitan dengan hadits-hadits yang kontroversial tentang nama sang “dzabih” , yakni sang putera yang akan diqurbankan oleh Abraham, maka hal itu merupakan berdebatan internal umat Islam sendiri, sebagaimana berkaitan dengan nas yang termaktub dalam teks Torah versi Masorah dan versi Samaritan yang kontroversial tentang nama “maqam”, yakni lokasi sakral tatkala sang putera akan diqurbankan oleh Abraham, maka hal itu juga merupakan perdebatan internal bagi umat yang berpegang pada kitab suci Torah, yakni antara umat Yahudi dengan umat Samaritan, dan sekaligus perdebatan antara umat Samaritan dan umat Kristen. Selain itu, berkaitan dengan peristiwa qurban Abraham, memang ada ikhtilaf antara teks kitab suci Torah dengan teks kitab suci Quran. Menurut teks Quran, peristiwa qurban Abraham itu terjadi sebelum Ishaq dilahirkan, sesuai nas QS. ash-Shaffat 37:102-111, sedangkan berita gembira tentang kelahiran Ishaq diceritakan pada ayat QS. ash-Shaffat 37:112. Sebaliknya, menurut teks Torah, peristiwa qurban Abraham itu terjadi setelah kelahiran Ishaq, sesuai nas Sefer Bereshit 21:1-7; Sefer Bereshit 22:1-18. Namun, ada pertanyaan yang sulit terjawab:

  1. Bukankah perintah qurban itu diwahyukan oleh TUHAN kepada Abraham tatkala ia berada di Bersyeba, wilayah negeri orang Filistin? Sefer Bereshit 21:33-34
  2. Hagar dan Ishmael berada di Bersyeba, wilayah kawasan Paran. Sefer Bereshit 21:14
  3. Bukankah setelah pelaksanaan qurban tersebut Abraham kembali lagi ke Bersyeba dan tinggal di Bersyeba? Sefer Bereshit 22:19.
  4. Bukankah Abraham selama hidupnya tidak pernah berada di Bersyeba, kecuali saat sebelum dan setelah peristiwa perintah qurban?
  5. Bukankah selama hidupnya Sarah tidak pernah berada di Bersyeba?
  6. Sarah akhirnya meninggal di Kiryat Arba, kota Hebron, wilayah negeri orang Kanaan, dan Abraham datang dan meratapinya di sana. Sefer Bereshit 23:1-2. Jadi, Sarah meninggal dunia di Hebron, dan Abraham datang meratapinya di sana. Kita tentu akan bertanya. Pertama, Abraham datang darimana? Kedua, mengapa Sarah meninggal?

Pertama, Rashi menjelaskan: ויבו אברהם (vay-yavo Avraham), lit. “and Abraham came”, מבאר שבע (mib-Beer-sheva’), lit. “from Beer-sheba” לספד לשקה ולבכתה (li sephod le Sarah we livkotah), lit. “to eulogize Sarah and to bewail her. Penjelasan Rashi ini menegaskan bahwa Abraham datang dari Bersyeba menuju ke Hebron.

Kedua, Rashi menjelaskan: ונסמכה שרה לעקדת יצחק (we nismechah mitat Sarah le’aqdat Yitzhaq), “Sarah’s death is juxtaposed with the binding of Isaac.” Penjelasan Rashi ini juga menegaskan bahwa Sarah tidak pernah berada di Bersyeba, tempat Hagar dan Ishmael. Dan Sarah meninggal akibat “berita tentang perintah qurban” tsb. Itu artinya, saat turun perintah qurban, Abraham sedang berada di Bersyeba dan Sarah tidak bersama-sama dengan Abraham di Bersyeba. Dan, setelah melaksanakan perintah qurban itu, Abraham ternyata tidak kembali ke Hebron, tetapi justru kembali ke Bersyeba. Bukankah Sarah tidak sedang berada di Bersyeba? Siapa yang sedang berada di Bersyeba? Abraham kembali ke Hebron dari Bersyeba justru tatkala Sarah meninggal dunia.

Dengan demikian, siapakah sebenarnya sang putera yang diqurbankan oleh Abraham? Silakan Anda menjawab sendiri.

Footnotes:

  1. See Harav Yosef Yitzhaq. Sefer Tehilim: Ohel Yosef Yitzhaq (Brooklyn: Kehot Publication Society, 1992), p. 46,
  2. See Philip R. Davies. The Complete World of the Dead Sea Scrolls (London: Thames & Hudson Ltd., 2011), p. 74

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s